Prostitusi Online Marak, Ini Komentar Bupati Purwakarta
A
A
A
PURWAKARTA - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menyebut persoalan maraknya pekerja seks komersial (PSK) akibat dari sistem pendidikan yang salah. Apalagi, saat ini muncul tren baru, yakni prostitusi online. Perkembangan teknologi mendorong wanita mempromosikan dirinya melalui media sosial internet, baik dilakukan secara terbuka maupun tertutup.
"Masalah ini akibat produk masyarakat kontemporer yang galau. Kegalauan itu disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak mengajarkan anak kerja keras. Sistem pendidikan kita hanya mengajarkan mengasah otak dan intelektualitasnya, sedangkan proses sebuah hidup yang sebenarnya tidak diajarkan," kata bupati yang akrab dipanggil Kang Dedi ini, Senin (11/5/2015).
Sistem yang salah, menurutnya, memunculkan budaya instan. Hal ini sangat berkaitan dengan gaya hidup hedonis, terutama masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Dedi menyebutkan, dua kelas masyarakat yang dihasilkan akibat sistem pendidikan yang salah adalah masyarakat menengah yang galau dan masyarakat kelas bawah yang galau.
"Masyarakat menengah yang galau, mereka berkecukupan, anaknya tidak dilatih kerja keras. Akibatnya, anaknya memiliki segalanya, tapi mereka tidak punya watak kebahagiaan yang diraih dirinya, sehingga memicu dia datang ke tempat hiburan. Semakin tinggi kelasnya, semakin tinggi frustrasi dia. Larinya mencari kepuasan, dengan bergaul bebas, karena mereka bingung uangnya harus diapain," papar Dedi.
Masyakat kelas bawah yang galau, lanjut dia, ingin hidup seperti masyarakat menengah, misal ingin memiliki mobil mewah, uang yang banyak, pakaian mahal, dan berbagai fasilitas lainnya. Akibatnya, orang-orang itu berupaya memenuhi keinginan tersebut dengan cara instan.
"Untuk meraih gaya hidup mewah tersebut, jika wanita mereka rela menjual diri. Ya, sebagian besar menjual diri bukan disebabkan faktor ekonomi, tapi juga karena gaya hidup," kata Dedi.
Karena itu, menurut Dedi, sistem pendidikan harus kembali pada dasarnya. Perempuan dikembalikan pada perannya yang lemah lembut. Ajarkan kembali mereka menjahit, menenun, membuat batik, memasak, atau membantu ibunya di rumah. Begitu juga laki-laki kembali pada kodratnya. Ajarkan anak laki-laki bekerja keras.
"Jika mereka tidak punya kemampuan, bahkan terlalu dimanja, saya yakin larinya akan pada hal-hal negatif. Untuk itu tak heran banyak perempuan yang tidak peduli akan harga dirinya. Mereka menjual diri untuk mendapatkan segalanya," pungkas Dedi.
"Masalah ini akibat produk masyarakat kontemporer yang galau. Kegalauan itu disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak mengajarkan anak kerja keras. Sistem pendidikan kita hanya mengajarkan mengasah otak dan intelektualitasnya, sedangkan proses sebuah hidup yang sebenarnya tidak diajarkan," kata bupati yang akrab dipanggil Kang Dedi ini, Senin (11/5/2015).
Sistem yang salah, menurutnya, memunculkan budaya instan. Hal ini sangat berkaitan dengan gaya hidup hedonis, terutama masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Dedi menyebutkan, dua kelas masyarakat yang dihasilkan akibat sistem pendidikan yang salah adalah masyarakat menengah yang galau dan masyarakat kelas bawah yang galau.
"Masyarakat menengah yang galau, mereka berkecukupan, anaknya tidak dilatih kerja keras. Akibatnya, anaknya memiliki segalanya, tapi mereka tidak punya watak kebahagiaan yang diraih dirinya, sehingga memicu dia datang ke tempat hiburan. Semakin tinggi kelasnya, semakin tinggi frustrasi dia. Larinya mencari kepuasan, dengan bergaul bebas, karena mereka bingung uangnya harus diapain," papar Dedi.
Masyakat kelas bawah yang galau, lanjut dia, ingin hidup seperti masyarakat menengah, misal ingin memiliki mobil mewah, uang yang banyak, pakaian mahal, dan berbagai fasilitas lainnya. Akibatnya, orang-orang itu berupaya memenuhi keinginan tersebut dengan cara instan.
"Untuk meraih gaya hidup mewah tersebut, jika wanita mereka rela menjual diri. Ya, sebagian besar menjual diri bukan disebabkan faktor ekonomi, tapi juga karena gaya hidup," kata Dedi.
Karena itu, menurut Dedi, sistem pendidikan harus kembali pada dasarnya. Perempuan dikembalikan pada perannya yang lemah lembut. Ajarkan kembali mereka menjahit, menenun, membuat batik, memasak, atau membantu ibunya di rumah. Begitu juga laki-laki kembali pada kodratnya. Ajarkan anak laki-laki bekerja keras.
"Jika mereka tidak punya kemampuan, bahkan terlalu dimanja, saya yakin larinya akan pada hal-hal negatif. Untuk itu tak heran banyak perempuan yang tidak peduli akan harga dirinya. Mereka menjual diri untuk mendapatkan segalanya," pungkas Dedi.
(zik)