Akademisi Nilai Keriuhan Pemilu Bagus untuk Demokratisasi

Kamis, 25 April 2019 - 20:06 WIB
Akademisi Nilai Keriuhan Pemilu Bagus untuk Demokratisasi
PPK Kota Surabaya rekap perolehan suara Pemilu 2019. Foto/Dok Sindonews
A A A
JAKARTA - Kalangan akademisi menilai keriuhan yang terjadi pada pemilu 2019 kali ini merupakan sebuah hal yang bagus bagi perjalanan demokratisasi bangsa Indonesia ke depan.

Sekretaris Utama Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Manajemen STIAMI Dedy Kusna Utama mengatakan, seluruh civitas akademika sudah didorong untuk ikut aktif dalam pemilu karena ikut menentukan arah perjalanan bangsa.

“Kalau saya lihat kita sudah mengarah ke negara demokrasi. Kalau dulu orang tidak terlalu peka dan setelah coblos pulang dan tidak peduli. Kalau sekarang masyarakat lebih courisity, itu bagus dimana tingkat kesadaran masyakarakat dalam ikut pemilu tinggi dan mereka ikut mengawasi satu persatu proses pemilu. Hal ini akan membuat demokrasi di negara menjadi baik,” kata Dedy Kusna Utama di sela acara wisuda Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI (Institut STIAMI) Semester Ganjil Tahun Akademik 2018-2019 di Balai Samudra, Jakarta, Kamis (25/4/2019). Dalam wisuda Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI (Institut STIAMI) Semester Ganjil Tahun Akademik 2018-2019 kali ini diwisuda sebanyak 474 lulusan. Terdiri dari 8 program vokasi, 378 program sarjana, dan 88 program pascasarjana.

Menurut dia, dalam negara demokrasi, tingkat partisipasi masyarakat ikut membantu kelancaran perjalanan demokrasi. Ketika ada kesadaran dari civil society hal itu akan membuat demokrasi berjalan dengan baik. “Dalam demokrasi memang dibutuhkan watchdog atau pengawas. Jadi kalau masyarakat sudah ikut mengawasi maka sistem akan berjalan dengan baik,” ujar dia.

Dedy menepis anggapan bahwa bila ada protes, kritik dan masukan dari masyarakat terkait pemilu dimaksudkan untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu. “Terlalu mahal biayanya yang harus ditanggung bila ada upaya delegitimasi tersebut. Saya justru melihat kritik masyarakat ini akan memperkuat demokrasi. Ini akan memperkuat demokratisasi ketika masyarakat ikut mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu dengan cermat,” kata dia.

Namun, kata Dedy, di sisi lain penyelenggara pemilu juga harus membuka diri apapun tanggapan dan masukan dari masyarakat harus direspons dengan baik. Justru itu adalah bantuan gratis yang diberikan masyarakat. Dimana tidak perlu dibayar tapi masyarakat dengan sukarela mengawasi jalannya proses pemilu. "Jadi seharusnya kita senang dengan hal itu,” ujar dia.

Dedy mengaku yakin hal ini akan semakin membuat demokrasi di Indonesia semakin baik. Lima tahun ke depan akan kian baik, hingga suatu saat nanti sudah tidak perlu lagi pemilu pakai kampanye seperti pengerahan massa atau memasang baliho atau spanduk di sembarang tempat. Sebab masyarakat sudah sadar. Bahkan ke depan dengan sendirinya masyarakat akan alergi dan muak dengan praktik money politics karena mereka sudah sadar.

“Mosok suara seorang warga negara hanya dihargai senilai uang Rp50.000. Pasti masyarakat akan menilai hal ini tidak boleh lagi terjadi. Terlalu murah harga sebuah suara yang menentukan nasib bangsa ke depan,” kata dia.

Dedy menyebut juga ada satu fenomena menarik dimana sekarang ini kalangan ibu-ibu pun sudah peduli dengan politik dan sangat aktif, terlepas dari siapa kontestasi yang yang didukung. Hal ini bisa jadi buah dari afirmasi target 30% komposisi untuk perempuan di dalam dunia politik nasional.

Dulu perempuan dan ibu ibu mempersepsikan bahwa politik itu tidak baik, kejam, jahat dan kotor. Nah hadirnya ibu-ibu yang semakin sadar dengan politik ini bisa menggeser stigma negatif bahwa politik itu tidak baik, menjadi persepsi yang positif bahwa politik itu harus bermarwah. Sesuai dengan teori Miriam Budiardjo bahwa politik itu untuk membuat hidup lebih baik.

Namun ada satu hal yang menjadi keprihatinan kalangan akademisi dalam pelaksanaan pemilu kali ini adalah soal banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia.

“”Hal yang harus menjadi kajian dengan banyak petugas KPPS yang meninggal dunia, apakah karena faktor pemilu yang digelar serentak sehingga beban kerja petugas KPPS begitu berat atau karena adanya tekanan atau pressure dari masyarakat yang membuat mereka bekerja di bawah tekanan. Sebab sekarang kan eranya media sosial sehingga pressure masyarakat di media sosial juga cukup berat kepada mereka. Hal ini harus digali penyebabnya, karena dulu kan tidak pernah sampai kejadian seperti ini,” kata dia.

Sementara itu, Rektor Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI Dr Ir Panji Hendrarso MM juga memandang positif pelaksanaan pemilu kali ini dan tidak perlu galau atau bereaksi berlebihan. Keriuhan dalam pemilu ini merupakan hal wajar dan bagus dalam sebuah demokrasi dan harus membiasakan aspek keterbukaan yang ditunjukan masyarakat.

“Paling tidak mari membangun tradisi baru, keterbukaan, sudah ada partisipasi masyarakat. Semua ini akan memudahkan kerja-kerja pemerintah. Sebab kalau partisipasi masyarakat semakin tinggi maka semakin mudah. Jadi bisa saja kedepan nanti kampanye tidak perlu dengan pengerahan massa tapi cukup dengan media sosial saja. Orang bisa berkampanye dengan berbasis online dan bisa dinikmati di rumah, lalu bisa terjadi dialog dalam chatting,” kata dia.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0308 seconds (0.1#10.140)