Brigjen KH Syam’un, Pejuang Sekaligus Ulama Disegani Belanda dan Jepang
A
A
A
Brigadir Jenderal Anumerta KH Syam’un merupakan pejuang sekaligus ulama sejak zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Dia menjadi bupati pertama Serang 1945-1949.
KH Syam’un merupakan sosok ulama yang disegani. KH Syam’un yang juga dikenal sebagai pendiri Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil, Kota Cilegon, pada 8 November 2018 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Pemberian gelar Pahlawan Nasional ini sesuai Keputusan Presiden RI No 123/TK/2018 tanggal 6 November 2018 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
(Baca juga: Nyali Tentara Belanda Ciut saat Berhadapan dengan Pocut Meurah Intan)
KH Syam’un merupakan anak dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar, lahir di Kampung Beji, Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara, Kawedanan, Cilegon, Serang, pada 5 April 1894. Dia adalah cucu dari Ki Wasid, tokoh Pemberontakan Geger Cilegon. Masa kecilnya Syam’un diasuh oleh seorang ibu yang berkarakter kuat dan bermental pejuang, Hj Siti Hajar.
Sejak berusia 4 tahun, KH Syam'un dikirim orang tuanya menimba ilmu di Pesantren Delingseng, Cilegon (1898-1900). Di bawah asuhan KH Sa'i, dia mulai mengenal prinsip-prinsip dan dasar-dasar agama. Pada 1901 sampai 1904, KH Syam'un melanjutkan pendidikan di Pesantren Kamasan di bawah didikan KH Jasim. Ketika berusia 11 tahun, dia pun meneruskan pendidikan ke Mekkah selama lima tahun (1905-1910).
Semangat KH Syam'un untuk menimba ilmu tidak berhenti sampai di Mekkah saja. Pada 1910 sampai 1915, dia menempuh pendidikan akademisnya di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Pada 1916, dia memutuskan untuk kembali ke tanah air dan mendirikan Pesantren Citangkil. ( Baca juga: Rumah Gubernur Belanda Itu Kini Jadi Wisma Perdamaian)
Sembilan tahun kemudian, KH Syam'un melakukan modernisasi pendidikan serta membangun Madrasah Al Khairiyah. Dia mendirikan Koperasi Boemi Poetra, Organisasi Kebangkitan Pemuda Islam, dan sekolah ala Belanda bernama HIS Al Khairiyah.
Jejak peninggalannya berupa lembaga pendidikan dan pengajaran Al-Khairiah yang memiliki 417 cabang lebih di enam provinsi, yaitu Banten, Jakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat. Perguruan Al Khairiah tidak hanya memberikan khidmat pengajaran kepada masyarakat jenjang pendidikan MI, MTS, MA, tetapi juga SMP, SMEA, SMU, dan SLB.
Bahkan kini di Perguruan Al-Khairiah Pusat telah berdiri gagah dan megah tiga perguruan tinggi sesuai dengan rumpun ilmu yang disebarluaskannya: Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM). (Baca juga: Prawoto Mangkusasmito, Ketua Partai Masyumi yang Begitu Sederhana)
Pada masa penjajahan Jepang, KH Syam'un pernah mendapat pendidikan militer dan bergabung bersama Pembela Tanah Air (Peta). Berkat kegigihannya, dia kemudian diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalion).
Di masa pergerakan tersebut, KH Syam'un merupakan salah satu pejuang yang militan dan gigih dalam menentang Belanda. Dia diberi kepercayaan membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi I Banten dan Bogor, kemudian diangkat menjadi panglimanya.
Pada 23 Mei 1946 Divisi I Banten diganti menjadi Brigade I Tirtayasa Divisi Siliwangi. KH Syam'un diangkat menjadi komandannya berpangkat kolonel. Disamping itu, Korem Maulana Yusuf adalah jejak lainnya sumbangsih KH Syam’un dalam membangun Tentara Nasional di Banten.
Selain gemilang dalam dunia militer, pada periode 1945-1949 KH Syam'un juga mendapat tugas menjadi Bupati Serang. Meski menjabat sebagai bupati, peran perjuangan KH Syam'un tidak bisa dilepaskan begitu saja. Pada 1948, saat meletus Agresi Militer Belanda II, dia bergerilya dari Gunung Karang, Pandeglang hingga Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka, Serang.
Di kampung itu pula KH Syam'un mengembuskan napas terakhir pada 1949 lantaran sakit ketika memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan. Saat meninggal, KH Syam'un berpangkat kolonel. Namun, atas jasanya dia mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal Anumerta.
KH Syam’un merupakan sosok ulama yang disegani. KH Syam’un yang juga dikenal sebagai pendiri Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil, Kota Cilegon, pada 8 November 2018 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Pemberian gelar Pahlawan Nasional ini sesuai Keputusan Presiden RI No 123/TK/2018 tanggal 6 November 2018 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
(Baca juga: Nyali Tentara Belanda Ciut saat Berhadapan dengan Pocut Meurah Intan)
KH Syam’un merupakan anak dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar, lahir di Kampung Beji, Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara, Kawedanan, Cilegon, Serang, pada 5 April 1894. Dia adalah cucu dari Ki Wasid, tokoh Pemberontakan Geger Cilegon. Masa kecilnya Syam’un diasuh oleh seorang ibu yang berkarakter kuat dan bermental pejuang, Hj Siti Hajar.
Sejak berusia 4 tahun, KH Syam'un dikirim orang tuanya menimba ilmu di Pesantren Delingseng, Cilegon (1898-1900). Di bawah asuhan KH Sa'i, dia mulai mengenal prinsip-prinsip dan dasar-dasar agama. Pada 1901 sampai 1904, KH Syam'un melanjutkan pendidikan di Pesantren Kamasan di bawah didikan KH Jasim. Ketika berusia 11 tahun, dia pun meneruskan pendidikan ke Mekkah selama lima tahun (1905-1910).
Semangat KH Syam'un untuk menimba ilmu tidak berhenti sampai di Mekkah saja. Pada 1910 sampai 1915, dia menempuh pendidikan akademisnya di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Pada 1916, dia memutuskan untuk kembali ke tanah air dan mendirikan Pesantren Citangkil. ( Baca juga: Rumah Gubernur Belanda Itu Kini Jadi Wisma Perdamaian)
Sembilan tahun kemudian, KH Syam'un melakukan modernisasi pendidikan serta membangun Madrasah Al Khairiyah. Dia mendirikan Koperasi Boemi Poetra, Organisasi Kebangkitan Pemuda Islam, dan sekolah ala Belanda bernama HIS Al Khairiyah.
Jejak peninggalannya berupa lembaga pendidikan dan pengajaran Al-Khairiah yang memiliki 417 cabang lebih di enam provinsi, yaitu Banten, Jakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat. Perguruan Al Khairiah tidak hanya memberikan khidmat pengajaran kepada masyarakat jenjang pendidikan MI, MTS, MA, tetapi juga SMP, SMEA, SMU, dan SLB.
Bahkan kini di Perguruan Al-Khairiah Pusat telah berdiri gagah dan megah tiga perguruan tinggi sesuai dengan rumpun ilmu yang disebarluaskannya: Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM). (Baca juga: Prawoto Mangkusasmito, Ketua Partai Masyumi yang Begitu Sederhana)
Pada masa penjajahan Jepang, KH Syam'un pernah mendapat pendidikan militer dan bergabung bersama Pembela Tanah Air (Peta). Berkat kegigihannya, dia kemudian diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalion).
Di masa pergerakan tersebut, KH Syam'un merupakan salah satu pejuang yang militan dan gigih dalam menentang Belanda. Dia diberi kepercayaan membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi I Banten dan Bogor, kemudian diangkat menjadi panglimanya.
Pada 23 Mei 1946 Divisi I Banten diganti menjadi Brigade I Tirtayasa Divisi Siliwangi. KH Syam'un diangkat menjadi komandannya berpangkat kolonel. Disamping itu, Korem Maulana Yusuf adalah jejak lainnya sumbangsih KH Syam’un dalam membangun Tentara Nasional di Banten.
Selain gemilang dalam dunia militer, pada periode 1945-1949 KH Syam'un juga mendapat tugas menjadi Bupati Serang. Meski menjabat sebagai bupati, peran perjuangan KH Syam'un tidak bisa dilepaskan begitu saja. Pada 1948, saat meletus Agresi Militer Belanda II, dia bergerilya dari Gunung Karang, Pandeglang hingga Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka, Serang.
Di kampung itu pula KH Syam'un mengembuskan napas terakhir pada 1949 lantaran sakit ketika memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan. Saat meninggal, KH Syam'un berpangkat kolonel. Namun, atas jasanya dia mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal Anumerta.
(vhs)