Hotel Yamato, Saksi Keberanian Arek-arek Suroboyo Kibarkan Merah Putih
A
A
A
SURABAYA - Hotel Yamato, sekarang tak ada lagi, karena sudah berganti nama menjadi Hotel Majapahit. Terletak di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur. Namun, bentuk bangunan hotel masih sama, bahkan kisah heroik pemuda Surabaya mengibarkan bendera merah putih di hotel bersejarah itu selalu dikenang.
Saat ini Hotel Majapahit merupakan hotel mewah bintang lima di Jalan Tunjungan No 65, Kota Surabaya. Salah satu hotel tertua di Indonesia ini memiliki total 143 kamar di lantai satu dan dua. Hotel Majapahit berdiri di atas tanah seluas 6.377 m2 dengan luas bangunan mencapai 5.000 m2.
Hotel ini dibangun Sarkies Bersaudara dari Armenia pada 1910 dan diresmikan 1 Juli 1911. Awalnya keluarga Sarkies membeli sebuah rumah di atas lahan seluas 1.000 m2. Keluarga Sarkies merupakan keluarga pendiri Hotel Raffles di Singapura, Hotel Strand di Birma, dan hotel The Eastern & Oriental Hotel di Penang.
Bangunan hotel dirancang oleh Regent Alfred John Bidwell dengan memadukan gaya Art Nouveau dan Art Deco. Hotel ini dikenal sebagai Hotel Oranje karena bangunannya berwarna oranye dan didirikan untuk memberikan penghormatan kepada Belanda yang kala itu menduduki Surabaya.
Pada masa jayanya, Hotel ini pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh dunia seperti Leopold III dari Belgia, Ratu Astrid dari Swedia, hingga Charlie Chaplin. Pada 1923 dan 1926 dilakukan perluasan bangunan sayap kanan serta kiri. Pada 1936 didirikan bangunan lobi hotel bergaya Art Deco, untuk kepentingan toko, kantor, dan rumah makan.
Hotel ini terdiri dari bangunan induk (ballroom) di tengah dan dikelilingi bangunan lain berbentuk U. Bangunan induk tersebut juga dikelilingi taman (inner court) yang luas dan di bagian belakang sisi timur laut terdapat kolam renang.
Selain itu, bangunan hotel juga memiliki koridor berbentuk lengkung (arch) yang berfungsi sebagai akses sirkulasi serta penepis air hujan dan sinar matahari langsung. Pada langit-langit dan samping atas bangunan induk terdapat komponen kaca berwarna sebagai jalan masuk sinar matahari (bovenlicht, kaca patri).
Pada 1942, ketika Surabaya diduduki oleh Jepang, hotel ini diganti namanya menjadi Yamato Hoteru atau Hotel Yamato. Hal itu menandakan masa peralihan fungsi hotel menjadi markas utama militer Jepang. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1945, hotel ini digunakan sebagai kamp tahanan sementara untuk wanita dan anak-anak Belanda.
Salah satu kejadian bersejarah penting terkait hotel ini yaitu adanya peristiwa penyobekan bendera Belanda dan diganti mengibarkan bendera Merah Putih pada 19 September 1945. Peristiwa penting ini diabadikan dengan dibangunnya monumen peristiwa perobekan bendera yang diletakkan di bagian barat laut bagian depan hotel. Setelah insiden itu, nama hotel kemudian diubah menjadi Hotel Merdeka.
Pada 1946, Sarkies bersaudara kembali mengelola hotel dan mengubah namanya menjadi Lucas Martin Sarkies Hotel (LMS). Pada 1969, perusahaan Mantrust Holding Co menjadi pemilik baru dan mengganti nama Hotel Merdeka menjadi Hotel Majapahit.
Pada 1993, Mandarin Oriental Groups yang bergabung dengan Sekar Groups kemudian membeli dan merenovasinya dengan dana senilai USD35.000.000. Tiga tahun kemudian, pada 1996, dilakukan pemugaran restoran. Nama hotel kemudian diganti menjadi Mandarin Oriental Hotel Majapahit Surabaya sebagai hotel bintang lima dan mendapat penghargaan Architectural Preservation Award.
Pada 2006, PT Sekman Wisata mengambil alih hotel dan mengubah namanya menjadi Hotel Majapahit. Pada tahun yang sama hotel ini menerima penghargaan 2006 Best ASEAN Culture Preservation Effort dari The ASEAN Tourism Association.
Terkait insiden penyobekan bendera Belanda dan diganti mengibarkan bendera Merah Putih, peristiwa itu terjadi sekitar satu bulan setelah Proklamasi. Ketika itu Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin WV Ch Ploegmann tiba di Surabaya.
Mereka tiba berbarengan dengan tentara Sekutu dan Palang Merah Internasional dengan tujuan membantu rehabilitasi para tawanan serta korban perang, terutama dari pihak Jepang, yang baru saja kalah dalam perang Asia Timur Raya. Namun, timbul insiden ketika Ploegmann memerintahkan mengibarkan bendera Belanda, merah-putih-biru di tiang Hotel Yamato.
Tindakan provokatif itu membuat murka para pemuda dan masyarakat Surabaya. Kemudian Residen Surabaya Soedirman yang juga diplomat muda, menemui Ploegmann meminta untuk menurunkan bendera Belanda.
Residen Soedirman dikawal dua pemuda Sidik Moeljadi dan Hariyono menemui Ploegman di lobi hotel. Setelah negosiasi buntu, Ploegman menodong Residen Soedirman dengan pistol. Sontak, Sidik yang merupakan mantan anggota Jibakutai (pasukan berani mati didikan Jepang) menyerang Ploegmann.
Pemuda Sidik bergulat melawan Ploegmann dan berhasil menyingkirkan pistol yang dipegangnya. Kemudian Sidik mencekik leher Ploegmann hingga tewas. Bahkan dia berhasil membunuh dua tentara Belanda pengawal Ploegmann.
Sidik yang hanya menggunakan sepeda sebagai senjata untuk menghadapi pengawal Ploegmann, akhirnya roboh setelah kena sabetan kelewang salah satu anak buah Ploegmann. Pemuda bernyali macan yang disapa Cak Sidik ini merupakan korban pertama dari pihak republik dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949).
Sedangkan Hariyono mengungsikan Residen Soedirman ke luar hotel. Kemudian, Hariyono langsung memanjat tembok hotel hingga ke atas menara. Hampir bersamaan, pemuda Koesno Wibowo juga mendaki tangga ke tempat yang sama. Keduanya pun berbarengan sampai di puncak menara tempat tiang bendera Belanda dikibarkan.
Koesno mengambilalih upaya perobekan bendera, warna biru di bendera itu dibuangnya, kemudian mengibarkan bendera merah dan putih. Saat hendak turun, kepala Hariyono keserempet peluru, tapi tetap selamat. Sedangkan Koesno turun dari menara setelah situasi reda.
Insiden ini membuat Belanda berang karena merasa kehormatannya disobek-sobek Indonesia. Akhirnya, kejadian ini mengelorakan semangat rakyat dan pemuda menghadapi tentara sekutu yang membawa serta tentara Belanda pada peristiwa 10 November 1945. Pertempuran hebat ini kenang sebagai Hari Pahlawan.
Diolah dari berbagai sumber;
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
pahamify.com
historia.id
Saat ini Hotel Majapahit merupakan hotel mewah bintang lima di Jalan Tunjungan No 65, Kota Surabaya. Salah satu hotel tertua di Indonesia ini memiliki total 143 kamar di lantai satu dan dua. Hotel Majapahit berdiri di atas tanah seluas 6.377 m2 dengan luas bangunan mencapai 5.000 m2.
Hotel ini dibangun Sarkies Bersaudara dari Armenia pada 1910 dan diresmikan 1 Juli 1911. Awalnya keluarga Sarkies membeli sebuah rumah di atas lahan seluas 1.000 m2. Keluarga Sarkies merupakan keluarga pendiri Hotel Raffles di Singapura, Hotel Strand di Birma, dan hotel The Eastern & Oriental Hotel di Penang.
Bangunan hotel dirancang oleh Regent Alfred John Bidwell dengan memadukan gaya Art Nouveau dan Art Deco. Hotel ini dikenal sebagai Hotel Oranje karena bangunannya berwarna oranye dan didirikan untuk memberikan penghormatan kepada Belanda yang kala itu menduduki Surabaya.
Pada masa jayanya, Hotel ini pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh dunia seperti Leopold III dari Belgia, Ratu Astrid dari Swedia, hingga Charlie Chaplin. Pada 1923 dan 1926 dilakukan perluasan bangunan sayap kanan serta kiri. Pada 1936 didirikan bangunan lobi hotel bergaya Art Deco, untuk kepentingan toko, kantor, dan rumah makan.
Hotel ini terdiri dari bangunan induk (ballroom) di tengah dan dikelilingi bangunan lain berbentuk U. Bangunan induk tersebut juga dikelilingi taman (inner court) yang luas dan di bagian belakang sisi timur laut terdapat kolam renang.
Selain itu, bangunan hotel juga memiliki koridor berbentuk lengkung (arch) yang berfungsi sebagai akses sirkulasi serta penepis air hujan dan sinar matahari langsung. Pada langit-langit dan samping atas bangunan induk terdapat komponen kaca berwarna sebagai jalan masuk sinar matahari (bovenlicht, kaca patri).
Pada 1942, ketika Surabaya diduduki oleh Jepang, hotel ini diganti namanya menjadi Yamato Hoteru atau Hotel Yamato. Hal itu menandakan masa peralihan fungsi hotel menjadi markas utama militer Jepang. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1945, hotel ini digunakan sebagai kamp tahanan sementara untuk wanita dan anak-anak Belanda.
Salah satu kejadian bersejarah penting terkait hotel ini yaitu adanya peristiwa penyobekan bendera Belanda dan diganti mengibarkan bendera Merah Putih pada 19 September 1945. Peristiwa penting ini diabadikan dengan dibangunnya monumen peristiwa perobekan bendera yang diletakkan di bagian barat laut bagian depan hotel. Setelah insiden itu, nama hotel kemudian diubah menjadi Hotel Merdeka.
Pada 1946, Sarkies bersaudara kembali mengelola hotel dan mengubah namanya menjadi Lucas Martin Sarkies Hotel (LMS). Pada 1969, perusahaan Mantrust Holding Co menjadi pemilik baru dan mengganti nama Hotel Merdeka menjadi Hotel Majapahit.
Pada 1993, Mandarin Oriental Groups yang bergabung dengan Sekar Groups kemudian membeli dan merenovasinya dengan dana senilai USD35.000.000. Tiga tahun kemudian, pada 1996, dilakukan pemugaran restoran. Nama hotel kemudian diganti menjadi Mandarin Oriental Hotel Majapahit Surabaya sebagai hotel bintang lima dan mendapat penghargaan Architectural Preservation Award.
Pada 2006, PT Sekman Wisata mengambil alih hotel dan mengubah namanya menjadi Hotel Majapahit. Pada tahun yang sama hotel ini menerima penghargaan 2006 Best ASEAN Culture Preservation Effort dari The ASEAN Tourism Association.
Terkait insiden penyobekan bendera Belanda dan diganti mengibarkan bendera Merah Putih, peristiwa itu terjadi sekitar satu bulan setelah Proklamasi. Ketika itu Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin WV Ch Ploegmann tiba di Surabaya.
Mereka tiba berbarengan dengan tentara Sekutu dan Palang Merah Internasional dengan tujuan membantu rehabilitasi para tawanan serta korban perang, terutama dari pihak Jepang, yang baru saja kalah dalam perang Asia Timur Raya. Namun, timbul insiden ketika Ploegmann memerintahkan mengibarkan bendera Belanda, merah-putih-biru di tiang Hotel Yamato.
Tindakan provokatif itu membuat murka para pemuda dan masyarakat Surabaya. Kemudian Residen Surabaya Soedirman yang juga diplomat muda, menemui Ploegmann meminta untuk menurunkan bendera Belanda.
Residen Soedirman dikawal dua pemuda Sidik Moeljadi dan Hariyono menemui Ploegman di lobi hotel. Setelah negosiasi buntu, Ploegman menodong Residen Soedirman dengan pistol. Sontak, Sidik yang merupakan mantan anggota Jibakutai (pasukan berani mati didikan Jepang) menyerang Ploegmann.
Pemuda Sidik bergulat melawan Ploegmann dan berhasil menyingkirkan pistol yang dipegangnya. Kemudian Sidik mencekik leher Ploegmann hingga tewas. Bahkan dia berhasil membunuh dua tentara Belanda pengawal Ploegmann.
Sidik yang hanya menggunakan sepeda sebagai senjata untuk menghadapi pengawal Ploegmann, akhirnya roboh setelah kena sabetan kelewang salah satu anak buah Ploegmann. Pemuda bernyali macan yang disapa Cak Sidik ini merupakan korban pertama dari pihak republik dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949).
Sedangkan Hariyono mengungsikan Residen Soedirman ke luar hotel. Kemudian, Hariyono langsung memanjat tembok hotel hingga ke atas menara. Hampir bersamaan, pemuda Koesno Wibowo juga mendaki tangga ke tempat yang sama. Keduanya pun berbarengan sampai di puncak menara tempat tiang bendera Belanda dikibarkan.
Koesno mengambilalih upaya perobekan bendera, warna biru di bendera itu dibuangnya, kemudian mengibarkan bendera merah dan putih. Saat hendak turun, kepala Hariyono keserempet peluru, tapi tetap selamat. Sedangkan Koesno turun dari menara setelah situasi reda.
Insiden ini membuat Belanda berang karena merasa kehormatannya disobek-sobek Indonesia. Akhirnya, kejadian ini mengelorakan semangat rakyat dan pemuda menghadapi tentara sekutu yang membawa serta tentara Belanda pada peristiwa 10 November 1945. Pertempuran hebat ini kenang sebagai Hari Pahlawan.
Diolah dari berbagai sumber;
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
pahamify.com
historia.id
(msd)