Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar

Selasa, 28 Mei 2019 - 08:46 WIB
Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar
Masjid Nurul Huda di Desa Kuningan, dibangun pada tahun 1823 oleh Syeich Abu Hasan atau Mbah Abu Hasan, guru dari laskar prajurit Pangeran Diponegoro. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
A A A
Di sebelah ruang imam, mimbar jumat berdiri gagah. Tempat kotbah itu terbuat dari kerangka kayu jati berwarna gelap. Desainnya unik dan bernilai seni tinggi.

Tidak seperti lazimnya mimbar masjid yang hanya berbentuk segi empat. Mimbar masjid Nurul Huda lebih mirip singgasana raja. Bentuknya memanjang, tinggi dan berundak di bagian dalam.

Undakan teratas atau yang kelima difungsikan sebagai tempat duduk. Saat muadzin mengumandangkan adzan salat jumat, pengkhotbah bisa bersandar di sana. "Katanya gaya arsitektur Mataram," kata Moh Kirom Sidiq (64) selalu pengelola sekaligus penanggung jawab Masjid Nurul Huda.

Mimbar berukuran cukup besar itu beratap segitiga dengan ujung lancip menjulang. Sepintas seperti piramida atau gaya meru masjid Demak. Namun ada juga yang mengatakan serupa limas yang biasa dijumpai di rumah joglo priyayi Jawa. Sementara untuk pintu masuk mimbar berdesain melengkung.

Gaya arsitektur yang mengingatkan pada model tugu tapal batas di kawasan eks Karsidenan Kediri. "Perhatikan juga dekorasinya. Semuanya terpahat ukiran," terang Kirom. Mulai di bagian pintu masuk sampai atap mimbar, terlihat motif ukiran yang beragam.

Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar


Ada yang berbentuk bunga. Entah melati, teratai atau kenanga. Kemudian pahatan dengan motif buah nanas. Ukiran berkelir kuning emas itu berada di setiap sudut segi empat. "Nanas, merujuk pada surat Anas," katanya. Kirom menyentuh permukaan dinding yang terpahat garis dan kotak. Sepintas mirip motif tribal.

Seorang sejawaran kata dia pernah mengatakan sebagai motif kaligrafi. Bila dibaca berbunyi kalimat tauhid. Menurut dia keberadaan mimbar kotbah sama tuanya dengan bangunan awal Masjid Nurul Huda. Untuk membuktikan itu, menunjuk empat tiyang penyangga masjid.

Sejak berdiri, empat soko kayu jati itu belum pernah diganti. Salah satu tiang terlihat mulai melapuk. Karena faktor usia beberapa bagiannya tampak rusak. Meski demikian menurut Kirom kondisi itu belum mengkhawatirkan. Masih cukup kuat sebagai penyangga. Di sisi lain penggantian tidak mudah.

Mengganti satu tiang penyangga secara tekhnis harus menurunkan seluruh tiang lainnya. Jika pelaksanaanya kurang tepat justru bisa merusak bagian lain yang masih bagus. "Karenanya belum perlu diganti. Sampai tahun 2020 masih kuat," katanya.

Pada langit-langit yang disangga empat tiang besar tampak motif ukiran berwarna kuning tembaga. Tingginya kurang lebih 10 meter. Disitulah angka tahun pendirian masjid Nurul Huda diguratkan. Kurun waktu itu, kata Kirom didesain perpaduan Arab dan Jawa.

Tersebutkan bahwa masjid didirikan pada tahun 1823. Yang mendirikan adalah Syech Abu Hasan atau akrab disebut Mbah Abu Hasan. "Namun nama Nurul Huda diperoleh sekitar tahun 1960-an. Kalau sebelumnya tidak ada namanya," terangnya. Selain rumah ibadah, bersama Abu Manshur, muridnya yang kelak menjadi menantunya, Mbah Abu Hasan juga mendirikan pondok pesantren.

Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar


Lokasinya hanya sejengkal dari masjid dan tempat wudlu. Ketiga tempat itu dihubungkan dengan bancik, yakni deretan batu yang berfungsi sebagai jalan saat santri selesai berwudlu. Karenanya melewati bancik selalu tanpa alas kaki. Sebelum mengajak masuk ke dalam, Kirom menyempatkan duduk di teras ponpes, menikmati kenangan masa silam.

Bangunan yang berusia ratusan tahun itu berupa rumah panggung. Seluruh dindingnya terbuat dari papan kayu jati yang berkombinasi anyaman bambu. Begitu juga lantainya juga dari anyaman bambu. Karena faktor usia beberapa titik lantai tampak bolong-bolong. Beberapa dinding juga telah disalini dengan lembaran bambu baru.

"Walaupun sulamannya (anyaman bambu) tidak persis, tapi sudah lumayan mendekati," katanya menanggapi beberapa titik anyaman yang tidak persis sama. Bangunan itu memiliki enam kamar, dimana setiap kamar bisa diisi 6-8 santri dewasa. Selain santri mukim (menginap), ponpes juga menerima santri kalong, yakni santri yang belajar agama tanpa menginap. Biasanya mereka berasal dari warga sekitar.

Setiap kamar terdapat jendela. Setiap jendela terpasang teralis kayu. Beberapa teralis juga tampak rusak dan belum diganti. Meski beberapa bagian sudah disulami, secara umum ponpes yang berbentuk panggung itu kata Kirom masih asli. Kerangka besarnya belum berubah. Bahkan engsel pintu yang terbuat dari kayu juga belum pernah diganti.

Di dalam ruangan itulah santri diajari ilmu Al Qur'an dan Hadist. Disitulah para santri asal Blitar, yang hendak berangkat dalam peristiwa 10 November 1945, oleh Mbah Abu Hasan digembleng ilmu kanuragan. "Disinilah agama Islam di Blitar mula-mula tumbuh dan berkembang," jelasnya.

Guru Laskar Diponegoro

Makam Mbah Abu Hasan berada di barat pengimaman masjid Nurul Huda. Dengan pengimanan berjarak paling dekat. Pusara pendiri masjid dan pondok pesantren Nurul Huda itu dicungkupi , yakni ditempatkan secara khusus.

Di cungkup itu terdapat beberapa makam lain. Salah satunya makam Kiai Toya atau Mbah Abu Manshur. Semasa hidup sampai meninggalnya, murid kinasih yang kemudian menjadi menantu itu selalu dekat dengan Mbah Abu Hasan.

Lalu siapa Mbah Abu Hasan yang juga dipanggil Syech Abu Hasan itu?. Siapa orang yang menandai masjid, ponpes dan tempat tinggalnya dengan pohon sawo itu?. Sebuah sandi yang berasal dari bahasa Arab sawu sufu fakum yang artinya luruskan barisan.

Kirom pun bercerita. Dari pernikahannya, Mbah Abu Hasan dikaruniai 9 anak. Putra dan putri. Kirom yang memiliki empat putri dan dua cucu sendiri, merupakan generasi keempat keturunan Mbah Abu Hasan .

Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar


Dari salah satu putra Mbah Abu Hasan yang menikah dengan putri Kiai Kasan Mimbar Majan Tulungagung, lahir kakek nenek dan kemudian menurunkan orang tua Kirom. Dia mengatakan, leluhurnya (Mbah Abu Hasan) merupakan salah satu guru laskar Pangeran Diponegoro. "Itu cerita yang saya ketahui dari keluarga yang ditambah informasi dari sejarawan," tutur Kirom.

Tidak hanya menguasai ilmu perang. Mbah Abu Hasan yang berkududukan tinggi dalam laskar juga seorang guru agama Islam yang mumpuni. Dengan ilmu agamanya yang tinggi, prajurit pajurit laskar Diponegoro digembleng. Karena keluwihan yang dimiliki itu dia ditugasi syiar Islam ke wilayah brang wetan atau tanah Jawa sebelah timur (Jawa Timur). Konon tugas syiar itu datang langsung dari Pangeran Diponegoro.

Apakah tugas syiar itu terkait dengan perang Jawa yang tidak akan dimenangkan?. Atau memang ini merupakan bagian dari siasat?, kata Kirom tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti. Yang pasti, pada tahun 1819, yakni empat tahun sebelum pecah perang Jawa (1825-1830), Mbah Abu Hasan bertolak ke brang wetan.

Didampingi sejumlah penderek (pengikut) laskar Diponegoro, Mbah Abu Hasan menyusuri jalur selatan. Mulai dari wilayah Yogyakarta long march melintasi Wonogiri hingga tiba di Ponorogo yang di era Majapahit sebagai bagian Kerajaan Wengker. Dari Ponorogo perjalanan berlanjut ke Trenggalek, Tulungagung, dan sampai di Blitar.

Kenapa Blitar jadi tujuan?. Menurut Kirom hal itu diduga terkait dengan Pangeran Aryo Blitar yang lebih dulu datang (di Blitar). Sekaligus menunjukkan selain pimpinan laskar Pangeran Diponegoro, Mbah Abu Hasan, juga merupakan utusan dari Kerajaan Mataram.

Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar


Soal itu, kata dia dibuktikan dengan pusaka dwisula yang dimiliki Mbah Abu Hasan, yakni sebuah pusaka Kerajaan Mataram yang tidak diberikan kepada sembarang orang. Pemilik pusaka menunjukkan si pembawa merupakan penghulu Mataram. Kelak di kemudian hari, kata Kirom sejumlah tamu utusan Kerajaan Mataram juga melakukan kunjungan ke Kuningan Blitar.

"Tujuan syiar ke Blitar ini diduga tidak lepas keberadaan Pangeran Aryo Blitar," paparnya. Sesampai di wilayah Blitar tidak langsung ke Kuningan, Kanigoro. Mbah Abu Hasan sempat beberapa hari menginap di wilayah Sumberdiren, Kecamatan Garum yang berjarak belasan kilometer dari Kuningan Kanigoro.

Saat menyendiri Mbah Abu Hasan melihat sebuah cahaya terang yang bergerak dari bumi menuju ke langit. Dalam mitologi Jawa, cahaya itu disebut tejo yang dipercaya pertanda baik. Asal tejo itu kemudian dicarinya. Mbah Abu Hasan melanjutkan perjalanan hingga tiba di Kuningan yang diyakini sebagai asal tejo yang ditangkap indranya.

Sebelum didatangi Mbah Abu Hasan, Kuningan dikenal sebagai kawasan dengan sumber air yang melimpah. Diantara belukar dan pepohonan yang rimbun banyak terdapat empang ikan, yakni kolam alam yang didiami banyak ikan mas. Karena keasriannya, Kuningan konon juga menjadi tempat melepas penat Pangeran Aryo Blitar bersama istrinya. Bahkan nama Kuningan diadaptasi dari kata Kaweningan.

Melihat suasana alam Kuningan, Mbah Abu Hasan, langsung terpikat. Bersama rombongan langsung memutuskan menetap. "Empat tahun kemudian atau tahun 1823, Mbah Abu Hasan juga mendirikan masjid dan pondok pesantren," papar Kirom. Beragam ukiran di masjid dan mimbar Nurul Huda ditengarai sebagai hasil karya Mbah Jipah, yakni pengikut Mbah Abu Hasan yang dikenal sebagai ahli ukir dari Jepara.

Meski masyarakat Kuningan sebelumnya beragama Hindu, syiar agama Islam yang dijalankan Mbah Abu Hasan berjalan baik. Tidak berlangsung lama banyak warga yang tertarik memeluk Islam. Selama syiar berlangsung kata Kirom nyaris tidak ada cerita tentang kekerasan. Semua itu tidak lepas dari gaya syiar Mbah Abu Hasan yang lemah lembut.

Selain berperawakan tinggi dan ganteng, Mbah Abu Hasan juga dikenal memiliki watak yang sabar dan pemurah. "Syiar yang dilakukan ala Walisongo. Tidak ada pendekatan kekerasan. Karenannya bisa diterima masyarakat setempat," katanya.

Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar


Sementara itu tiga tahun setelah perang Jawa, yakni tahun 1833, Kiai Toya putra dari Kiai Nuriman Mlangi, yakni keturunan Raja Mataram, menyusul ke Kuningan. Kiai Toya merupakan murid Mbah Abu Hasan yang kemudian berganti nama menjadi Abu Manshur.

Selain Kiai Toya, bekas laskar Diponegoro yang lain juga banyak berdatangan. Mereka menjadikan Ponpes Kuningan sebagai jujugan pelarian. Seusai kalah dari perang Jawa, bekas laskar Diponegoro itu terus diburu. Oleh Belanda terus dicari dan dikejar-kejar. Sebagian besar lari ke arah timur, yakni menyebar di wilayah eks Karsidenan Kediri dan Madiun.

Disitulah muncul cerita bagaimana selama pelarian berganti ganti nama dan menggunakan sandi pohon sawo kecik. Sawo ditengarai berasal dari sawu sufu fakum yang artinya luruskan barisan. Meski kalah dan kocar-kacir mereka terus berusaha merapatkan barisan. Sebagai ejawantah dari sawu sufu fakum, setiap rumah bekas laskar Diponegoro ditandai dengan pohon sawo.

Mereka bersikukuh perang melawan penjajah harus terus dikobarkan. "Di ponpes pohon sawonya yang berusia ratusan tahun tinggal satu. Yang dua ditebang saat perluasan masjid," jelasnya. Kehadiran Mbah Abu Manshur menurut Kirom membuat ponpes Kuningan atau pada tahun 1960an diberi nama Nurul Huda itu semakin maju.

Apalagi tak lama kemudian Mbah Manshur diambil menjadi menantu Mbah Abu Hasan. Santri santri berkembang pesat. Tidak hanya santri kalong. Santri yang bermukim datang darimana mana. Selain menimba ilmu fiqih, alquran dan hadist, santri ponpes Kuningan terkenal memiliki olah kanuragan yang hebat.

Para santri dikenal kebal senjata tajam dan semacamnya. Kejadugan itu terlihat di acara pencak silat yang digelar rutin di pelataran masjid. "Dulu rutin digelar setiap tahun. Biasanya waktu akhiru sanah atau kelulusan santri. Sejak tahun 1980-an acara itu tidak lagi digelar," kata Kirom.

Sebelum Pecah Perang Jawa, dari Tanah Ini Islam Menyebar di Blitar


Selain konon secara gaib dijaga seekor harimau besar, Mbah Abu Hasan sendiri juga memiliki karomah yang membuatnya tidak bisa ditangkap Belanda. Dalam cerita yang pernah didengar Kirom, Belanda pernah menggeberek ponpes Kuningan untuk meringkus Mbah Abu Hasan. Namun sesampai di lokasi mereka tidak bisa menemukannya.

Padahal saat itu Mbah Hasan dengan santai merokok dan menikmati kopi di teras masjid. Dari pernikahan Mbah Abu Manshur dengan salah satu putri Mbah Abu Hasan, menurut Kirom banyak lahir ulama hebat di Blitar. Diantaranya Kiai Soleh Kuningan, Kiai Ali Yasin atau Mbah Manshur Kalipucung, Sanankulon yang terkenal dengan bambu runcing melawan Belanda di peristiwa 10 November 1945, dan Kiai Muharam Kediri. Hampir seluruh ponpes tua di wilayah Kabupaten Blitar masih memiliki garis keturunan dengan Mbah Abu Hasan.

Tidak sedikit kiai besar merupakan santri dari Mbah Abu Hasan. Menurut Kirom, semasa hidupnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah tiga kali berziarah ke makam Ponpes Kuningan. Gus Dur selalu datang tengah malam dimana kedatangannya tidak banyak diketahui banyak orang.

Gus Dur berdoa di pusara Kiai Said atau Mbah Said yang informasinya merupakan guru Hadratus Syeikh Hasyim As’yari dan KH Wahid Hasyim, yakni kakek dan ayah Gus Dur. "Mbah Said sendiri merupakan santri Mbah Abu Hasan. Sama-sama orang kulonan, dan terkait laskar diponegoro," terangnya.

Sayangnya, sepeninggal para kiainya yang jadug, kemonceran ponpes Nurul Huda terus meredup. Bahkan hari ini santri yang menimba ilmu hanyalah santri kalong. Semua itu kata Kirom tidak lepas dari banyaknya sekolah umum. Di sisi lain ponpes dan Masjid Nurul Huda telah menjadi destinasi wisata religi di Kabupaten Blitar.

Banyak orang berdatangan untuk berziarah dan melihat peninggalan Mbah Abu Hasan yang merupakan guru dari laskar Diponegoro. "Kami sekeluarga hanya berharap semua ini bisa memberikan manfaat bagi warga sekitar pada khususnya, dan masyarakat Blitar pada umumnya," terang Kirom.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.1512 seconds (0.1#10.140)