Kasus Korupsi Kepala Daerah di Jabar Marak, Parpol Dituntut Bertanggung Jawab

Rabu, 30 Oktober 2019 - 00:25 WIB
Kasus Korupsi Kepala Daerah di Jabar Marak, Parpol Dituntut Bertanggung Jawab
Pengamat politik dari Unikom Adiyana Slamet memaparkan kajiannya terkait penyebab maraknya kasus korupsi kepala daerah di Jabar. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Partai politik dinilai memiliki andil besar atas maraknya kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah di Provinsi Jawa Barat. Hingga Oktober 2019, tercatat 19 kepala daerah tertangkap tangan karena melakukan korupsi.

Penilaian tersebut disampaikan pengamat politik dari Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Adiyana Slamet dalam diskusi bertajuk 'Panen Koruptor di Jabar' yang digelar di Kedai Kongres, Jalan Mohammad Toha, Kota Bandung, Senin 28 Oktober 2019 malam.

Dalam kesempatan tersebut, Adiyana memaparkan kelemahan sistem demokrasi, terutama dalam proses pemilihan kepala daerah, hingga menyebabkan banyak kepala daerah di Jabar tersandung kasus korupsi. Menurut dia, kasus korupsi terjadi akibat politik transaksional yang dimulai dari parpol sebagai kendaraan politik calon kepala daerah.

Dia menuding, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas maraknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Jabar. Pasalnya, kentalnya politik transaksional yang dilakukan parpol berbuntut panjang hingga menyebabkan kegagalan demokrasi di tingkatan yang lebih luas, dalam hal ini masyarakat sebagai pemilik sah suara.

"Parpol harus bertanggung jawab atas persoalan ini," tegas Adiyana.

Menurut dia, saat ini, parpol mengalami kemunduran dalam lima hal, yaitu organisasi, strategi politik, taktik kampanye, permasalahan konflik, hingga kaderisasi. Dalam penunjukkan calon kepala daerah, kata dia, parpol kerap tak lagi melihat sisi kapasitas dan kualitas sosok yang akan dicalonkan, melainkan seberapa besar kapitalnya.

"Parpol kini seakan tidak lagi melihat kapasitas dan kompetensi sosok yang akan dicalonkan (menjadi kepala daerah), tapi seberapa banyak uang di sakunya. Meskipun ada sosok yang berpotensi menjadi kepala daerah, namun sakunya minim, itu jadi problem," ujarnya.

Adiyana menyebutkan, kondisi tersebut tak lepas dari aturan perundang-undangan dimana penunjukkan calon kepala daerah wajib mendapatkan rekomendasi dari parpol di tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Mekanisme yang panjang tersebut memunculkan celah bagi tumbuh suburnya politik transaksional hingga dikenal adanya istilah mahar politik.

"Aturan ini yang harus diubah, agar celah politik transisional dapat ditekan," tegasnya.

Setelah rekomendasi diperoleh, lanjut Adiyana, politik transaksional kemudian berlanjut di tingkatan yang lebih luas karena melibatkan masyarakat sebagai pemilik suara. Pasalnya, tak jarang calon kepala daerah mengambil jalan pintas, yakni membeli suara masyarakat tanpa mengedepankan etika dalam berpolitik.

Praktik kotor tersebut dinilainya merusak orientasi politik hingga menyebabkan kegagalan demokrasi. Ujung-ujungnya, kata Adiyana, calon kepala daerah tersebut berpotensi melakukan tindak pidana korupsi, agar seluruh biaya politik yang telah dikeluarkannya saat berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah tertutupi.

"Dalam penelitian yang saya lakukan, masyarakat umumnya tidak tahu siapa saja kandidat calon kepala daerahnya. Mereka hanya bilang, siapa yang ngasih (uang) besar saja (yang dipilih). Artinya, ada buying votters di sana. Akibatnya, orientasi politik jadi ngaco," katanya.

Namun, penilaian Adiyana tersebut dibantah politisi senior Partai Golkar Yod Mintaraga dalam kesempatan yang sama. Anggota DPRD Jabar tersebut menilai, parpol bukan penyebab maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah. Persoalan tersebut, kata Yod, mata-mata terjadi akibat lemahnya mentalitas dan integritas kepala daerah yang bersangkutan.

"Saya kira anggapan itu (parpol penyebab korupsi kepala daerah) tidak benar. Persoalan itu sebenarnya kembali pada mental dan integritas pribadi yang bersangkutan (kepala daerah) setelah mendapatkan amanah," tegas Yod.

Meski begitu, Yod mengakui bahwa biaya politik di Indonesia sangatlah besar. Pasalnya, sistem demokrasi di Indonesia menuntut seorang calon kepala daerah merogoh koceknya dalam-dalam untuk berbagai keperluan, seperti halnya dalam proses kampanye hingga membiayai honor saksi di tempat pemungutan suara (TPS).

"Di era reformasi ini, sistem pilkada ini salah karena pilkada saat ini tidak murah dan tidak mudah. Sistem inilah yang seharusnya dikaji ulang," katanya.

Sementara itu, bakal calon bupati Tasikmalaya, Iwan Saputra yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengamini bahwa integritas merupakan kunci kesuksesan kepala daarah dalam membangun pemerintahan yang bersih dari tindak pidana korupsi.

"Kepala daerah merupakan pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Apabila kepala daerah memiliki integritas, etika, dan moral yang bagus, maka kekuasaanya akan dijalankan sesuai dengan aturan. Sebaliknya, bila integritas kepala daerah lemah, bisa saja dia keluar dari rel. Apalagi, kepala daerah memiliki kekuasaan dalam penetapan APBD," paparnya.

Iwan yang juga masih menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tasikmalaya ini menjelaskan, untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan kualitas pemerintahan tetap terjaga baik, diperlukan sistem internal yang kuat. Selain itu, seorang kepala daerah pun harus mampu membangun rule model untuk mewujudkan cita-cita membangun daerah yang dipimpinnya.

"Sistem internal ini penting karena jika sistem ini bolong-bolong dan tidak ditopang oleh internal yang baik, akibatnya bisa diterobos oleh siapa saja, termasuk kepala daerahnya," tandasnya.

Diskusi yang dimoderatori oleh Aat Safaat Hodijat itu juga dihadiri bakal calon bupati Bandung Deden Rukman Rumaji. Deden yang sempat menjadi Wakil Bupati Bandung itu berniat kembali mencoba peruntungannya pada Pilkada Kabupaten Bandung, 2020 mendatang.
(abs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.2383 seconds (0.1#10.140)