Melihat Tradisi Wiwit di Kulon Progo

Selasa, 07 April 2015 - 10:46 WIB
Melihat Tradisi Wiwit di Kulon Progo
Melihat Tradisi Wiwit di Kulon Progo
A A A
HINGGA kini, masyarakat Geden, Sidorejo, Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tetap melestarikan tradisi wiwit atau ada pula yang menyebutnya wiwitan. Apa maksud dari tradisi ini?

Iring-iringan masyarakat nampak berjalan pelan dari rumah sesepuh adat di Geden, Sidorejo, Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh peserta, tua-muda maupun anak-anak mengenakan pakaian Jawa dan juga pakaian tradisional lainnya.

Yang laki-laki mengenakan surjan lengkap dengan blangkon dan keris terselip di pinggang. Sementara para ibu mengenakan kebaya.

Mereka mengarak lima buah tumpeng sejauh 500 meter menuju lokasi panen perdana padi. Iringan shalawatan dan rebana, menjadikan suasana kian semarak. Apalagi, sejumlah warga asing ikut serta dalam acara ini. Mereka yang menjadi duta dalam program Bule Mengajar ini mengenakan pakaian Jawa, membaur dengan masyarakat umum.

Gunungan yang diarak ini berisi beberapa uba rampe. Mulai dari nasi tumpeng, nasi gurih, aneka jajan pasar, ingkung ayam, hingga sambal gepeng ikut disajikan sebagai pelengkap gunungan. Begitu sampai di lokasi, tokoh agama langsung memimpin doa dan dilanjukan pemetikan tangkai padi, simbol diawalinya panen padi.

"Ini merupakan ungkapan syukur dan dimulainya masa panen. Dulu setiap tahun tradisi ini dilakukan masyarakat. Kini setelam lama vakum kita kembali lakukan tradisi ini," jelas Ketua Panitia Waluyo Jati.

Tumpeng berjumlah lima menjadi perlambang ibadah salat lima waktu. Sedangkan ingkung merupakan wujud manekung (berserah diri) kepada Tuhan atas limpahan dan kemurahan rezeki. Apalagi hasil panenan di wilayah ini cukup melimpah. Dengan luasan sekitar 8 hektare dan tegalan 24 hektare, mereka mampu hidup sejahtera.

Tradisi ini sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Belakangan tradisi ini luntur di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman. Namun, sejak tiga tahun terakhir warga kembali sadar untuk mengembalikan dan melestarikan tradisi ini. Apalagi, banyak hikmah yang bisa dipetik oleh masyarakat dari tradisi ini.

"Ini akan memperkuat potensi budaya yang ada di Sidorejo sebagai desa budaya," jelasnya.

Pedukuhan Geden, kata dia, juga menjadi pusat kesenian tradisional, khususnya tari reog. Sehingga dalam tradisi ini panitia menggelar tarian perlambang turunnya Dewi Sri sebagai dewi padi.

Dewi Sri dibawa kabur oleh para raksasa dan buto. Akhirnya terjadi peperangan dengan tokoh pandawa hingga akhirnya mampu merebut Dewi Sri kembali.

Anak-anak juga ikut menampilkan dolanan anak berupa Sodrong. Permainan ini dulu berasal dari lingkungan Keraton, mirip saling dorong dengan bilah bambu, untuk mewujudkan keterampilan dan kekuatan. Ini dimainkan warga sebelum panen tiba. Sehingga, ketika selesai bermain, anak-anak ikut dalam tradisi wiwit, panen hingga makan bersama.

"Dulu permainan ini dengan tombak, sekarang kita inovasi dengan bambu untuk memeriahkan wiwit panen," jelas pelaku seni, Suji.

Assek II Setda Kulon Progo Triyono mengatakan, tradisi ini cukup menarik dan perlu dilestarikan. Tradisi seperti ini bisa memperkuat keistimewaan Yogyakarta, sebagai kota budaya. Sehingga tradisi yang hidup dan berkembang akan menjadi bagian dari pengembangan budaya.

"Tradisi wiwit seperti ini bisa memperkuat Keistimewaan Yogyakarta yang harus dilestarikan," terang Triyono.

Tradisi ini sendiri diakhiri dengan makan bersama. Seluruh warga bersama pejabat ikut menikmati nasi gurih dengan lauk ayam ingkung dan sambel gepeng sambil menyaksikan pentas seni.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4783 seconds (0.1#10.140)