Kemal Idris dan Kudeta ala Jenderal Najib

Jum'at, 27 Februari 2015 - 05:05 WIB
Kemal Idris dan Kudeta ala Jenderal Najib
Kemal Idris dan Kudeta ala Jenderal Najib
A A A
KEMAL IDRIS merupakan salah satu pimpinan Angkatan Darat (AD) yang mempersiapkan tentara untuk mengepung Jakarta, mengkoordinir demonstrasi rakyat, dan memasang meriam ke Istana Negara, pada 17 Oktober 1952.

Gerakan Kemal Idris inilah yang kemudian dikenal dengan "kudeta" Angkatan Darat (AD) terhadap Presiden Soekarno atau Peristiwa 17 Oktober 1952 yang dipimpin oleh Jenderal AH Nasution, dan sejumlah jenderal lainnya.

Ada yang menyebut, gerakan itu meniru kudeta Jenderal Najib yang ingin merebut kekuasaan dari Raja Farouk, di Kairo. Namun kudeta ini gagal, dan berakhir dengan diskornya Jenderal Nasution dan pimpinan AD lainnya.

Hingga kini, apa yang sebenarnya terjadi saat itu masih suram. Apa yang melatarbekangi peristiwa itu? Benarkah pimpinan AD saat itu ingin melakukan kudeta seperti yang dilakukan Jenderal Najib di Kairo?

Cerita Pagi kali ini akan membahasnya secara ringkas, dengan memakai sumber buku memoar Kemal Idris yang diangkat dari Majalah Tempo, dengan judul Memoar: Senarai Kiprah Sejarah, terbitan Grafiti, Juli 1993.

Dijelaskan Kemal Idris, awal keterlibatannya dalam gerakan itu bermula saat dirinya dipanggil KSAD
Kepala Staf Angkatan Darat Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwinKepala Staf Angkatan Darat Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin Jenderal AH Nasution. Dalam pertemuan itu, Nasution mengungkapkan kritiknya terhadap kebijakan Soekarno.

Menurut Nasution, kebijakan Soekarno yang tetap mempertahankan orang-orang lama dalam pemerintahannya merupakan sikap ketidakpercayaannya terhadap angkatan muda di tubuh AD dan para politikus muda yang ada saat itu.

Nasution juga menganggap, politikus tua DPR yang berada di sekitar Soekarno merupakan orang-orang tua yang pola pikirnya sangat kolonial, yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi Indonesia saat itu.

Sebagai Komandan Brigade yang pasukannya tersebar di Jakarta, Nasution membutuhkan bantuan Kemal Idris sebagai alat pendorong gerakan-gerakan rakyat dan tentara di Jakarta dalam menciptakan suasana menjadi genting.

"Umur saya waktu itu masih 29 tahun. Nasution meminta ketegasan apakah saya berada di pihaknya?" kata Kemal Idris, seperti dikutip dalam buku Memoar Senarai Kiprah Sejarah, halaman 14.

Setelah menerima tawaran Nasution, Kemal Idris dan pasukannya segera menduduki posisi-posisi penting di Jakarta dan mengkoordinir gerakan-gerakan rakyat yang tidak puas dengan kebijakan Soekarno untuk melakukan demonstrasi.

Dalam aksi tersebut, Nasution sudah berhitung kenapa gerakan-gerakan itu dipusatkan di Jakarta. Menurutnya, pergerakan yang terjadi di Ibu Kota akan lebih sulit diatasi, ketimbang gerakan-gerakan yang terjadi di daerah.

"Kalau pusat sudah dikendalikan, daerah tinggal menyetujui. Angkatan Darat banyak berperan dalam peristiwa itu. Misalnya, mengkoordinir demonstrasi," sambung Kemal Idris, dalam di halaman selanjutnya.

Beberapa kawasan penting yang diduduki tentara "pemberontak" saat itu adalah RRI, Istana Negara, dan DPR. Nasution juga memintahkan agar tank-tank baja diturunkan di kawasan yang telah diduduki oleh para tentara.

"Dalih kami (saat itu), melindungi Bung Karno dari para demonstran. Pada waktu bersamaan, rakyat bergerak melakukan demonstrasi. Saya memasang meriam di Istana," ungkap Kemal Idris, di halaman 15.

Setelah situasi menjadi genting, sejumlah jenderal dan panglima barisan Jenderal Nasution datang ke Istana Negara menemui Presiden Soekarno. Di antaranya jenderal itu ada Jenderal Nasution, Jenderal Gatot Subroto, dan Jenderal Moestopo.

Di muka Presiden, para jenderal itu mengungkapkan keinginannya agar Presiden Soekarno membubarkan DPR dan mengganti anggota-anggotanya yang lama dengan yang baru. Namun, usul itu dengan tegas ditolak Presiden Soekarno.

Kendati demikian, Presiden Soekarno setuju untuk menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955. Pemilihan inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai Pemilu paling demokratis yang pernah dilangsungkan di Indonesia.

Sebagai balasan atas sikap para jenderal dan panglima TNI AD saat itu, Presiden Soekarno lalu menskors Jenderal Nasution, dan orang-orang yang diduga terlibat mulai dari komandan resimen, komandan divisi, dan panglima teritorium.

Mereka kemudian diperiksa Kejaksaan Agung selama beberapa hari. Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, dan mereka dinyatakan tidak terlibat, Presiden Soekarno memanggil semuanya ke Istana Negara untuk ramah tamah.

Semua pemimpin AD yang datang disalaminya satu persatu oleh Presiden Soekarno, namun tidak dengan Kemal Idris. Soekarno marah padanya karena Kemal Idris telah dianggap terlalu lancang mengerahkan pasukannya.

Namun begitu, Soekarno tidak membenci Nasution. Setelah diskors beberapa waktu, Nasution bahkan diangkat kembali menjadi KSAD pada 1955. Sedang Kemal Idris dipindah tugaskan ke Cirebon sebagai Komandan Resimen.

Sementara itu, menurut Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam bukunya yang berjudul Menguak Misteri Sejarah, terbitan Kompas, Oktober 2010, peristiwa 17 Oktober merupakan puncak konflik yang terjadi antara sipil-militer.

"Yang terjadi waktu itu ada dua hal, pertama demonstrasi di depan Istana Negara yang menuntut dibubarkannya DPR sementara, kedua menghadapnya pimpinan AD yang meminta hal yang sama," katanya, di halaman 176.

Tetapi yang tidak habis pikir dalam peristiwa itu adalah diarahkannya tank dan meriam ke Istana Negara, dan tempat parlemen bersidang di Pejambon, serta banyaknya pasukan militer di Lapangan Merdeka.

Begitupun dengan aksi tentara yang memutuskan jaringan telepon di seluruh Indonesia dan sambungan ke luar negeri setelah pertemuan sejumlah jenderal dan panglima AD dengan Presiden Soekarno di Istana Negara.

Pembredelan beberapa surat kabar seperti Merdeka, Berita Indonesia, dan Mingguan Merdeka, juga masih belum bisa dipahami. Begitupun dengan penangkapan sejumlah politikus yang disusul dengan diberlakukannya jam malam, dan larangan berkumpul.

"Yang menjadi pertanyaan apakah tindakan itu dapat disebut kudeta dan setengah kudeta? Soekarno membantah hal ini dan mengatakan, 'mereka yang datang seperti anak-anak menemui bapaknya'," sambung Asvi pada halaman selanjutnya.

Dari ungkapan Soekarno dan sikapnya yang tetap baik kepada Nasution dengan mengangkatnya kembali sebagai KSAD dapat diketahui sejauh mana hubungan mereka berdua. Bahkan, ada yang menyebut Nasution saat itu Soekarnois.

Dengan demikian, yang terjadi dalam peristiwa itu selamanya tetap menjadi misteri. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi tentang Kemal Idris dan Kudeta ala Jenderal Najib diakhiri. Semoga bermanfaat.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3786 seconds (0.1#10.140)