Lahir 18 Januari, Sastrawan Iwan Simatupang Jadi Lawan Tangguh Lekra
loading...
A
A
A
SASTRAWAN Iwan Simatupang lahir 18 Januari 1928 di Sibolga, Sumatera Utara. Saat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), underbow PKI (Partai Komunis Indonesia) lagi kuat-kuatnya, Iwan pilih ikut membubuhkan tanda tangan manifesto kebudayaan (Manikebu).
Manikebu dengan Humanisme Universal di satu kutub dan Lekra yang mengusung Realisme Sosialis di kutub lain. Dua lembaga kebudayaan pada masa orde lama yang saling terkam, saling sikut.
Iwan Simatupang tak pernah gentar dengan ancaman Lekra: tahun pembabatan. Dalam surat politiknya 1964 -1966 kepada B Soelarto, sastrawan asal Yogya, Iwan menegaskan dirinya seorang nasionalis.
“Kau tahu, aku nasionalis, bekas pejuang (Komandan TRIP Sumatera Utara), anti kapitalis, anti (sok) sosialisme kanan, tetapi sebaliknya: tegas-tegas menentang setiap paham, doktrin, ideologi, yang (mencoba) merongrong keutuhan dari keagungan manusia!.”
Baca juga: Calon Arang, Penyihir Wanita yang Ditumpas oleh Mpu Baradah Utusan Raja Airlangga
Iwan Simatupang seorang pembaharu sastra Indonesia. Kelahiran Ziarah, Merahnya Merah, Kering, Kooong, dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit, sontak menyentak semua. Ia sebut karyanya sebagai novel masa depan.
Kisah-kisah yang dibangun Iwan Simatupang tidak memberikan ruang lapang untuk pahlawan. Juga tak bertema sekaligus tak mempedulikan moral. Tokoh utamanya selalu laki-laki.
Tokohnya selalu tak beridentitas atau nama pribadi, kecuali sebutan profesi atau alias. Iwan Simatupang juga lebih menyukai frase panggilan “tokoh kita”. Ada tokoh kita di cerita Ziarah. Begitu juga di kisah Merahnya Merah dan lainnya.
Karya Iwan Simatupang dianggap ganjil dan menuai banyak pujian sekaligus kecaman. Mungkin semua itu dipengaruhi filsafat eksistensialisme dan fenomenologi yang dianutnya.
“Sastrawan ini secara kontroversial telah mengguncang dunia kesusasteraan Indonesia modern menjelang akhir dekade 1960-an dengan novel-novelnya,” tulis Kurnia Jr dalam buku “Inspirasi? Nonsens!, Novel-novel Iwan Simatupang”.
Manikebu dengan Humanisme Universal di satu kutub dan Lekra yang mengusung Realisme Sosialis di kutub lain. Dua lembaga kebudayaan pada masa orde lama yang saling terkam, saling sikut.
Iwan Simatupang tak pernah gentar dengan ancaman Lekra: tahun pembabatan. Dalam surat politiknya 1964 -1966 kepada B Soelarto, sastrawan asal Yogya, Iwan menegaskan dirinya seorang nasionalis.
“Kau tahu, aku nasionalis, bekas pejuang (Komandan TRIP Sumatera Utara), anti kapitalis, anti (sok) sosialisme kanan, tetapi sebaliknya: tegas-tegas menentang setiap paham, doktrin, ideologi, yang (mencoba) merongrong keutuhan dari keagungan manusia!.”
Baca juga: Calon Arang, Penyihir Wanita yang Ditumpas oleh Mpu Baradah Utusan Raja Airlangga
Iwan Simatupang seorang pembaharu sastra Indonesia. Kelahiran Ziarah, Merahnya Merah, Kering, Kooong, dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit, sontak menyentak semua. Ia sebut karyanya sebagai novel masa depan.
Kisah-kisah yang dibangun Iwan Simatupang tidak memberikan ruang lapang untuk pahlawan. Juga tak bertema sekaligus tak mempedulikan moral. Tokoh utamanya selalu laki-laki.
Tokohnya selalu tak beridentitas atau nama pribadi, kecuali sebutan profesi atau alias. Iwan Simatupang juga lebih menyukai frase panggilan “tokoh kita”. Ada tokoh kita di cerita Ziarah. Begitu juga di kisah Merahnya Merah dan lainnya.
Karya Iwan Simatupang dianggap ganjil dan menuai banyak pujian sekaligus kecaman. Mungkin semua itu dipengaruhi filsafat eksistensialisme dan fenomenologi yang dianutnya.
“Sastrawan ini secara kontroversial telah mengguncang dunia kesusasteraan Indonesia modern menjelang akhir dekade 1960-an dengan novel-novelnya,” tulis Kurnia Jr dalam buku “Inspirasi? Nonsens!, Novel-novel Iwan Simatupang”.