Pengusaha Tempe di Kolaka Utara Keluhkan Harga Kedelai yang Kian Mahal dan Langka

Rabu, 14 Desember 2022 - 18:10 WIB
loading...
Pengusaha Tempe di Kolaka Utara Keluhkan Harga Kedelai yang Kian Mahal dan Langka
Para pengusaha tempe dan tahu di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, mengeluh karena semakin langka dan mahalnya harga kedelai di pasaran. Foto Mur Rusli
A A A
KOLAKA UTARA - Para pengusaha tempe dan tahu di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, mengeluh karena semakin langka dan mahalnya harga kedelai di pasaran. Akibat mahalnya harga kedelain, para pengusaha terpaksa mengurangi ukuran dan jumlah hasil produksi.

Sugeng, produsen tempe asal Dusun II, Desa Ponggiha, Kecamatan Lasusua mengatakan, permintaan pasar ikut menurun meski tetap mempertahankan harga penjual dengan kemasan yang lebih mini Menurut Sugeng, harga kedelai tahun sebelumnya masih diperoleh Rp8.000 per kg dan terus merangkak naik hingga Rp17.000, sekarang.



"Tidak pernah turun lagi dan naik terus. Kami siasati dengan mengurangi ukuran," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (14/12/2022).

Pemangkasan ukuran produk dilakukan agar harga penjualan tetap berlaku normal kepada pedagang. Akan tetapi, animo konsumen saat ini dialami para pedagang ikut turun dengan kemasan yang lebih mini yang dipasarkan.

Usaha Sugeng saat ini tetap bertahan di tengah tingginya harga kedelai. Ia harus memproduksi minimal 30 kg kedelai agar bisa menutupi biaya pengeluaran. Banyak pengusaha kecil seprofesinya macet dan gulung tikar. "Harus produksi minimal satu kwintal supaya ada keuntungan. Kalau modal kecil kasian ya macet," imbuhnya.

Dirinci Sugeng, dari harga kedelai Rp17.000 per kg saat ini menghasilkan 16 keping tempe dengan nilai keuntungan Rp2.500. Jika 30 kg saja dinilai hanya mampu menutupi biaya pembelian plastik kemasannya senilai Rp45.000 per kg.

"Kalau hanya bikin tempe saja zonk (rugi) karena mau gaji karyawan juga. Jadi yang mengimbang penjualan ini tahu," ungkapnya.

Saat ini pria berambut ikal itu hanya bisa meraup untung sekitar Rp940.000 per bulan dari jumlah kedelai yang diolah seberat 1,5 ton. Jika dibanding harga sebelumnya ia mengaku untung tiga kali lipat karena hasil produksi lebih banyak dengan harga komoditi yang terjangkau.

Sugeng mengemukakan jika kedelai yang digunakan saat ini merupakan produk import dari Amerika yang disuplai dari agen penyuplai di Makassar (Sulsel) berkemasan 50 kg. Komoditi lokal mulai dirasakan pahit setelah diproses.

"Tidak berani saya beli. Kemarin saya dikasi petani cuma-cuma dan saya hanya simpan saja. Mungkin faktor bibitnya atau perawatannya," pungkasnya.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.5491 seconds (0.1#10.140)