Akhir Tragis Patih Nambi, Terbunuh Akibat Fitnah Pengkhianat Kerajaan Majapahit
loading...
A
A
A
PENGHASUTAN dan pengkhianatan berseliweran di tataran elite Kerajaan Majapahit, utamanya di masa peralihan kepemimpinan dari Raden Wijaya ke puteranya Jayanegara. Fitnah keji itu juga yang membuat Mahapatih Nambi terbunuh dan dicap sebagai pemberontak kerajaan.
Dikisahkan, kala itu Mahapati Nambi mengambil cuti untuk menghadiri pemakaman ayahnya, Aria Wiraraja di Lamajang Tigang Juru. Saat itu, Mahapati dikisahkan turut hadir melayat, dan menyarankan Nambi yang sudah menjadi patih di Majapahit, untuk memperpanjang cutinya. Bahkan, Mahapati sendiri yang menawarkan diri kepada Nambi, untuk mengizinkan perpanjangan cuti itu ke Raja Jayanegara.
Namun saat kembali ke istana Majapahit, Mahapati justru menyampaikan kepada Jayanegara, bahwa Nambi tak akan kembali ke Majapahit dan menyiapkan pemberontakan. Kabar itu membuat Jayanegara marah besar, dan akhirnya mengirimkan pasukan dengan kekuatan maha dahsyat untuk menghancurkan Lamajang Tigang Juru yang kini bernama Lumajang. Pertempuran dahsyat terjadi di selatan Gunung Semeru, dan membuat Nambi beserta keluarganya tewas sebagai pemberontak Majapahit.
Fitnah keji itu bukan hanya menimpa Nambi yang berujung nyawanya melayang, tetapi hasutan dan fitnah itulah yang memicu perang dan pemberontakan di Majapahit hingga para kesatria yang turut berjuang bersama Raden Wijaya mendirikan Majapahit terbunuh, seperti Ranggalawe dan Lembu Sora.
Semuanya merupakan kesatria pejuang pendirian Majapahit. Namun, semuanya mati dengan tragis dan dicap sebagai pemberontak hanya karena hasutan Mahapati. Hasutan itu juga yang memicu terjadinya pemberontakan-pemberontakan besar di Majapahit.
Pemberontakan besar itu tertulis dalam Kitab Pararaton dilakukan oleh sejumlah pengikut setia Raden Wijaya. Di antaranya, dilakukan oleh Ranggalawe yang diduga terjadi tahun 1309 saat Jayanagara naik tahta di Majapahit.
Dalam kisah pemberontakan Ranggalawe, disebut Mahapati menghasut Ranggalawe supaya menentang pengangkatan Nambi sebagai patih. Di lain pihak, Mahapati juga menghasut Nambi agar memberikan hukuman atas sikap pemberontakan yang dilakukan Ranggalawe. Adu domba yang dilakukan Mahapati tersebut, memicu meletusnya perang saudara pertama di Majapahit.
Kisah Ranggalawe yang turut berjuang mendirikan Majapahit, akhirnya berakhir tragis dengan kematian sebagai pemberontak. Ranggalawe dibunuh Kebo Anabrang, dalam perang dahsyat di Sungai Tambak Beras. Bunuh-membunuh masih terjadi akibat fitnah keji tersebut. Kebo Anabrang akhirnya juga tewas dibunuh oleh paman Ranggalawe, Lembu Sora. Selepas kematian Kebo Anabrang, fitnah keji Mahapati masih terus berlanjut.
Putra Kebo Anabrang, Mahisa Taruna dihasut supaya menuntut adanya pengadilan untuk Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang. Pengadilan itu akhirnya terwujud. Raden Wijaya memutuskan Lembu Sora bersalah, dan dijatuhi hukuman. Tetapi, karena jasa Lembu Sora dalam mendirikan Majapahit, Raden Wijaya hanya memberikan hukuman pembuangan.
Mahapati yang memiliki ambisi besar berkuasa di Majapahit, tak lelah menebar hasutannya. Dia kembali menghasut Lembu Sora yang telah dibuang, untuk meminta hukuman yang lebih pantas, yakni hukuman mati. Mendengar hasutan dari mulut berbisa Mahapati, Lembu Sora yang berada di pembuangan, akhirnya berangkat ke Ibu Kota Majapahit, untuk meminta hukuman mati. Namun, sesampainya di ibu kota kerajaan, Lembu Sora langsung dikeroyok prajurit penjaga istana hingga tewas, sebelum bertemu dengan raja dan meminta hukuman mati.
Pengeroyokan terhadap Lembu Sora, yang dilakukan prajurit penjaga istana Majapahit tersebut, dipimpin oleh Nambi. Hal ini terjadi, karena Mahapati telah menghasut Nambi, bahwa Lembu Sora akan membuat keonaran di dalam istana. Kematian Lembu Sora terjadi saat Majapahit dipimpin Raja Jayanegara. Jayanegara yang naik tahta menggantikan ayahnya, Raden Wijaya, sebenarnya memiliki hubungan baik dengan Lembu Sora, karena Lembu Sora pernah menjadi mentornya saat memerintah di Kadiri, atau Daha.
Sosok yang mendalangi fitnah ke Nambi, Ranggalawe dan Lembu Sora pada naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka, disebut bernama Mahapati. Penyebutan nama Mahapati dalam naskah-naskah kuno tersebut, menjadi penunjuk pelakunya merupakan orang berkuasa di istana Kerajaan Majapahit. Istilah maha bermaka besar, sedangkan pati bermakna penguasa.
Nama Mahapati sebagai sosok tokoh yang memfitnah Nambi, juga dapat diartikan bukanlah nama asli seseorang, melainkan nama julukan. Nama Mahapati itu tidak dijumpai dalam prasasti apapun, sehingga diduga merupakan nama ciptaan pengarang Pararaton.
Dalam Kitab Nagarakertagama, kematian Nambi yang merupakan Patih Majapahit kala itu, tidak diungkap secara detail. Kematian seorang patih kerajaan ini hanya dituliskan secara singkat, dan tidak diungkap penyebabnya. Tafsir lain tentang Mahapati ini diungkapkan sejarawan Slamet Muljana. Dia menyebut, Mahapati identik dengan Patih Majapahit, Dyah Halayudha. Nama Dyah Halayudha tercatat dalam prasasti Sidateka tahun 1323, sebagai Patih Majapahit menggantikan Nambi yang tewas pada tahun 1316.
Menilik nama Dyah yang dipakai Halayudha, diduga Halayudha merupakan keluarga bangsawan di Majapahit. Pasalnya gelar Dyah dipakai oleh keturunan raja Majapahit. Bahkan, dalam Kitab Nagarakertagama, Raden Wijaya juga disebut sebagai Dyah Wijaya. Sementara, dalam prasasti Sukamerta, nama Patih Nambi, dan Lembu Sora hanya disebut sebagai Mpu. Diduga, kondisi inilah yang memicu rasa sakit hati Halayudha kepada Nambi dan Lembu Sora, karena lebih dipercaya oleh Raden Wijaya menjabat sebagai patih yang merupakan jabatan tertinggi di bawah kekuasaan raja Majapahit
Akhir kisah Mahapati terjadi usai pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini, tercatat sebagai pemberontakan paling dahsyat di Majapahit. Kuti mampu menguasai istana Majapahit, hingga membuat Jayanagara lari mengungsi di Desa Badamder. Pemberontakan Kuti akhirnya berhasil ditumpas berkat kelihaian dan keberanian Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkara.
Pemberontakan Kuti ini, juga memicu kerenggangan hubungan Jayanagara dengan Mahapati. Bahkan, semua kejahatan Mahapati di dalam istana Majapahit, hingga memicu terjadinya berbagai pemberontakan, akhirnya terbongkar satu-persatu. Hukuman sangat berat dijatuhkan kepada Mahapati. Dia dihukum mati dengan dicincang layaknya mencincang daging babi hutan.
Sumber:
dok.sindonews
"Sejarah Perkembangan Majapahit" karya Riboet Darmosoetopo
Lihat Juga: Kisah Kitab Kuno Nagarakretagama Deskripsikan Kerajaan Besar yang Berkuasa di Pulau Jawa
Dikisahkan, kala itu Mahapati Nambi mengambil cuti untuk menghadiri pemakaman ayahnya, Aria Wiraraja di Lamajang Tigang Juru. Saat itu, Mahapati dikisahkan turut hadir melayat, dan menyarankan Nambi yang sudah menjadi patih di Majapahit, untuk memperpanjang cutinya. Bahkan, Mahapati sendiri yang menawarkan diri kepada Nambi, untuk mengizinkan perpanjangan cuti itu ke Raja Jayanegara.
Namun saat kembali ke istana Majapahit, Mahapati justru menyampaikan kepada Jayanegara, bahwa Nambi tak akan kembali ke Majapahit dan menyiapkan pemberontakan. Kabar itu membuat Jayanegara marah besar, dan akhirnya mengirimkan pasukan dengan kekuatan maha dahsyat untuk menghancurkan Lamajang Tigang Juru yang kini bernama Lumajang. Pertempuran dahsyat terjadi di selatan Gunung Semeru, dan membuat Nambi beserta keluarganya tewas sebagai pemberontak Majapahit.
Fitnah keji itu bukan hanya menimpa Nambi yang berujung nyawanya melayang, tetapi hasutan dan fitnah itulah yang memicu perang dan pemberontakan di Majapahit hingga para kesatria yang turut berjuang bersama Raden Wijaya mendirikan Majapahit terbunuh, seperti Ranggalawe dan Lembu Sora.
Semuanya merupakan kesatria pejuang pendirian Majapahit. Namun, semuanya mati dengan tragis dan dicap sebagai pemberontak hanya karena hasutan Mahapati. Hasutan itu juga yang memicu terjadinya pemberontakan-pemberontakan besar di Majapahit.
Pemberontakan besar itu tertulis dalam Kitab Pararaton dilakukan oleh sejumlah pengikut setia Raden Wijaya. Di antaranya, dilakukan oleh Ranggalawe yang diduga terjadi tahun 1309 saat Jayanagara naik tahta di Majapahit.
Dalam kisah pemberontakan Ranggalawe, disebut Mahapati menghasut Ranggalawe supaya menentang pengangkatan Nambi sebagai patih. Di lain pihak, Mahapati juga menghasut Nambi agar memberikan hukuman atas sikap pemberontakan yang dilakukan Ranggalawe. Adu domba yang dilakukan Mahapati tersebut, memicu meletusnya perang saudara pertama di Majapahit.
Kisah Ranggalawe yang turut berjuang mendirikan Majapahit, akhirnya berakhir tragis dengan kematian sebagai pemberontak. Ranggalawe dibunuh Kebo Anabrang, dalam perang dahsyat di Sungai Tambak Beras. Bunuh-membunuh masih terjadi akibat fitnah keji tersebut. Kebo Anabrang akhirnya juga tewas dibunuh oleh paman Ranggalawe, Lembu Sora. Selepas kematian Kebo Anabrang, fitnah keji Mahapati masih terus berlanjut.
Putra Kebo Anabrang, Mahisa Taruna dihasut supaya menuntut adanya pengadilan untuk Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang. Pengadilan itu akhirnya terwujud. Raden Wijaya memutuskan Lembu Sora bersalah, dan dijatuhi hukuman. Tetapi, karena jasa Lembu Sora dalam mendirikan Majapahit, Raden Wijaya hanya memberikan hukuman pembuangan.
Mahapati yang memiliki ambisi besar berkuasa di Majapahit, tak lelah menebar hasutannya. Dia kembali menghasut Lembu Sora yang telah dibuang, untuk meminta hukuman yang lebih pantas, yakni hukuman mati. Mendengar hasutan dari mulut berbisa Mahapati, Lembu Sora yang berada di pembuangan, akhirnya berangkat ke Ibu Kota Majapahit, untuk meminta hukuman mati. Namun, sesampainya di ibu kota kerajaan, Lembu Sora langsung dikeroyok prajurit penjaga istana hingga tewas, sebelum bertemu dengan raja dan meminta hukuman mati.
Pengeroyokan terhadap Lembu Sora, yang dilakukan prajurit penjaga istana Majapahit tersebut, dipimpin oleh Nambi. Hal ini terjadi, karena Mahapati telah menghasut Nambi, bahwa Lembu Sora akan membuat keonaran di dalam istana. Kematian Lembu Sora terjadi saat Majapahit dipimpin Raja Jayanegara. Jayanegara yang naik tahta menggantikan ayahnya, Raden Wijaya, sebenarnya memiliki hubungan baik dengan Lembu Sora, karena Lembu Sora pernah menjadi mentornya saat memerintah di Kadiri, atau Daha.
Sosok yang mendalangi fitnah ke Nambi, Ranggalawe dan Lembu Sora pada naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka, disebut bernama Mahapati. Penyebutan nama Mahapati dalam naskah-naskah kuno tersebut, menjadi penunjuk pelakunya merupakan orang berkuasa di istana Kerajaan Majapahit. Istilah maha bermaka besar, sedangkan pati bermakna penguasa.
Nama Mahapati sebagai sosok tokoh yang memfitnah Nambi, juga dapat diartikan bukanlah nama asli seseorang, melainkan nama julukan. Nama Mahapati itu tidak dijumpai dalam prasasti apapun, sehingga diduga merupakan nama ciptaan pengarang Pararaton.
Dalam Kitab Nagarakertagama, kematian Nambi yang merupakan Patih Majapahit kala itu, tidak diungkap secara detail. Kematian seorang patih kerajaan ini hanya dituliskan secara singkat, dan tidak diungkap penyebabnya. Tafsir lain tentang Mahapati ini diungkapkan sejarawan Slamet Muljana. Dia menyebut, Mahapati identik dengan Patih Majapahit, Dyah Halayudha. Nama Dyah Halayudha tercatat dalam prasasti Sidateka tahun 1323, sebagai Patih Majapahit menggantikan Nambi yang tewas pada tahun 1316.
Menilik nama Dyah yang dipakai Halayudha, diduga Halayudha merupakan keluarga bangsawan di Majapahit. Pasalnya gelar Dyah dipakai oleh keturunan raja Majapahit. Bahkan, dalam Kitab Nagarakertagama, Raden Wijaya juga disebut sebagai Dyah Wijaya. Sementara, dalam prasasti Sukamerta, nama Patih Nambi, dan Lembu Sora hanya disebut sebagai Mpu. Diduga, kondisi inilah yang memicu rasa sakit hati Halayudha kepada Nambi dan Lembu Sora, karena lebih dipercaya oleh Raden Wijaya menjabat sebagai patih yang merupakan jabatan tertinggi di bawah kekuasaan raja Majapahit
Akhir kisah Mahapati terjadi usai pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini, tercatat sebagai pemberontakan paling dahsyat di Majapahit. Kuti mampu menguasai istana Majapahit, hingga membuat Jayanagara lari mengungsi di Desa Badamder. Pemberontakan Kuti akhirnya berhasil ditumpas berkat kelihaian dan keberanian Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkara.
Pemberontakan Kuti ini, juga memicu kerenggangan hubungan Jayanagara dengan Mahapati. Bahkan, semua kejahatan Mahapati di dalam istana Majapahit, hingga memicu terjadinya berbagai pemberontakan, akhirnya terbongkar satu-persatu. Hukuman sangat berat dijatuhkan kepada Mahapati. Dia dihukum mati dengan dicincang layaknya mencincang daging babi hutan.
Sumber:
dok.sindonews
"Sejarah Perkembangan Majapahit" karya Riboet Darmosoetopo
Lihat Juga: Kisah Kitab Kuno Nagarakretagama Deskripsikan Kerajaan Besar yang Berkuasa di Pulau Jawa
(nic)