Evi Novida Ginting Manik Sudah Tepat Laksanakan Putusan PHPU MK

Rabu, 08 Juli 2020 - 13:30 WIB
loading...
Evi Novida Ginting Manik...
Evi Novida Ginting Manik. (Foto/SINDOnews/Dok)
A A A
MEDAN - Mantan Hakim Konstitusi (MK) periode 2015-2020, I Dewa Gede Palguna menegaskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah tepat dalam melaksanakan amar putusan PHPU MK No 154/2019.

Menurutnya menjadi aneh jika KPU dijatuhi sanksi etik ketika telah menjalankan putusan sesuai yang ditetapkan tanpa ada tafsiran dan penilaian lain.

Dalam kasus calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan (dapil) VI Evi Novida Ginting Manik selaku Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu saat itu, hanya menindaklanjuti putusan MK mengenai hasil pemilihan umum yang digugat oleh Hendri Makaluasc pada Pemilihan Legislatif 2019.

“KPU sudah tepat melaksanakan (Putusan PHPU MK No 154/2019), karena KPU dalam pengamatan saya, sudah melaksanakan persis seperti yang tertuang dalam amar putusan mahkamah. Dengan demikian tidak ada kekliruan dalam pelaksanaan putusan mahkamah,” kata Palguna saat menjadi saksi ahli pada sidang perkara yang diajukan oleh Evi Novida Ginting di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Palguna menjelaskan, antara Putusan MK, Putusan Bawaslu, dan Putusan DKPP, maka Putusan MK yang memiliki kedudukan lebih tinggi sebagai lex superior. Menjadi aneh menurutnya jika ada pihak yang punya itikad baik untuk menaati putusan MK sebagaimana perintah Pasal 24c ayat (1) UUD 1945, dikatakan telah melakukan pelanggaran etik.

Hal itu disampaikannya saat dimintai tanggapan terkait pertentangan antara norma di Putusan MK No.154/2019 dengan Putusan Bawaslu No.183/2019 yang berujung pada Putusan DKPP No.317/2019 tanggal 18 Maret 2020 dimana menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Evi Novida Ginting dan peringatan keras kepada komisioner KPU RI lainnya.

“Buat saya itu problem besar. Dan itu sesuatu yang konstruksinya tidak saya pahami. Harusnya tidak terjadi,” ujar Palguna.

Palguna menjelaskan, Hakim MK dalam amar putusannya sesuai dengan prinsip hukum perdata tidak boleh mengabulkan sesuatu yang tidak diminta oleh penggugat atau pemohon. Sementara dalam PHPU MK No 154/2019, yang diminta oleh pemohon ketika itu hanya menetapkan perolehan suara Hendri Makaluasc. Tidak ada permintaan untuk mengurangi perolehan suara Cok Hendri Ramapon. Oleh karenanya, itulah yang diamarkan di Putusan MK.

“Sifat dari perkara atau permohonan PHPU sifatnya inter partes. Ada terminologi pemohon dan termohon. Dalam sifat itu, berlaku prinsip sebagaimana lazimnya dalam hukum perdata, yaitu hakim tidak boleh mengabulkan sesuatu yang tidak diminta oleh penggugat atau pemohon,” ujar Palguna yang kini aktif sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali itu.

Disinggung menganai apakah Putusan MK dapat ditafsirkan oleh lembaga lain jika dianggap terjadi kekosongan terkait kasus tersebut, Palguna menegaskan bahwa bahwa ketika ada yang menyebutkan terdapat ruang kosong dalam putusan MK, maka itu sudah menjadi sesuatu yang keliru sebab terdapat pihak yang mencoba melakukan penilaian terhadap Putusan MK.

“Ketika Anda mengatakan jika terdapat kekosongan, berarti sudah ada penilaian terhadap putusan MK, padahal putusan MK pertama dan terkahir, dan final (Pasal 24c Ayat 1, UUD 1945). Artinya, tidak ada pengadilan banding, apalagi kasasi terhadap putusan MK. Dengan demikian, tidak ada lembaga lain yang bisa bertindak seolah-seolah sebagai pengadilan banding terhadap putusan MK. Bahkan, juga tidak bisa dilakukan oleh MK untuk perkara yang sama,” terang Palguna.
(vit)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2041 seconds (0.1#10.140)