Kisah Sunan Bonang Dihadang Buta Locaya saat Mengislamkan Kediri
loading...
A
A
A
Kediri, yang dipandang sebagai kawasan pedalaman di masa Kesultanan Demak (1481-1554), dipilih oleh Sunan Bonang sebagai wilayah dakwah Islam pertamanya di luar kawasan pesisir utara.
Dibanding Tuban dan sekitarnya (utara), masuknya agama Islam di Kediri lebih belakangan. Di masa itu, sebagian besar masyarakat Kediri masih memegang erat agama Budha, yakni agama Budha, Hindu Syiwa, dan sehimpunan agama purba peninggalan leluhur.
Di Kediri, ajaran Bhairawa Tantra atau Tantrayana masih memiliki banyak pengikut. "Ketika Jawa bergeser ke Islam pada dekade akhir abad 1400-an, Kediri dan sekitarnya tetap menjadi pangkalan keyakinan Buda," tulis George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa.
Sunan Bonang yang terlahir di Tuban dengan nama Mahdum Ibrahim, merupakan putra Sunan Ampel. Ibunya, Nyai Ageng Manila adalah putri Arya Teja, Bupati Tuban. Babad Risaking Majapahit dan Babad Cirebon menyebut Sunan Bonang memiliki adik bernama Raden Qosim atau Sunan Drajat yang juga salah satu dari Walisongo.
Kedatangan Sunan Bonang bersama dua santrinya di Kediri dicegat oleh Buta Locaya, yakni danyang rakyat Kediri. Syahdan, Buta Locaya dulunya adalah patih Raja Jayabaya yang kemudian menjelma menjadi roh penjaga (danyang). Begitu juga dengan patih Tunggul Wulung.
Saat wafat, Jayabaya dikisahkan telah mengutus Buta Locaya, dan Tunggul Wulung, untuk melindungi dan memelihara rakyatnya. Buta Locaya ditugasi menjaga kawasan sawah dan sungai. Sedangkan Tunggul Wulung dipasrahi wilayah Gunung Kelud.
Sunan Bonang sudah mendengar seperti apa Kediri, termasuk cerita-cerita sebagai kawasan tua dan angker. Karena merasa haus, perjalanan yang berada tidak jauh dari Sungai Brantas, dihentikan sejenak. Sunan Bonang menyuruh santrinya mencari air minum.
Santri Sunan Bonang itu mendatangi salah satu rumah penduduk, di mana seorang gadis remaja sedang duduk di depan pintu. Dengan tutur kata lembut dan sopan, diutarakanlah keinginan meminta air minum. Tapi apa yang didapat? Dengan ketus gadis itu mengatakan di rumahnya tidak ada air minum.
Gadis itu dengan nada mengejek bertanya balik: "Apakah air Sungai Brantas masih tidak cukup untuk diminum?". Santri Sunang Bonang kaget, dan seketika beranjak pergi. Insiden tersebut langsung disampaikan kepada Sunan Bonang.
Mendengar pengaduan santrinya, Sunan Bonang sontak tersinggung. Dengan geram dilontarkanlah kutukan. "Orang-orang itu tidak pernah akan punya air lagi!", demikian dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa.
Kutukan itu mengakibatkan aliran Sungai Brantas di Kediri bergeser lebih ke timur. Akibatnya tempat di mana Sunan Bonang berdiri, termasuk desa tempat gadis itu tinggal, berubah menjadi daerah gersang, krisis air. Melihat peristiwa itu Buta Locaya gusar, dan seketika memperlihatkan diri.
Buta Locaya menegur Sunan Bonang dengan kalimat keras. Ia menyebut tidak sepantasnya seorang wali mengeluarkan kutukan yang mengakibatkan sengsaranya orang banyak. Bagi rakyat yang tidak mengerti apa-apa, kutukan itu tidak adil. Hal itu mengingat yang berbuat kesalahan adalah satu orang.
Percakapan antara Sunan Bonang dan Buta Locaya tersebut diabadikan dalam serat Darmagandhul yang ditulis tahun 1870. Buta Locaya menuntut Sunan Bonang mengembalikan semua seperti sedia kala. Jika tidak, ia mengancam akan mengutuk semua orang Jawa yang masuk Islam. Semua akan dicelakainya.
Mendengar itu, Sunan Bonang tertegun. Dengan meminta maaf, S unan Bonang mengatakan, kutukannya tidak berlaku permanen. Dalam Babad Kadhiri, Sunan Bonang menyebut 500 tahun. Sedangkan Serat Darmagandhul menyebut kutukan berlaku 400 tahun.
"Kutukanku akan berlaku selama 400 tahun saja. Setelah itu Sungai Brantas akan pindah ke barat lagi, kembali ke alurnya semula". Pertengkaran antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya juga terjadi saat sebuah arca Totok Kerot dirusak.
Konon, Sunan Bonang sengaja memotong lengan sekaligus memukul bagian dahi arca hingga berlubang. Kepada Buta Locaya, Sunan Bonang beralasan agar tidak ada lagi orang Jawa di Kediri yang memuja arca. Tidak ada lagi yang menyembah, berdoa dan memberinya sesaji.
Buta Locaya marah, karena menurutnya arca Totok Kerot tersebut hasil pahatan Raja Jayabaya. Ia mengatakan orang Jawa sangat paham arca terbuat dari batu dan tidak lebih dari itu.
Pemujaan, termasuk memberi sesaji dan membakar dupa, bertujuan agar bangsa lelembut bersemayam di arca. Sehingga tidak ada yang bergentayangan ke mana-mana, tidak ada yang mengganggu kehidupan manusia.
"Kalau mereka punya rumah di arca, terutama kalau arca itu berada di tempat yang nyaman dan sepi di bawah pohon besar yang rindang, mereka senang. Mereka tidak perlu berbagi ruang dengan manusia," demikian seperti dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Bonang singgah di sebuah wilayah yang kemudian diberinya nama Desa Singkal Anyar (sekarang masuk wilayah Prambon, Kabupaten Nganjuk). Singkal mengandung arti saat kesusahan menemukan akal untuk lepas.
Adanya penentangan keras dari Buta Locaya membuat dakwah Sunan Bonang di Kediri kurang berhasil. Hikayat Hasanudin mengatakan, karena kurang berhasil, setelah dari Kediri Sunan Bonang langsung bertolak ke Demak. Pangeran Ratu atau Raden Patah, Sultan Demak telah memanggilnya.
Setiba di Demak, Sunan Bonang ditunjuk menjadi imam Madjid Demak. Sunan Bonang wafat tahun 1525, pada usia 60 tahun tanpa meninggalkan anak dan istri. Makam Sunan Bonang dipercaya sebagian besar masyarakat berada di empat tempat, yakni Tuban, Lasem, Bawean dan Madura.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Dibanding Tuban dan sekitarnya (utara), masuknya agama Islam di Kediri lebih belakangan. Di masa itu, sebagian besar masyarakat Kediri masih memegang erat agama Budha, yakni agama Budha, Hindu Syiwa, dan sehimpunan agama purba peninggalan leluhur.
Di Kediri, ajaran Bhairawa Tantra atau Tantrayana masih memiliki banyak pengikut. "Ketika Jawa bergeser ke Islam pada dekade akhir abad 1400-an, Kediri dan sekitarnya tetap menjadi pangkalan keyakinan Buda," tulis George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa.
Sunan Bonang yang terlahir di Tuban dengan nama Mahdum Ibrahim, merupakan putra Sunan Ampel. Ibunya, Nyai Ageng Manila adalah putri Arya Teja, Bupati Tuban. Babad Risaking Majapahit dan Babad Cirebon menyebut Sunan Bonang memiliki adik bernama Raden Qosim atau Sunan Drajat yang juga salah satu dari Walisongo.
Kedatangan Sunan Bonang bersama dua santrinya di Kediri dicegat oleh Buta Locaya, yakni danyang rakyat Kediri. Syahdan, Buta Locaya dulunya adalah patih Raja Jayabaya yang kemudian menjelma menjadi roh penjaga (danyang). Begitu juga dengan patih Tunggul Wulung.
Saat wafat, Jayabaya dikisahkan telah mengutus Buta Locaya, dan Tunggul Wulung, untuk melindungi dan memelihara rakyatnya. Buta Locaya ditugasi menjaga kawasan sawah dan sungai. Sedangkan Tunggul Wulung dipasrahi wilayah Gunung Kelud.
Sunan Bonang sudah mendengar seperti apa Kediri, termasuk cerita-cerita sebagai kawasan tua dan angker. Karena merasa haus, perjalanan yang berada tidak jauh dari Sungai Brantas, dihentikan sejenak. Sunan Bonang menyuruh santrinya mencari air minum.
Santri Sunan Bonang itu mendatangi salah satu rumah penduduk, di mana seorang gadis remaja sedang duduk di depan pintu. Dengan tutur kata lembut dan sopan, diutarakanlah keinginan meminta air minum. Tapi apa yang didapat? Dengan ketus gadis itu mengatakan di rumahnya tidak ada air minum.
Baca Juga
Gadis itu dengan nada mengejek bertanya balik: "Apakah air Sungai Brantas masih tidak cukup untuk diminum?". Santri Sunang Bonang kaget, dan seketika beranjak pergi. Insiden tersebut langsung disampaikan kepada Sunan Bonang.
Mendengar pengaduan santrinya, Sunan Bonang sontak tersinggung. Dengan geram dilontarkanlah kutukan. "Orang-orang itu tidak pernah akan punya air lagi!", demikian dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa.
Kutukan itu mengakibatkan aliran Sungai Brantas di Kediri bergeser lebih ke timur. Akibatnya tempat di mana Sunan Bonang berdiri, termasuk desa tempat gadis itu tinggal, berubah menjadi daerah gersang, krisis air. Melihat peristiwa itu Buta Locaya gusar, dan seketika memperlihatkan diri.
Buta Locaya menegur Sunan Bonang dengan kalimat keras. Ia menyebut tidak sepantasnya seorang wali mengeluarkan kutukan yang mengakibatkan sengsaranya orang banyak. Bagi rakyat yang tidak mengerti apa-apa, kutukan itu tidak adil. Hal itu mengingat yang berbuat kesalahan adalah satu orang.
Percakapan antara Sunan Bonang dan Buta Locaya tersebut diabadikan dalam serat Darmagandhul yang ditulis tahun 1870. Buta Locaya menuntut Sunan Bonang mengembalikan semua seperti sedia kala. Jika tidak, ia mengancam akan mengutuk semua orang Jawa yang masuk Islam. Semua akan dicelakainya.
Baca Juga
Mendengar itu, Sunan Bonang tertegun. Dengan meminta maaf, S unan Bonang mengatakan, kutukannya tidak berlaku permanen. Dalam Babad Kadhiri, Sunan Bonang menyebut 500 tahun. Sedangkan Serat Darmagandhul menyebut kutukan berlaku 400 tahun.
"Kutukanku akan berlaku selama 400 tahun saja. Setelah itu Sungai Brantas akan pindah ke barat lagi, kembali ke alurnya semula". Pertengkaran antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya juga terjadi saat sebuah arca Totok Kerot dirusak.
Konon, Sunan Bonang sengaja memotong lengan sekaligus memukul bagian dahi arca hingga berlubang. Kepada Buta Locaya, Sunan Bonang beralasan agar tidak ada lagi orang Jawa di Kediri yang memuja arca. Tidak ada lagi yang menyembah, berdoa dan memberinya sesaji.
Buta Locaya marah, karena menurutnya arca Totok Kerot tersebut hasil pahatan Raja Jayabaya. Ia mengatakan orang Jawa sangat paham arca terbuat dari batu dan tidak lebih dari itu.
Pemujaan, termasuk memberi sesaji dan membakar dupa, bertujuan agar bangsa lelembut bersemayam di arca. Sehingga tidak ada yang bergentayangan ke mana-mana, tidak ada yang mengganggu kehidupan manusia.
Baca Juga
"Kalau mereka punya rumah di arca, terutama kalau arca itu berada di tempat yang nyaman dan sepi di bawah pohon besar yang rindang, mereka senang. Mereka tidak perlu berbagi ruang dengan manusia," demikian seperti dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Bonang singgah di sebuah wilayah yang kemudian diberinya nama Desa Singkal Anyar (sekarang masuk wilayah Prambon, Kabupaten Nganjuk). Singkal mengandung arti saat kesusahan menemukan akal untuk lepas.
Adanya penentangan keras dari Buta Locaya membuat dakwah Sunan Bonang di Kediri kurang berhasil. Hikayat Hasanudin mengatakan, karena kurang berhasil, setelah dari Kediri Sunan Bonang langsung bertolak ke Demak. Pangeran Ratu atau Raden Patah, Sultan Demak telah memanggilnya.
Setiba di Demak, Sunan Bonang ditunjuk menjadi imam Madjid Demak. Sunan Bonang wafat tahun 1525, pada usia 60 tahun tanpa meninggalkan anak dan istri. Makam Sunan Bonang dipercaya sebagian besar masyarakat berada di empat tempat, yakni Tuban, Lasem, Bawean dan Madura.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(eyt)