Kisah Kiai Bondoyudo, Pusaka Pangeran Diponegoro yang Menggetarkan Kolonial Belanda
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro memiliki keris pusaka bernama Ki Ageng Bondoyudo atau Kiai Bondoyudo. Bondoyudo mengandung arti ahli duel tanpa senjata. Selama berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), Diponegoro nyaris tidak pernah berjauhan dengan pusakanya..
Sebagai senjata perang, keris pusaka berbilah lurus itu diyakini menyimpan kekuatan esoteris yang menguntungkan. Energi atau yoni yang terkandung di dalam pusaka dipercaya mampu menyokong Pangeran Diponegoro dalam memerangi kolonial Belanda.
“(Kiai Ageng Bondoyudo) digunakan untuk mengobarkan semangat tempur balatentaranya di masa-masa sulit selama perang perang melawan Belanda,” tulis sejarawan Peter Carey dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Baca juga: Kisah Sultan Agung Mengislamkan Penanggalan Jawa, Tepat 1 Suro dan 1 Muharram
Diponegoro memiliki keris Kiai Bondoyudo sejak kembali dari Tegalrejo. Sebelum berubah menjadi keris pusaka, awalnya berupa mata panah. Dalam catatannya, Peter Carey menyebut Pangeran Diponegoro telah mengubah mata panah tersebut menjadi sebilah cundrik atau belati kecil.
Mata panah itu diperoleh melalui laku spiritual. Konon, kilatan cahaya yang tiba-tiba menghampiri Diponegoro saat khusyuk bersemedi. Kilatan cahaya yang menjelma mata panah itu lantas diberi nama Sarutomo. Nama yang terilhami dari Pasopati, senjata pamungkas Arjuna, tokoh Pandawa dalam kisah pewayangan Mahabarata.
Oleh Diponegoro mata panah itu lantas diubah menjadi sebilah belati di mana kemudian Raden Ayu Maduretno atau Ratu Ayu Kedaton, istri keempat Pangeran Diponegoro yang membawanya ke mana-mana.
“Di penghujung tahun 1827, belati itu dilebur dengan dua senjata pusaka lain untuk membuat satu keris pusaka yang diberi nama Kiai Ageng Bondoyudo,” kata Peter Carey.
Kiai Ageng Bondoyudo memiliki perwujudan ramping, tanpa “luk” atau lekukan. Budayawan Kota Kediri yang konsen urusan tosan aji, Imam Mubarok menyebut dapur Kiai Ageng Bondoyudo perpaduan antara gaya Majapahit dan Mataram.
Bentuk ramping Kiai Bondoyudo merupakan ciri khas tangguh Mageti. Dalam dunia perkerisan, tangguh adalah istilah untuk menyebut asal- usul keris pusaka dibuat. Tangguh melibatkan ciri khas, format atau model dari daerah asal keris dicipta.
Nama Mageti, kata Imam Mubarok adalah penisbatan pada daerah Magetan, Jawa Timur. “Penyebutannya Bondoyudo Tangguh Mageti,” kata Imam Mubarok atau akrab disapa Gus Barok.
Lalu siapa pembuat keris Kiai Ageng Boloyudo bertangguh Mageti itu? Gus Barok menyebut Mpu Guno Sasmito atau Ki Guno Sasmito, yakni empu yang bertempat tinggal di Tegalrejo, Kabupaten Magetan.
Mpu Guno Sasmito merupakan dzurriyah (keturunan) Mpu Supodriyo atau Mpu Supo yang ke-13. Ia hidup di masa Pakubuwono VI. Budayawan Linus Suryadi AG dalam buku Regol Megal Megol Fenomena Kosmogoni Jawa, menuliskan silsilah empu zaman Majapahit dengan menempatkan Mpu Supodriyo pada posisi teratas (tertua).
Mpu Supodriyo memiliki anak bernama Mpu Jokosupo atau Pengeran Sedayu. Pada periode akhir Kerajaan Majapahit, Mpu Jokosupo dikenal sebagai empunya empu. “Dan Mpu Guno Sasmito merupakan keturunan yang ke-13,” kata Gus Barok.
Pada masa Pakubuwono VI, Mpu Guno Sasmito kesohor sebagai empu kraton. Pakubowono VI berafiliasi dengan Pangeran Diponegoro. Ia secara khusus meminta Mpu Guno mengawal persenjataan yang dibutuhkan Diponegoro, terutama keris pusaka dan senjata lain, seperti seking (tombak kecil) serta patrem (keris kecil).
Keris tangguh Mageti buatan Mpu Guno memiliki ciri adanya lafal dzikir tarekat syattariyah. Lafal tersebut terutama dipahat pada “Pesi”, yakni bagian terbawah keris yang tertutup gagang. Logam keris Mageti juga dikenal bagus, yakni berasal perpaduan besi dan baja yang padat.
Saking padatnya, ketajaman keris Mageti konon mampu menembus ketebalan baju zirah. Selain bahan yang bagus, yakni inti besi tanah Jowo atau Jawa, kekuatan keris Mageti dipengaruhi proses pemanasan yang sempurna.
Pada 16 Februari 1830 atau sebulan sebelum ditangkap, Pangeran Diponegoro muncul di Remokamal untuk bertemu Kolonel Cleerens. Keris Kiai Bondoyudo Tangguh Mageti terlihat dibawa panglima perangnya, yakni Mertonogoro.
Pusaka tersebut sengaja dipasang di depan pasukan untuk tujuan menolak bala. Pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock tiba-tiba memerintahkan pasukannya menangkap Pangeran Diponegoro. Penangkapan di Magelang Jawa Tengah itu dilakukan saat perundingan masih berlangsung.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock
Setelah ditahan di Batavia dan kemudian berlanjut ke Manado, pada tahun 1833 kolonial Belanda secara diam-diam mengasingkan Pangeran Diponegoro bersama 19 orang pengikutnya ke Makassar. Diponegoro ditawan di Fort Rotterdam.
Pada 8 Januari 1855, pangeran Jawa yang sangat ditakuti kolonial Belanda itu wafat. Saat proses pemakaman, keris pusaka Kiai Bondoyudo tangguh Mageti itu ikut dikuburkan .
“Pada petang di hari yang sama, jenazah Pangeran (Pangeran Diponegoro) dikembumikan di Kampung Melayu bersama keris pusakanya, Kanjeng Kiai Bondoyudo,” tulis Peter Carey dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Sebagai senjata perang, keris pusaka berbilah lurus itu diyakini menyimpan kekuatan esoteris yang menguntungkan. Energi atau yoni yang terkandung di dalam pusaka dipercaya mampu menyokong Pangeran Diponegoro dalam memerangi kolonial Belanda.
“(Kiai Ageng Bondoyudo) digunakan untuk mengobarkan semangat tempur balatentaranya di masa-masa sulit selama perang perang melawan Belanda,” tulis sejarawan Peter Carey dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Baca juga: Kisah Sultan Agung Mengislamkan Penanggalan Jawa, Tepat 1 Suro dan 1 Muharram
Diponegoro memiliki keris Kiai Bondoyudo sejak kembali dari Tegalrejo. Sebelum berubah menjadi keris pusaka, awalnya berupa mata panah. Dalam catatannya, Peter Carey menyebut Pangeran Diponegoro telah mengubah mata panah tersebut menjadi sebilah cundrik atau belati kecil.
Mata panah itu diperoleh melalui laku spiritual. Konon, kilatan cahaya yang tiba-tiba menghampiri Diponegoro saat khusyuk bersemedi. Kilatan cahaya yang menjelma mata panah itu lantas diberi nama Sarutomo. Nama yang terilhami dari Pasopati, senjata pamungkas Arjuna, tokoh Pandawa dalam kisah pewayangan Mahabarata.
Oleh Diponegoro mata panah itu lantas diubah menjadi sebilah belati di mana kemudian Raden Ayu Maduretno atau Ratu Ayu Kedaton, istri keempat Pangeran Diponegoro yang membawanya ke mana-mana.
“Di penghujung tahun 1827, belati itu dilebur dengan dua senjata pusaka lain untuk membuat satu keris pusaka yang diberi nama Kiai Ageng Bondoyudo,” kata Peter Carey.
Kiai Ageng Bondoyudo memiliki perwujudan ramping, tanpa “luk” atau lekukan. Budayawan Kota Kediri yang konsen urusan tosan aji, Imam Mubarok menyebut dapur Kiai Ageng Bondoyudo perpaduan antara gaya Majapahit dan Mataram.
Bentuk ramping Kiai Bondoyudo merupakan ciri khas tangguh Mageti. Dalam dunia perkerisan, tangguh adalah istilah untuk menyebut asal- usul keris pusaka dibuat. Tangguh melibatkan ciri khas, format atau model dari daerah asal keris dicipta.
Nama Mageti, kata Imam Mubarok adalah penisbatan pada daerah Magetan, Jawa Timur. “Penyebutannya Bondoyudo Tangguh Mageti,” kata Imam Mubarok atau akrab disapa Gus Barok.
Lalu siapa pembuat keris Kiai Ageng Boloyudo bertangguh Mageti itu? Gus Barok menyebut Mpu Guno Sasmito atau Ki Guno Sasmito, yakni empu yang bertempat tinggal di Tegalrejo, Kabupaten Magetan.
Mpu Guno Sasmito merupakan dzurriyah (keturunan) Mpu Supodriyo atau Mpu Supo yang ke-13. Ia hidup di masa Pakubuwono VI. Budayawan Linus Suryadi AG dalam buku Regol Megal Megol Fenomena Kosmogoni Jawa, menuliskan silsilah empu zaman Majapahit dengan menempatkan Mpu Supodriyo pada posisi teratas (tertua).
Mpu Supodriyo memiliki anak bernama Mpu Jokosupo atau Pengeran Sedayu. Pada periode akhir Kerajaan Majapahit, Mpu Jokosupo dikenal sebagai empunya empu. “Dan Mpu Guno Sasmito merupakan keturunan yang ke-13,” kata Gus Barok.
Pada masa Pakubuwono VI, Mpu Guno Sasmito kesohor sebagai empu kraton. Pakubowono VI berafiliasi dengan Pangeran Diponegoro. Ia secara khusus meminta Mpu Guno mengawal persenjataan yang dibutuhkan Diponegoro, terutama keris pusaka dan senjata lain, seperti seking (tombak kecil) serta patrem (keris kecil).
Keris tangguh Mageti buatan Mpu Guno memiliki ciri adanya lafal dzikir tarekat syattariyah. Lafal tersebut terutama dipahat pada “Pesi”, yakni bagian terbawah keris yang tertutup gagang. Logam keris Mageti juga dikenal bagus, yakni berasal perpaduan besi dan baja yang padat.
Saking padatnya, ketajaman keris Mageti konon mampu menembus ketebalan baju zirah. Selain bahan yang bagus, yakni inti besi tanah Jowo atau Jawa, kekuatan keris Mageti dipengaruhi proses pemanasan yang sempurna.
Pada 16 Februari 1830 atau sebulan sebelum ditangkap, Pangeran Diponegoro muncul di Remokamal untuk bertemu Kolonel Cleerens. Keris Kiai Bondoyudo Tangguh Mageti terlihat dibawa panglima perangnya, yakni Mertonogoro.
Pusaka tersebut sengaja dipasang di depan pasukan untuk tujuan menolak bala. Pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock tiba-tiba memerintahkan pasukannya menangkap Pangeran Diponegoro. Penangkapan di Magelang Jawa Tengah itu dilakukan saat perundingan masih berlangsung.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock
Setelah ditahan di Batavia dan kemudian berlanjut ke Manado, pada tahun 1833 kolonial Belanda secara diam-diam mengasingkan Pangeran Diponegoro bersama 19 orang pengikutnya ke Makassar. Diponegoro ditawan di Fort Rotterdam.
Pada 8 Januari 1855, pangeran Jawa yang sangat ditakuti kolonial Belanda itu wafat. Saat proses pemakaman, keris pusaka Kiai Bondoyudo tangguh Mageti itu ikut dikuburkan .
“Pada petang di hari yang sama, jenazah Pangeran (Pangeran Diponegoro) dikembumikan di Kampung Melayu bersama keris pusakanya, Kanjeng Kiai Bondoyudo,” tulis Peter Carey dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(msd)