Dewan Minta KPK Awasi Ketat Dana Penanganan COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi ketat penggunaan anggaran penanganan COVID-19 dan dampaknya yang mencapai Rp695,2 triliun. Sahroni menuturkan penanganan virus corona butuh kerja keras semua pihak. Namun, bukan berarti dalam pelaksanaanya boleh dilakukan secara sembarangan.
Penambahan anggaran COVID-19 diketahui terus bertambah. Dari sebelumnya sebesar Rp405,1 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp641,1 triliun, dan bertambah lagi menjadi Rp677,2 triliun, hingga akhirnya tembus angka Rp695,2 triliun. Hal itu dilakukan seiring meningkatnya kebutuhan di lapangan dalam penanganan COVID-19.
"Penanganan pandemi COVID-19 ini pemerintah juga tidak sembarangan. Ini perlu ekstra kerja keras dengan bantuan anggaran. Proses kenaikan anggaran COVID-19 ini didasarkan pada kebutuhan yang mendesak. Kita jangan berpikir anggaran yang besar, tapi pada pokoknya bagaimana menyelamatkan nyawa manusia di Indonesia dengan seksama," ujar Sahroni dalam Live IG SINDOnews Bincang Seru bertajuk Pengawasan Penanganan COVID-19, Jumat 26 Juni 2020 malam.
Menurut dia, pemerintah sangat serius menangani pandemi dengan menjalankan seluruh prosesnya. Sementara DPR juga sudah memberikan rambu-rambu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan dan juga kepolisian.
"Saya dari awal proses sebelum diputuskan berapa nilai anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah, kita minta untuk diawasi dengan ketat. KPK saya minta untuk menjadi garda terdepan dalam pengawasan, utama dalam penggunaan anggaran COVID-19. Ini penting, kalau nggak bisa bermasalah di lain waktu," tuturnya.
Dia mengakui penggunaan anggaran COVID-19 rawan diselewengkan. Di antaranya dalam hal pembelian atau pengadaan alat kesehatan. "Misalnya standar apa yang dipakai maka KPK harus menjalankan fungsi pengawasannya secara intens, dalam artian benar-benar diawasi. Kalau nggak ini bahaya," tuturnya.
Standarisasi pengadaan alat-alat kesehatan seperti rapid test, ventilator, obat-obatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus jelas."Kemenkes juga tidak semena-mena mengeluarkannya. Yang saya tahu Kemenkes juga sangat hati-hati maka proses penanganan ini sepertinya lambat, tapi untuk kehati- hatian," kata Sahroni yang juga Wakil Koordinator Satgas Lawan COVID-19 DPR ini.
Disinggung mengenai keluhan masyarakat terkait pelaksanaan rapid test yang mengharuskan masyarakat tetap membayar dengan biaya yang cukup besar mencapai kisaran Rp400.000-Rp500.000, Sahroni mengatakan alokasi dana yang dimiliki pemerintah bukan hanya untuk pengadaan rapid test, tapi juga berbagai alat kesehatan dan obat-obatan lainnya. Termasuk menyiapkan rumah sakit rujukan bagi pasien COVID-19.
"Kebutuhannya banyak, para medis kan perlu biaya maka konsen pemerintah adalah fasilitas rumah sakit memadai. Kalau gratis semua satu pasien bisa Rp300 ribu ya bangkrut negara kita. Enggak mungkin lah 270 juta warga (di-rapid test-red)," katanya.
Menurut dia, langkah yang dilakukan pemerintah terkait COVID-19 sudah luar biasa. "Jangan menganggap seolah-olah pemerintah cuek. Di Indonesia ini top, sadah sangat maksimal yang dilakukan pemerintah," katanya.
Sahroni mengatakan, tes masif perlu dilakukan pada zona merah. Misalnya di satu RT ada yang positif COVID-19 maka di wilayah tersebutlah yang dilakukan tes secara massif. "Tidak seluruh Indonesia dites, bisa bangkrut. Kalau ada kena fokus di situ. Jangan berpikir seolah-olah pemerintah gak punya kepedulian. Saya katakan pemerintah luar biasa peduli," katanya.
Karena itu, politikus Partai Nasdem ini meminta masyarakat agar tidak selalu menyudutkan pemerintah dalam penanganan COVID-19. "Pemerintah sudah lakukan yang terbaik bagi bangsa ini. Kini saatnya masyarakat juga menjaga dirinya dan keluarganya masing-masing," katanya.
Penambahan anggaran COVID-19 diketahui terus bertambah. Dari sebelumnya sebesar Rp405,1 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp641,1 triliun, dan bertambah lagi menjadi Rp677,2 triliun, hingga akhirnya tembus angka Rp695,2 triliun. Hal itu dilakukan seiring meningkatnya kebutuhan di lapangan dalam penanganan COVID-19.
"Penanganan pandemi COVID-19 ini pemerintah juga tidak sembarangan. Ini perlu ekstra kerja keras dengan bantuan anggaran. Proses kenaikan anggaran COVID-19 ini didasarkan pada kebutuhan yang mendesak. Kita jangan berpikir anggaran yang besar, tapi pada pokoknya bagaimana menyelamatkan nyawa manusia di Indonesia dengan seksama," ujar Sahroni dalam Live IG SINDOnews Bincang Seru bertajuk Pengawasan Penanganan COVID-19, Jumat 26 Juni 2020 malam.
Menurut dia, pemerintah sangat serius menangani pandemi dengan menjalankan seluruh prosesnya. Sementara DPR juga sudah memberikan rambu-rambu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan dan juga kepolisian.
"Saya dari awal proses sebelum diputuskan berapa nilai anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah, kita minta untuk diawasi dengan ketat. KPK saya minta untuk menjadi garda terdepan dalam pengawasan, utama dalam penggunaan anggaran COVID-19. Ini penting, kalau nggak bisa bermasalah di lain waktu," tuturnya.
Dia mengakui penggunaan anggaran COVID-19 rawan diselewengkan. Di antaranya dalam hal pembelian atau pengadaan alat kesehatan. "Misalnya standar apa yang dipakai maka KPK harus menjalankan fungsi pengawasannya secara intens, dalam artian benar-benar diawasi. Kalau nggak ini bahaya," tuturnya.
Standarisasi pengadaan alat-alat kesehatan seperti rapid test, ventilator, obat-obatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus jelas."Kemenkes juga tidak semena-mena mengeluarkannya. Yang saya tahu Kemenkes juga sangat hati-hati maka proses penanganan ini sepertinya lambat, tapi untuk kehati- hatian," kata Sahroni yang juga Wakil Koordinator Satgas Lawan COVID-19 DPR ini.
Disinggung mengenai keluhan masyarakat terkait pelaksanaan rapid test yang mengharuskan masyarakat tetap membayar dengan biaya yang cukup besar mencapai kisaran Rp400.000-Rp500.000, Sahroni mengatakan alokasi dana yang dimiliki pemerintah bukan hanya untuk pengadaan rapid test, tapi juga berbagai alat kesehatan dan obat-obatan lainnya. Termasuk menyiapkan rumah sakit rujukan bagi pasien COVID-19.
"Kebutuhannya banyak, para medis kan perlu biaya maka konsen pemerintah adalah fasilitas rumah sakit memadai. Kalau gratis semua satu pasien bisa Rp300 ribu ya bangkrut negara kita. Enggak mungkin lah 270 juta warga (di-rapid test-red)," katanya.
Menurut dia, langkah yang dilakukan pemerintah terkait COVID-19 sudah luar biasa. "Jangan menganggap seolah-olah pemerintah cuek. Di Indonesia ini top, sadah sangat maksimal yang dilakukan pemerintah," katanya.
Sahroni mengatakan, tes masif perlu dilakukan pada zona merah. Misalnya di satu RT ada yang positif COVID-19 maka di wilayah tersebutlah yang dilakukan tes secara massif. "Tidak seluruh Indonesia dites, bisa bangkrut. Kalau ada kena fokus di situ. Jangan berpikir seolah-olah pemerintah gak punya kepedulian. Saya katakan pemerintah luar biasa peduli," katanya.
Karena itu, politikus Partai Nasdem ini meminta masyarakat agar tidak selalu menyudutkan pemerintah dalam penanganan COVID-19. "Pemerintah sudah lakukan yang terbaik bagi bangsa ini. Kini saatnya masyarakat juga menjaga dirinya dan keluarganya masing-masing," katanya.
(tri)