Kisah Prabu Geusan Ulun, Pesonanya Membuat Ratu Harisbaya Rela Mati dan Tinggalkan Takhta

Jum'at, 24 Juni 2022 - 05:05 WIB
loading...
Kisah Prabu Geusan Ulun,...
Lukisan Prabu Geusan Ulun terpajang di antara peninggalan berupa artefak, naskah, dan benda-benda bersejarah lain tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Foto: Istimewa
A A A
PRABU Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya adalah putra Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri) selain sebagai raja Kerajaan Sumedang Larang dia juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh empat Kandage Lante (bangsawan) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusan Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Penyerahan Mahkota Sanghyang Pake ke raja Sumedang Larang, memberikan simbol bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus dan pewaris Pajajaran. Simbol kebesarannya diestafetkan ke Sumedang, berharap Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun menjadi raja besar, hebat, dan kuat seperti Pajajaran dengan raja-rajanya Prabu Siliwangi.



Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun mencapai kejayaan seperti leluhurnya. Luas wilayah kekuasaannya mencakup hampir seluruh Jawa Barat bagian barat dengan batas kali Cipamali, Pamanukan, Cisadane, hingga Indramayu. Seluruh wilayah Pajajaran berhasil dikuasai oleh raja Sumedang keturunan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon. Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun dari tahun 1578-1601 M atau dipekirakan memimpin sekitar 23 tahun.

Namun di balik kekuasaannya, terdapat kisah cinta antara sang prabu dengan istri penguasa Pangeran Girilaya Cirebon, yang bernama Harisbaya. Kisah cintanya pun membawa petaka bagi Kerajaan Sumedang Larang. Terjadi perang besar antara Sumedang Larang dengan Kerajaan Cirebon dan harus rela menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya di daerah Sindang Kasih Majalengka kepada Kerajaan Cirebon, sebagai pembelian talaknya kepada Pangeran Girilaya.

Kisah pertempuran antara Cirebon melawan Sumedang yang disebabkan oleh dibawa larinya Ratu Cirebon dikisahkan dalam beberapa naskah klasik, di antaranya naskah Pustaka Kertabumi, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sebelum terjadinya perang, kedua kerajaan tetangga ini didahului oleh kisah yang amat panjang, yaitu kisah dimana Panembahan Ratu, Geusun Ulun dan Harisbaya masih muda. Ketiganya merupakan murid dari Hadiwijaya (Jaka Tingkir/Sultan Pajang I), Sunan Gunung Jati yang tak lain merupakan buyut Panembahan Ratu dikisahkan mengirimkan Panembahan Ratu untuk belajar Ketatanegaraan kepada Jaka Tingkir di Pajang.

Begitu juga dengan Pangeran Santri, beliau mengirimkan anaknya Geusun Ulun ke Pajang untuk menuntut ilmu di sana. Sementara Harisbaya sendiri dikatakan sebagai seorang putri Madura yang mengabdikan diri di Pajang. Prestasi Panembahan Ratu di Pajang terlihat begitu gemilang, setelah dirasa cukup mumpuni dalam menguasai ilmu ketatanegaraan, Hadiwijaya menikahkan anak perempuanya Ratu Mas Pajang dengan Panembahan Ratu, tujuannya untuk mengikat tali persaudaraan dengan Kerajaan Cirebon. Kelak ketika Panembahan Ratu menjadi Raja Cirebon Ratu Mas Pajang kemudian dijadikan permaisuri Kerajaan Cirebon.



Sementara itu, Geusun Ulun yang dianugerahi wajah tampan, ternyata terlibat cinta lokasi dengan Harisbaya, keduanya saling mencintai. Kisah percintaan Geusun Ulun dan Harisbaya kemudian kandas ketika dalam suatu waktu Geusun Ulung Pulang ke Sumedang untuk menjadi Raja menggantikan ayahandanya yang telah mangkat. Baik Panembahan Ratu, maupun Geusun Ulun kini menjadi Raja di negaranya masing-masing.

Keduanya juga berumah tangga, sementara di Pajang Harisbaya selalu mengharap jodoh dengan Geusun Ulun tanpa kepastian. Setelah beberapa lamanya waktu, tersiar kabar bahwa di Pajang Hadiwijaya mangkat setelah terjatuh dari Gajah tempurnya pada saat menghadapi pemberontakan yang di lancarkan Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamanahan Adipati Mataram. Mendapati mertuanya telah mangkat Panembahan Ratu selaku Sultan Cirebon kemudian menghadiri pemakaman Hadiwijaya di Pajang.

Takhta Pajang setelah kemangkatan Hadiwijaya kemudian diserahkan kepada Arya Panggiri, Sikap yang dimunculkan Panembahan Ratu dalam menanggapi pemberontakan Mataram terhadap Pajang ini adalah sikap kontra, beliau tetap mendukung Pajang dibawah Arya Panggiri. Atas sikap Panembahan Ratu yang mendukung Arya Panggiri maka kemudian Arya Panggiri menghadiahkan Harisbaya kepada Penembahan Ratu. Setelah peristiwa itu, maka resmilah Harisbaya menjadi istri kedua Panembahan Ratu.

Pada mulanya perkawinan Panembahan Ratu dengan Harisbaya berjalan lancar, bahkan tidak lama kemudian Harisbaya mengandung anak dari Panembahan Ratu.

Kisah kebahagiaan Panembahan Ratu dan Harisbaya kemudian menjadi buyar ketika pada suatu waktu Gesun Ulun bersama keempat senopatihnya berkunjung ke Cirebon. Dalam kunjungan kenegaraan yang diperkirakan memakan waktu berhari-hari itu, rupanya perjumpaan Geusun Ulun dan Harisbaya tak terelakkan. Keduanya kemudian terlibat cinta lokasi untuk yang kedua kalinya, tapi kali ini Harisbaya sudah menjadi istri orang, Geusun Ulunpun sebenarnya sadar betul dengan keadaan itu, adakalanya beliau menjaga jarak agar sakit dalam hatinya tak begitu menggigit.

Jika Geusun Ulun mampu menahan cinta yang melonjak, maka tidak demikian dengan Harisbaya, ia memilih menerjang rasa malu demi berjumpa dengan Geusun Ulun, kekasih masa lalunya.
Dalam perjumpaan terakhir sebelum Geusun Ulun pulang kembali ke Sumedang rupanya Harisbaya memohon dengan berlinang air mata agar Geusun Ulun membawa serta dirinya ke Sumedang. Tentu saja hal tersebut ditolak oleh Geusun Ulun. Tapi cinta rupanya buta, Geusun Ulun merasa gelisah, dalam pikirnya terbayang permintaan Harisbaya yang diringi linangan air mata itu, ia pun kemudian mendiskusikan dengan Senopatinya Jayaperkasa tentang duduk persoalan permintaan Harisbaya itu.

Anehnya Jayaperkasa justru menyambut baik, bahkan ia menganjurkan agar Rajanya membawa lari Ratu Harisbaya ke Sumedang. Mendapati anjuran Senopatih kepercayaanya itu maka semakin butalah cinta Geusun Ulun terhadap Harisbaya.



Prabu Geusun Ulun bersama senopatihnya kemudian membawa lari Harisbaya, menuju Sumedang. Seluruh penghuni istana bahkan rakyat Cirebon pun kemudian geger, sebab istri Rajanya dibawa lari Raja dari Kerajaan lain.

Sebagai Kerajaan Islam Berdaulat di tanah Sunda jelas saja harga diri Panembahan Ratu sebagai Raja Cirebon merasa terinjak-injak dengan terjadinya peristiwa itu.

Setelah peristiwa memalukan itu, Panembahan Ratu kemudian mengumumkan perang terhadap Sumedang. Mendapati tantangan dari Cirebon rupanya Sumedang tak gentar, sebab bagi Geusun Ulun Ratu Harisbaya harus menjadi istrinya.

Seluruh penghuni istana bahkan rakyat Cirebon pun kemudian geger, sebab istri Rajanya dibawa lari Raja dari Kerajaan lain. Selepas dibawa larinya Harisbaya ke Sumedang, kemudian Panembahan Ratu memproklamirkan perang. Jayaperkasa menyambut dengan suka cita pengumuman perang itu, sebab begitulah kehendaknya.

Perang kemudian meletus, Cirebon kemudian mengirimkan tentaranya untuk menggempur Sumedang, dengan semangat berapi-api Patih Jayaperkasa melawan gempuran-gempuran Cirebon. Perang sengit antar dua kerajaan tetangga ini baru Reda setelah Cirebon berhasil menawaskan Patih Jayaperkasa.

Selepas meninggalnya Jayaperkasa rupanya kemudian disepakati kesepakatan damai antara kedua kerajaan, hal tersebut dimungkinkan timbul karena kesadaraan dari pejabat-pejabat tinggi di Kerajaan Sumedang, sebab tidak semuanya para pejabat tinggi Sumedang setuju dengan tindakan Jayaperkasa.

Setelah melakukan beberapa perundingan antar kedua kerajaan Islam Sunda ini, dan Panembahan ratu mengetahui jika Harisbaya lah yang meminta dilarikan. Maka untuk kemudian Panembahan Ratu mencerai kan Harisbaya, akan tetapi imbalan dari talaq yang dijatuhkan panembahan Ratu itu harus ditebus oleh Sumedang dengan menyerahkan wilayah Sindangkasih (Kini Kabupaten Majalengka) kedalam kekuasaan Kerajaan Cirebon, Sumedang kemudian menyanggupi.

Baca Juga: Sumpah Embah Jaya Perkasa dan Pelarangan Memakai Baju Batik

Untuk mengakhiri peperangan dan permusuhan dengan Cirebon, Geusun Ulun kemudian berjanji bahwa anak Panembahan Ratu yang masih dalam kandungan Harisbaya nantinya akan dijadikan Raja Sumedang setelah sepeninggalnya.

Mendapati keputusan perundingan yang menguntungkan Cirebon itu, maka untuk selanjutnya permusuhan antara kedua Kerajaan Sunda ini kemudian resmi berakhir. Sementara itu, untuk menghindari konflik dengan keluarganya, Geusun Ulun kemudian membagi-bagikan waris kepada anak-anak dari istrinya yang lain berupa pembagian wilayah dan jabatan Adipati di seluruh wilayah kerajaan Sumedang Larang.

Semasa hidupnya, Prabu Geusan Ulun juga diketahui memiliki tiga istri. Pertama, Nyi Mas Cukang Gedeng Waru yang dikaruniai 14 anak, kemudian kedua Nyi Mas Harisbaya dikaruniai 4 anak, dan ketiga Nyi Mas Pasarean dikaruniai 1 anak. Bukti-bukti kebesaran Prabu Geusan Ulun ini, sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Prabu Geusan Ulun, Komplek Keraton Sumedang Larang.

Prabu Geusan Ulun lahir pada tanggal 3 bagian terang bulan Srawana 1480 Saka, atau tanggal 19 Juli 1558 Masehi dan meninggal tahun 1601 Masehi, dia dimakamkan di Desa Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang di daerah yang cukup tinggi, yakni Gunung Rengganis.

Sumber: Sindonews dan berbagai sumber
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2430 seconds (0.1#10.140)