Murka Bung Karno Menganjurkan Koalisi Pemerintah Dikuburkan hingga Bikin Parpol Jungkir Balik

Senin, 20 Juni 2022 - 07:00 WIB
loading...
Murka Bung Karno Menganjurkan Koalisi Pemerintah Dikuburkan hingga Bikin Parpol Jungkir Balik
Bung Karno murka dan menganjurkan koalisi pemerintah dikuburkan hingga bikin parpol jungkir balik. Foto: Istimewa
A A A
Pada masa demokrasi parlementer (1950), Presiden Soekarno atau Bung Karno pernah mencoba “menggoyang” kekuatan partai politik (parpol) yang wakil-wakilnya duduk di kabinet. Dalam pidatonya pada 28 Oktober 1956, Bung Karno menganjurkan partai-partai koalisi pemerintah tersebut sebaiknya “dikuburkan”, dan itu sontak mengejutkan semua pimpinan parpol.

Ucapan itu diulang dalam pidato 30 Oktober 1956. Bung Karno menyoal penyakit liberalisme yang ditimbulkan. Ia menyebut dekade 1950-an sebagai masa penyakit kepartaian yang berpotensi memecah belah. “Aduh, aduh saudara-saudara, kita menjadi berhadap-hadapan satu sama lain,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku “Golkar Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika”.

Bung Karno menginginkan sebuah bentuk baru dalam sistem politik di Indonesia. Ia awali gagasannya dengan melancarkan kritik pedas kepada semua parpol pemerintah. Pada 21 Februari 1957, Bung Karno kembali menyerang parpol dengan mengatakan parpol yang ada di kabinet parlementer tidak mampu mengusulkan perubahan mendasar apapun, selain reshuffle.



Sejarah mencatat, selama demokrasi parlementer yang memakai UUDS 1950, kabinet mengalami jatuh bangun akibat dimosi tidak percaya dari parpol yang berseberangan. Sedikitnya ada tujuh kabinet pemerintah yang diantaranya Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastriamidjojo, Kabinet Burhanuddin Harahap, dan Kabinet Djuanda.

Para kabinet itu tidak berusia panjang karena dijatuhkan di tengah jalan oleh rival politik. Selain itu di Konstituante sendiri kerap timbul konflik berkepanjangan. Bung Karno menilai sistem demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang dipakai di Indonesia hanya menimbulkan ketiadaan para pemimpin dan stabilitas politik. Sikap penolakannya ia perlihatkan terang-terangan dengan mengatakan demokrasi parlementer adalah demokrasi impor, bukan demokrasi Indonesia yang cocok dengan jiwa bangsa.

“Kita sama sekali harus mendirikan satu gedung pemerintahan baru,” kata Bung Karno. Secara radikal Bung Karno menawarkan opsi gagasan: satu partai, satu pergerakan massa tanpa adanya partai sama sekali, atau pendirian beberapa partai yang rasional. Sempat terlontar dalam pidatonya Bung Karno sengaja melakukan terapi kejut itu kepada partai-partai supaya mereka mengoreksi diri.

Pemikiran Bung Karno diduga diperkuat hasil lawatannya ke sejumlah negara di luar negeri. Yakni Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia (sekarang berpisah menjadi Republik Ceko dan Slovakia), Mongolia Luar dan China. Ia kembali ke tanah air dan delapan hari berikutnya berpidato ”mengubur partai-partai politik”. Bung Karno menyatakan terkesan dengan pembangunan ekonomi negara yang dikunjunginya. Kemudian juga terkesan dengan pembentukan kader serta manfaat negara satu partai.

“Yah, tentu saya mempunyai konsepsi, dan jikalau diminta, Insya Allah konsepsi pun akan saya berikan,” kata Bung Karno. Bung Karno tidak main-main dengan gagasan barunya, termasuk kabinet model baru yang akan didukung semua partai besar. Ia melakukan konsultasi hukum kepada Profesor Djokosutono, yakni ahli hukum konstitusional yang bersama Supomo menulis buku Hukum Adat.



Bung Karno ingin memastikan kelayakan gagasannya dengan konteks UUDS 1950 yang berlaku saat itu. Setelah memulai pidatonya dengan menyerang parpol, pada 21 Februari 1947 itu Bung Karno juga blak-blakan menyampaikan keinginan politiknya. Pertama, ia mengusulkan adanya kabinet gotong royong yang mewakili semua partai politik atau semua fraksi di parlemen.

Prinsip dasar yang dipakai adalah kekeluargaan, kegotongroyongan yang merupakan jelmaan jiwa Indonesia. Kedua, Bung Karno mengusulkan adanya elemen Dewan Nasional yang susunannya meliputi segenap bangsa Indonesia tanpa memandang bulu asal golongannya. Di dalam Dewan Nasional terdiri dari golongan fungsional yang meliputi buruh, petani, cendikiawan, pengusaha nasional, Protestan, Katolik, alim ulama, pemuda dan Angkatan 45.

Di dalamnya termasuk juga perwakilan dari daerah-daerah. Para kepala staf, kepala polisi dan menteri-menteri penting akan menjadi anggota. “Soekarno sendiri akan menjadi ketua dewan itu, yang berfungsi untuk memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak diminta. Dia menyimpulkan bahwa sebuah sistem seperti yang diterangkan dalam pidatonya akan berarti kembali kepada kepribadian sendiri,” tulis David Reeve dalam “Golkar Sejarah Yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika”.

Reaksi pro kontra dari para pimpinan parpol langsung bermunculan. Mereka yang menolak menangkap gelagat, Bung Karno hendak memisahkan ormas-ormas dari partai sekaligus menyatukannya dalam kepentingan fungsional bersama komitmen visi besar Soekarno. Sebab semua perwakilan fungsional di dalam Dewan Nasional berasal dari ormas partai, bukan anggota parpol.

Sementara seperti dikutip dari George McTurnan Kahin dalam “Indonesia, Major Governments of Asia (1963)”, kalangan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat (AD) mendukung gagasan Bung Karno. Mereka mendukung pembubaran partai-partai. Meski mendapat reaksi keras dari perdana menteri dan pemimpin partai, Bung Karno tetap mengeksekusi gagasanya, namun dengan melakukan modifikasi.

Pada 9 April 1957, kabinet baru yang bernama Kabinet Karya dibentuk dengan Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai “warga negara Soekarno” yang bertindak sebagai formatur kabinet. Di bawah pimpinan Djuanda Kartawidjaja, tokoh non partai yang disegani, sebagian besar anggota Kabinet Karya terdiri pemimpin partai dan secara implisit merupakan koalisi PNI-NU.



Bung Karno juga mampu memaksa menteri-menteri menerima jabatannya sebagai individu, bukan sebagai anggota partai. Karenanya parpol sulit menarik kembali anggotanya yang duduk sebagai menteri. “Kabinet ini sama sekali bukan kabinet gotong royong, tetapi merupakan langkah untuk merebut perangkat pemerintahan resmi dari tangan partai”.

Setelah itu, pada Mei 1957 Bung Karno melalui Kabinet Karya resmi mendirikan Dewan Nasional yang dilantik 12 Juli 1957. Bung Karno menjadi Ketua dan Roeslan Abdulgani sebagai Wakil Ketua. Di dalamnya beranggotakan 14 perwakilan daerah, 21 wakil golongan fungsional dan anggota ex-officio, yakni kepala staf, kepala polisi, jaksa agung, dan ketiga wakil perdana menteri.

Di tingkat sipil, pada pertengahan tahun 1957 hingga pertengahan 1958, keberadaan Kabinet Karya dan Dewan Nasional mampu menggeser kekuatan partai politik. Peran parpol di pemerintahan menjadi berkurang. Yang lebih besar adalah keterlibatan presiden dalam pemerintahan serta sistem fungsional yang didasarkan penggabungan ormas. “Soekarno menyebut kedua badan itu sebagai sungut masa depan”.

Bung Karno merekomendasikan kepada Konstituante sebagai bahan untuk konsitusi yang baru. Pada 23 Juli 1958 Bung Karno meminta Dewan Naisonal memfokuskan energinya untuk dua masalah, yakni bagaimana mendapatkan DPR baru, terutama terdiri dari golongan-golongan fungsional dan bagaimana memperoleh sistem kepartaian baru.

Begitulah sejarah cikal bakal berlakunya sistem politik Demokrasi Terpimpin pada era Presiden Soekarno. Seluruh keputusan dan konsep politik serta pemerintahan Republik Indonesia berpusat pada Presiden Soekarno. Konsep Demokrasi Terpimpin yang menggantikan Demokrasi Parlementer tersebut secara resmi berlaku sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1130 seconds (0.1#10.140)