Soeharto, Anak Petani Miskin yang Menjadi Presiden RI Kedua

Kamis, 09 Juni 2022 - 05:31 WIB
loading...
Soeharto, Anak Petani Miskin yang Menjadi Presiden RI Kedua
Soeharto. Foto: Istimewa
A A A
SOEHARTO lahir, pada 8 Juni 1921, di saat Kertosudiro, ayahnya masih memeriksa empang di area persawahan Dusun Kemusuk, Argomulyo, Desa Godean, Jogjakarta.

Pak Kerto, begitu ayah Soeharto biasa disapa adalah seorang ulu-ulu atau jogotirto, yakni seorang perangkat desa yang mengurus pembagian air dan pengairan sawah.

Hari itu, dia masih berdiri di atas pematang sawah, mengecek air yang mengaliri parit-parit. Diberitahu, bahwa istrinya sudah tiba waktu melahirkan, Kertosudiro langsung bergegas pulang.



Suasana rumahnya sudah ramai. Di depan pintu seorang perempuan tua, istri Kromodiryo menyambut kehadirannya.

Kromodiryo adalah pamannya, yakni adik kandung Kertoirono, ayahnya. Kebetulan istri Kromodiryo dikenal sebagai dukun beranak. Di Dusun Kemusuk, masyarakat akrab memanggilnya Mbah Pomo atau Mbah Genduk.

Dia menyambut kedatangan Kertosudiro dengan gembira.

“Wajahnya yang berseri-seri menandakan kegembiraan dan kepuasan hatinya. Ia baru saja menolong isteri keponakannya melahirkan seorang anak laki-laki,” tulis O.G Roeder, dalam buku Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto, seperti dikutip SINDOnews, Rabu (8/6/2022).



Pak Kerto sangat gembira, meskipun tidak berlebihan. Sudah lama dia memohon kepada Tuhan agar dianugerahi anak laki-laki, dan doanya dikabulkan.

Kertosudiro masuk ke dalam kamar, dan berdiri di sebelah Sukirah, istrinya yang usai melahirkan. “Saya senang kita mendapat anak laki-laki, Mas,“ kata istrinya kepada Kertosudiro. “Sayapun tahu, pintamu berlaku,” tambahnya.

Kertosudiro berstatus duda saat menikahi dengan Sukirah. Ia memiliki nama lahir Wagiyo, namun di Kemusuk akrab dipanggil Panjang.

Pada saat menikah yang pertama, namanya Kertorejo. Pernikahannya dikarunia dua orang anak, yakni laki-laki dan perempuan. Setelah itu, pasangan suami istri ini bercerai.



Kertorejo mengganti nama menjadi Kertosudiro, saat menikahi Sukirah yang berstatus lajang. Kehadiran bayi laki-laki itu membuat Kertosudiro girang. Bayi yang masih merah itu digendongnya.

Mendapatkan anak laki-laki yang sehat dan kuat sebagaimana bayi-bayi lain di kampung Kemusuk, membuatnya bahagia.

“Ya, saya selalu mengharapkan anak laki-laki. Tuhan mengabulkan permintaan kita. Kita mesti bersyukur kepada-Nya, dan seminggu lagi kita adakan selamatan untuk memberi nama," tambahnya.

Di Kemusuk, Kertosudiro dikenal sebagai sosok sederhana yang penampilannya selalu njawani. Ia selalu mengenakan baju adat Jawa, lengkap dengan kain panjang serta blangkon di kepala.



Secara ekonomi, Kertosudiro bukan termasuk kalangan berada. Ia tidak memiliki tanah. Sawah seluas kurang dari satu hektare yang dikerjakan, merupakan sawah bengkok dari jabatannya sebagai ulu-ulu.

Karena tak mampu membeli kerbau, Kertosudiro menggarap sawahnya dengan cara mencangkulinya sendiri. Kendati demikian, kelahiran bayi laki-laki harus dirayakan dengan meriah.

Tepat seminggu paska kelahiran putranya, Kertosudiro menggelar hajat selamatan. Diundanglah semua saudara, sanak kerabat, tetangga dekat untuk berkumpul, dan makan bersama.

Doa semoga bayi yang baru lahir diberi panjang umur, kesehatan, keselamatan dan murah rezeki dipanjatkan sama-sama. Atas petunjuk tetua kampung, bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto.



Saat bayi itu dilahirkan, di langit tidak terlihat tanda-tanda yang kudus. Tidak ada letusan gunung berapi dan tiada ramalan tentang seorang Putera Fajar.

“Kelahiran Soeharto tidak berbeda dengan kelahiran anak-anak lainnya di kampung itu, dengan orang tua yang melarat tetapi berbesar hati,” kata O.G Roeder dalamnya.

Harapan Pak Kerto mendapat anak laki-laki tidak muluk-muluk. Ia membayangkan si anak nanti dapat membantunya di sawah dan dengan kehendak Tuhan akan dapat mewarisi pekerjaannya sebagai ulu-ulu.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Bayi laki-laki bernama Soeharto yang lahir paska tiga tahun perang dunia pertama dan krisis ekonomi tengah melanda di mana-mana itu, kelak menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua.

Soeharto menjabat Presiden RI selama 32 tahun, yakni mulai 12 Maret 1967, dan berakhir dengan mengundurkan diri, pada 21 Mei 1998. Soeharto meninggal dunia, di usia 86 tahun, pada 27 Januari 2008.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1817 seconds (0.1#10.140)