Dilema Tenaga Kesehatan di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
Oleh: Mundakir
Hampir dua bulan terakhir sejak Presiden mengumunkan adanya pasien yang terinfeksi COVID-19 di Indonesia, setiap hari kita mendapatkan informasi dari juru bicara pemerintah tentang jumlah pasien terinfeksi yang terus meningkat. Berbagai macam masalah terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah pasien tersebut.
Mulai dari masalah ekonomi, pekerjaan, atau masalah sosial lainnya, dan tentu masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang paling besar terletak pada penyebaran COVID-19 yang sulit dikendalikan mengingat sifat dan karakteristik virusnya.
Penyebaran virus tersebut diprediksi akan terus terjadi bila masih ada interaksi antara orang yang terinfeksi dengan orang lain. Tak terkecuali interaksi antara pasien dengan petugas kesehatan.
Sebenarnya sangat tepat bila ada pasien mendatangi tenaga kesehatan untuk mencari pertolongan atas masalah kesehatan yang dialami.
Namun akan menjadi persoalan apabila individu yang datang ke tempat layanan kesehatan sudah terinfeksi COVID-19, tapi pada saat dilakukan assasment oleh dokter atau perawat tidak ditemukan adanya gejala COVID-19 dan pasien tidak memberikan informasi secara lengkap dan detail tentang riwayat penyakitnya.
Bahkan di beberapa rumah sakit dan klinik, pasien sengaja menutupi kejadian yang sebenarnya, sehingga pasien diperlakukan seperti pasien biasa dan tenaga medis yang melayani tidak menggunakan APD yang sesuai.
Kejujuran Pasien
Kejujuran dan keterbukaan pasien dan keluarga dalam memberikan informasi kepada tenaga kesehatan merupakan faktor penting untuk mencegah penyebaran COVID-19. Informasi yang lengkap, baik terkait gejala dan tanda yang dirasakan maupun riwayat perjalanan atau interaksi dengan orang lain merupakan data yang penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui apakah pasien tersebut termasuk OTG (Orang tanpa gejala), ODP (Orang dalam pemantauan), maupun PDP (Pasien dengan pengawasan). Selain membantu petugas kesehatan dalam menentukan status kesehatannya, informasi yang lengkap dan terbuka juga membantu petugas untuk melakukan telusur (Tracing) dan rencana tindakan pengobatan yang tepat.
Ketidakjujuran dalam memberikan informasi akan berdampak pada resiko penyebaran COVID-19 yang semakin tidak terkendali. Sebagai contoh, ada 57 orang tenaga medis dan tenaga kesehatan lain di RS dr Kariyadi Semarang terinfeksi COVID-19 karena pasien yang dirawat tidak jujur. Sementara di DKI Jakarta ada 161 tenaga medis yang positif COVID-19 yang tersebar di 41 rumah sakit, empat puskesmas, dan satu klinik.
Hampir dua bulan terakhir sejak Presiden mengumunkan adanya pasien yang terinfeksi COVID-19 di Indonesia, setiap hari kita mendapatkan informasi dari juru bicara pemerintah tentang jumlah pasien terinfeksi yang terus meningkat. Berbagai macam masalah terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah pasien tersebut.
Mulai dari masalah ekonomi, pekerjaan, atau masalah sosial lainnya, dan tentu masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang paling besar terletak pada penyebaran COVID-19 yang sulit dikendalikan mengingat sifat dan karakteristik virusnya.
Penyebaran virus tersebut diprediksi akan terus terjadi bila masih ada interaksi antara orang yang terinfeksi dengan orang lain. Tak terkecuali interaksi antara pasien dengan petugas kesehatan.
Sebenarnya sangat tepat bila ada pasien mendatangi tenaga kesehatan untuk mencari pertolongan atas masalah kesehatan yang dialami.
Namun akan menjadi persoalan apabila individu yang datang ke tempat layanan kesehatan sudah terinfeksi COVID-19, tapi pada saat dilakukan assasment oleh dokter atau perawat tidak ditemukan adanya gejala COVID-19 dan pasien tidak memberikan informasi secara lengkap dan detail tentang riwayat penyakitnya.
Bahkan di beberapa rumah sakit dan klinik, pasien sengaja menutupi kejadian yang sebenarnya, sehingga pasien diperlakukan seperti pasien biasa dan tenaga medis yang melayani tidak menggunakan APD yang sesuai.
Kejujuran Pasien
Kejujuran dan keterbukaan pasien dan keluarga dalam memberikan informasi kepada tenaga kesehatan merupakan faktor penting untuk mencegah penyebaran COVID-19. Informasi yang lengkap, baik terkait gejala dan tanda yang dirasakan maupun riwayat perjalanan atau interaksi dengan orang lain merupakan data yang penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui apakah pasien tersebut termasuk OTG (Orang tanpa gejala), ODP (Orang dalam pemantauan), maupun PDP (Pasien dengan pengawasan). Selain membantu petugas kesehatan dalam menentukan status kesehatannya, informasi yang lengkap dan terbuka juga membantu petugas untuk melakukan telusur (Tracing) dan rencana tindakan pengobatan yang tepat.
Ketidakjujuran dalam memberikan informasi akan berdampak pada resiko penyebaran COVID-19 yang semakin tidak terkendali. Sebagai contoh, ada 57 orang tenaga medis dan tenaga kesehatan lain di RS dr Kariyadi Semarang terinfeksi COVID-19 karena pasien yang dirawat tidak jujur. Sementara di DKI Jakarta ada 161 tenaga medis yang positif COVID-19 yang tersebar di 41 rumah sakit, empat puskesmas, dan satu klinik.