Nyai Ageng Pinatih, Syahbandar Perempuan Gresik yang Juga Ibu Angkat Sunan Giri
loading...
A
A
A
Nyai Ageng Pinatih adalah tokoh yang dipercaya masyarakat Gresik sebagai syahbandar perempuan Gresik yang menjabat pada 1458-1477.
Menurut cerita rakyat, Nyai Ageng Pinatih merupakan istri dari Patih Semboja, berasal dari Kerajaan Blambangan yang Hindu, yang diusir dari kerajaannya oleh Prabu Menak Sembuyu (Menak Jinggo) karena Patih Semboja mendukung ajaran Syekh Maulana Ishaq.
Karena itu, Patih Semboja menemui Raja Majapahit dan mengabdi sebagai pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit. Raja Majapahit Brawijaya memberi Nyai Ageng Pinatih sebidang tanah di Gresik dan menetap di Gresik sejak 1412. Ia dipercaya berasal dari Champa dan tinggal di Gresik Wetan, sekitar 200 meter dari Desa Gapura.
Menurut buku Gresik Sejarah dan Harijadi yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Gresik, Nyai Ageng Pinatih diberi hak oleh raja Majapahit untuk bermukim menjadi saudagar di Gresik. Nyai Ageng Pinatih dipercaya memiliki barang dagangan dan kapal dalam jumlah besar, serta usaha dan relasinya luas di Pulau Jawa.
Pelabuhan Gresik sudah ada sebelum berdirinya Giri Kedaton dan dengan cepat menjadi pelabuhan dagang besar pada dasawarsa kedua abad XIV. Hal tersebut dipercaya disebabkan oleh stabilitas pemerintahan Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Maharaja Sri Rajasanegara atau Raja Hayam Wuruk.
Baca: Kisah Pembunuhan Raja Demak Sunan Prawoto Dipicu Dendam Kesumat Arya Penangsang.
Karena semakin banyaknya kapal singgah di pelabuhan, maka seorang syahbandar diperlukan untuk mengatur pelabuhan. Dalam pengangkatannya, seorang syahbandar harus menguasai berbagai bahasa, memahami ilmu perdagangan, dan memiliki relasi yang luas. Nyai Ageng Pinatih dianggap memenuhi syarat tersebut.
Pada 1458 M, ia diangkat menjadi syahbandar oleh Raja Majapahit Brawijaya V untuk menggantikan Ali Hutomo yang wafat pada 1449. Pusat Pelabuhan Gresik lalu berpindah dari Desa Bandaran ke Desa Kelingan (sekarang Kebungson atau Pakelingan).
Pada masa ia menjabat, pelabuhan Gresik mencapai kejayaannya. Ia dikisahkan membangun tempat pembuatan kapal dan peti kemasan yang disebut blandongan, menyediakan tempat perbaikan peti yang digunakan untuk menyimpan barang yang diangkut ke dalam kapal, serta menyediakan kuda sebagai alat transportasi untuk mengangkut barang dari pedalaman menuju pelabuhan atau sebaliknya.
Dalam cerita rakyat lain, Dinasti Ming dikisahkan mengangkat Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar Gresik menggantikan Cheng Ho yang bertugas mengontrol keamanan wilayah Jawa dan Sumatra dari aksi perampokan kapal-kapal dagang yang melalui wilayah tersebut.
Di Palembang, Cheng Ho mendirikan Kantor Perdamaian yang mengurus dan bertanggung jawab dan menjaga keamanan. Shi Jinqing atau Shi Daniang kemudian diangkat sebagai Syahbandar Gresik dan dijuluki Nyai Ageng Pinatih.
Menurut Chen Yu Sung, ayah Nyai Ageng Pinatih adalah utusan utama yang diangkat oleh penguasa Majapahit di Palembang untuk mengurus soal keadamaan dan administrasi kenegaraan di Palembang setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Baca Juga: Gua Selarong, Markas Gaib Tempat Atur Strategi Pangeran Diponegoro Lawan Belanda.
Nyai Ageng Pinatih dipercaya sebagai perempuan pertama di Nusantara yang memungut bea cukai dan mengawasi pedagang asing pada zaman kesultanan.
Nyai Ageng Pinatih dipercaya merupakan ibu angkat dari Joko Samudro (nama kecil Sunan Giri atau Raden Paku) yang ditemukan terombang-ambing di laut oleh kapal yang berlayar ke Pulau Bali pada 1443.
Menurut buku Grisse Tempo Doeloe, Nyai Ageng Pinatih tidak lagi aktif sebagai syahbandar pada 1477 karena sakit parah kemudian wafat. Makam di Kebungson sekitar 300 meter sebelah utara Alun-Alun Kota Gresik dipercaya sebagai makamnya. Tidak diketahui siapa penggantinya sebagai syahbandar.
Sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Menurut cerita rakyat, Nyai Ageng Pinatih merupakan istri dari Patih Semboja, berasal dari Kerajaan Blambangan yang Hindu, yang diusir dari kerajaannya oleh Prabu Menak Sembuyu (Menak Jinggo) karena Patih Semboja mendukung ajaran Syekh Maulana Ishaq.
Karena itu, Patih Semboja menemui Raja Majapahit dan mengabdi sebagai pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit. Raja Majapahit Brawijaya memberi Nyai Ageng Pinatih sebidang tanah di Gresik dan menetap di Gresik sejak 1412. Ia dipercaya berasal dari Champa dan tinggal di Gresik Wetan, sekitar 200 meter dari Desa Gapura.
Menurut buku Gresik Sejarah dan Harijadi yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Gresik, Nyai Ageng Pinatih diberi hak oleh raja Majapahit untuk bermukim menjadi saudagar di Gresik. Nyai Ageng Pinatih dipercaya memiliki barang dagangan dan kapal dalam jumlah besar, serta usaha dan relasinya luas di Pulau Jawa.
Pelabuhan Gresik sudah ada sebelum berdirinya Giri Kedaton dan dengan cepat menjadi pelabuhan dagang besar pada dasawarsa kedua abad XIV. Hal tersebut dipercaya disebabkan oleh stabilitas pemerintahan Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Maharaja Sri Rajasanegara atau Raja Hayam Wuruk.
Baca: Kisah Pembunuhan Raja Demak Sunan Prawoto Dipicu Dendam Kesumat Arya Penangsang.
Karena semakin banyaknya kapal singgah di pelabuhan, maka seorang syahbandar diperlukan untuk mengatur pelabuhan. Dalam pengangkatannya, seorang syahbandar harus menguasai berbagai bahasa, memahami ilmu perdagangan, dan memiliki relasi yang luas. Nyai Ageng Pinatih dianggap memenuhi syarat tersebut.
Pada 1458 M, ia diangkat menjadi syahbandar oleh Raja Majapahit Brawijaya V untuk menggantikan Ali Hutomo yang wafat pada 1449. Pusat Pelabuhan Gresik lalu berpindah dari Desa Bandaran ke Desa Kelingan (sekarang Kebungson atau Pakelingan).
Pada masa ia menjabat, pelabuhan Gresik mencapai kejayaannya. Ia dikisahkan membangun tempat pembuatan kapal dan peti kemasan yang disebut blandongan, menyediakan tempat perbaikan peti yang digunakan untuk menyimpan barang yang diangkut ke dalam kapal, serta menyediakan kuda sebagai alat transportasi untuk mengangkut barang dari pedalaman menuju pelabuhan atau sebaliknya.
Dalam cerita rakyat lain, Dinasti Ming dikisahkan mengangkat Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar Gresik menggantikan Cheng Ho yang bertugas mengontrol keamanan wilayah Jawa dan Sumatra dari aksi perampokan kapal-kapal dagang yang melalui wilayah tersebut.
Di Palembang, Cheng Ho mendirikan Kantor Perdamaian yang mengurus dan bertanggung jawab dan menjaga keamanan. Shi Jinqing atau Shi Daniang kemudian diangkat sebagai Syahbandar Gresik dan dijuluki Nyai Ageng Pinatih.
Menurut Chen Yu Sung, ayah Nyai Ageng Pinatih adalah utusan utama yang diangkat oleh penguasa Majapahit di Palembang untuk mengurus soal keadamaan dan administrasi kenegaraan di Palembang setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Baca Juga: Gua Selarong, Markas Gaib Tempat Atur Strategi Pangeran Diponegoro Lawan Belanda.
Nyai Ageng Pinatih dipercaya sebagai perempuan pertama di Nusantara yang memungut bea cukai dan mengawasi pedagang asing pada zaman kesultanan.
Nyai Ageng Pinatih dipercaya merupakan ibu angkat dari Joko Samudro (nama kecil Sunan Giri atau Raden Paku) yang ditemukan terombang-ambing di laut oleh kapal yang berlayar ke Pulau Bali pada 1443.
Menurut buku Grisse Tempo Doeloe, Nyai Ageng Pinatih tidak lagi aktif sebagai syahbandar pada 1477 karena sakit parah kemudian wafat. Makam di Kebungson sekitar 300 meter sebelah utara Alun-Alun Kota Gresik dipercaya sebagai makamnya. Tidak diketahui siapa penggantinya sebagai syahbandar.
Sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
(nag)