Forum Penyelamat Hutan Jawa Gugat Pemerintah Cabut SK Menteri LHK tentang KHDPK

Sabtu, 21 Mei 2022 - 08:44 WIB
loading...
Forum Penyelamat Hutan...
Berbagai elemen masyarakat hutan yang tergabung dalam FPHJ menggugat pemerintah untuk mencabut SK Menteri LHK tentang KHDPK, Jumat (20/5/2022). Foto S?INDOnews
A A A
BANDUNG - Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) melayangkan gugatan kepada pemerintah, agar segera mencabut aturan tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).Mereka menilai aturan KHDPK membawa dampak negatif terhadap hutan dan masyarakat sebagai pengelola hutan saat ini.

"Dengan semangat Hari Kebangkitan Nasional hari ini, kami menggugat pemerintah untuk mengembalikan hutan kepada fungsi dan sejarahnya," tegas Ketua FPHJ, Eka Santosa dalam Pembacaan Petisi Menolak KHDPK di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Jumat (20/5/2022).



FPHJ ini berisikan masyarakat desa sekitar hutan, aktivis lingkungan hidup, masyarakat hukum adat, rimbawan, akademisi, dan tokoh masyarakat.

Eka menilai, pihaknya menentang aturan yang termuat dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) itu. Pasalnya, kata Eka, aturan tersebut jauh dari harapan dan sangat mengancam ekosistem hutan.

Terlebih, kata Eka, aturan KHDPK ini sebenarnya bertentangan dengan kontruksi hukum. Pasalnya, KHDPK lahir berdasarkan SK menteri yang jauh lebih rendah derajatnya dariPeraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan hukum pengelolaan hutan oleh Perhutani selama ini.

Apalagi, dalam implementasinya di lapangan, aturan KHDPK ini malah memberi ruang bagi pihak-pihak yang ingin menguasai lahan hutan yang selama ini telah dikelola baik oleh Perhutani dan masyarakat. Tak heran, Eka pun mensinyalir bahwa terbitnya aturan KHDPK hanya demi kepentingan kaum kapitalis berkedok reforma agraria.

"Kami tidak apriori dan tidak menolak apa yang menjadi agenda reforma agraria, tapi tentu itu (KHDPK) tidak diarahkan kepada hutan yang menjadi tempat perlindungan kelangsungan hidup kita," tegasnya.

Dalam kesempatan itu, FPHJ juga menyatakan sikapnya tentang terbitnya SK tentang Penetapan KHDPK pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten itu.

PPHJ menyampaikan lima butir tuntutan. Pertama, Menolak Permen LHK Nomor P39 Tahun 2017, SK Menteri LHK Nomor 287 Tahun 2022, dan berbagai kebijakan yang menjadikan hutan Pulau Jawa sebagai objek reforma agraria dengan cara membagi-bagi lahan hutan kepada masyarakat.

Kedua, menuntut pemerintah agar mencabut semua kebijakan yang mengarah kepada semakin rusaknya hutan Pulau Jawa.
Ketiga, menuntut Menteri LHK membatalkan SK Menteri LHK Nomor 287 Tahun 2022 tentang KHDPK dan menuntut kepada DPR untuk mengawasi ketat dan menolak berbagai kebijakan pemerintah yang menimbulkan kerusakan hutan Pulau Jawa dan konflik sosial masyarakat.

Ketiga, menuntut pemerintah daerah dan DPRD untuk memberikan kepedulian yang tinggi terhadap berbagai kebijakan pemerintah pusat yang berdampam negatif dan merugikan kepentingan daerah.

Kelima, mengajak segenap masyarakat, terutama masyarakat Pulau Jawa untuk bahu membahu menjaga kelestarian hutan di Pulau Jawa untuk kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup bagi kesejahteraan masyatakat.

"Petisi ini kami sampaikan langsung kepada Bapak Presiden yang ditembuskan kepada Gubernur se-Pulau Jawa dan DPRD se-Pulau Jawa, termasuk DPR RI," tandas Eka.

Sebelumnya, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jawa Barat, Nace Permana pun meradang menyikapi terbitnya aturan KHDPK

Menurutnya, alih-alih bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, penerapan aturan KHDPK di lapangan ternyata jauh dari harapan. Ironisnya lagi, penerapan aturan KHDPK justru cenderung memberikan ruang kepada kelompok-kelompok kapitalis yang hendak mengeruk kekayaan dari kawasan hutan.

"Terbitnya SK menteri nomor 287 terkait KHDPK ini sangat memprihatinkan karena jauh dari konsep-konsep kehutanan. Terbitnya regulasi ini justru cenderung lebih memberikan ruang kepada kelompok reforma agraria untuk kepentingan permukiman, bisnis, dan sebagainya. Artinya, ini sangat jauh menyimpang dari konsep konservasi," beber Nace, Jumat (13/5/2022) lalu.

Terbukti, lanjut Nace, sejak SK tersebut terbit 5 April 2022 lalu, kelompok-kelompok yang mengatasnamakan kelompok reforma agraria tersebut sudah mulai berupaya mengambil alih kawasan hutan yang selama ini dikelola oleh Perhutani, termasuk LMDH. Kondisi tersebut, kata Nace, akhirnya memicu konflik horizontal.

"Banyak gesekan antara masyarakat dengan masyarakat. Masyarakat yang tergabung dalam LMDH lahannya diambil alih. Ini kan konflik, kalau ini terus dibiarkan, ya sudah rakyat dengan rakyat perang. Di Karawang, beckhoe sudah masuk hutan dan mulai menggali hutan," paparnya.
(don)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2637 seconds (0.1#10.140)