Teh poci dari masa ke masa

Jum'at, 26 Juli 2013 - 13:13 WIB
Teh poci dari masa ke masa
Teh poci dari masa ke masa
A A A
TEH poci, salah satu sajian minuman khas yang lama hidup dalam budaya Cirebon. Minuman ini, biasa disajikan dalam teko dan cangkir kecil yang terbuat tanah liat (gerabah). Rasanya yang khas, banyak mengundang wisatawan penikmat kuliner datang ke pesisir utara Laut Jawa.

Budayawan Cirebon Nurdin M Noer menyebutkan, keberadaan teh poci merupakan hasil adaptasi wong Cirebon. Kebiasaan minum teh poci sendiri merupakan gaya bangsawan Jawa yang sudah ada sejak zaman Mataram, sesudah masuknya kebudayaan Cina.

“Sejak zaman Mataram, tradisi minum teh sudah ada. Tehnya diambil dari daerah Sunda, dan gulanya dari Jawa,” ujar Nurdin, saat berbincang dengan wartawan, Jumat (26/7/2013).

Ditambahkan, tradisi minum teh bangsawan Jawa, berbeda dengan kebiasaan orang Eropa yang datang ke Indonesia. Bahkan, secara tradisional, teh yang ada di tanah Sunda, sebelum orang-orang Eropa datang. Bangsawan Jawa, biasa menggunakan peralatan minum dari tanah liat untuk teh.

Kebiasaan minum teh poci pada awalnya hanya tersebar di kalangan bangsawan, termasuk di keraton Cirebon. Namun, Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, memiliki pandangan sedikit berbeda.

Menurut dia, tradisi minum teh poci telah diawali sejak Laksamana Ceng Ho yang datang ke tanah Jawa dengan membawa misi perdamaian, pada abad ke-14.

“Laksamana Ceng Ho membawa teknologi dan budaya. Dia mengajarkan pertanian, tenun kain, batik, membuat tempe dan tahu, termasuk tradisi minum teh. Tradisi ini dimulai ketika dia membuat teh dalam teko, dan cangkir dari gerabah yang dibawanya dari Cina,” papar Arief.

Cina, ketika itu sudah memiliki peradaban teknologi gerabah/keramik yang lebih tinggi dibanding rakyat Jawa. Salah satu teknologi itu adalah keramik merah (gerabah).

Sebelum kedatangan Ceng Ho, dikabarkan rakyat Jawa belum mengenal teh. Mereka lebih akrab dengan air putih, aren, dan air kelapa. Laksamana Ceng Ho sendiri, membawa kebiasaannya meminum teh dari negeri asalnya.

Kemudian, kebiasaan Laksamana Ceng Ho meminum teh pun dikenal bangsa Indonesia di daerah-daerah yang disinggahinya, seperti Cirebon, Semarang, Demak. Terutama, di kawasan pesisir utara Jawa.

Itu sebabnya, teh yang diminum dari peralatan yang dibuat dari tanah liat maupun keramik ini, yang dikenal teh poci sekarang, berkembang di kawasan pantura, seperti Cirebon, Brebes, maupun Tegal.

Di lingkungan keraton Cirebon sendiri, tradisi minum teh poci telah berlangsung sekitar 600 tahun, dan hingga kini masih dilakukan. Dia menyebutkan, sebelum berkembang ke masyarakat awam, tradisi ini lebih dulu berkembang di lingkungan keraton.

Peralatan minum teh yang terbuat dari gerabah maupun keramik porselen, tergolong barang mewah sehingga tak terjangkau masyarakat di luar gerbang keraton. Masyarakat biasa dulu meminum air menggunakan bilah bambu dan daun. Saat ini, masyarakat kalangan menengah, maupun bawah dapat menikmati teh.

Kegiatan minum teh di lingkungan masyarakat Indonesia pada umumnya lebih merujuk pada suasana kekeluargaan. Hal itu setidaknya berlaku pula dalam kegiatan minum teh di lingkungan keraton Cirebon yang berlangsung hingga kini.

“Dulu, pada masa sultan Cirebon sebelum saya, sudah ada kegiatan minum teh usai makan malam. Dalam kegiatan ini, anggota keluarga bisa bercengkerama dengan anggota keluarga lainnya sambil minum teh,” tutur dia.

Selain dalam kegiatan berkumpul bersama keluarga, teh poci di lingkungan keraton Cirebon juga disajikan bagi tamu-tamu yang berkunjung, khususnya ke Keraton Kasepuhan Cirebon. Di keraton ini, teh yang disajikan biasanya dicampur dengan melati yang kemudian diolah sendiri.

Untuk menciptakan rasa manis, gula yang digunakan bukanlah gula pasir seperti umumnya, melainkan gula batu yang membutuhkan waktu lebih lama dalam proses pelarutannya. Penggunaan gula batu sendiri merupakan kekhasan lain dalam penyajian teh poci.

Di Keraton Kasepuhan Cirebon sendiri, hingga kini tersimpan aneka satu set perlengkapan minum teh, baik yang terbuat dari gerabah, keramik porselen, hingga logam. Perlengkapan minum teh itu di antaranya diperoleh keluarga keraton dari Eropa, dan Cina.

“Ada juga yang dibeli dari perajin gerabah Panjunan dan Jamblang. Dulu, di Panjunan, Kota Cirebon, dan Jamblang, Kabupaten Cirebon, terdapat sentra kerajinan gerabah. Namun saat ini sudah tak ada,” ungkapnya.

Termasuk, produsen teh asal Cirebon, dulu diketahui pula pernah ada. Namun kini menguap eksistensinya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan teh dan peralatan minum dalam sajian teh poci yang berlaku di masyarakat, kebanyakan menggunakan produksi Tegal, Jawa Tengah.

Dia menilai, kegiatan minum teh, dengan suasananya yang santai dan kekeluargaan, sesungguhnya dapat memperkuat tali silaturahmi. Selain juga sebagai media diskusi keluarga, hingga yang terpenting merupakan kegiatan yang menyehatkan mengingat teh mengandung anti oksidan yang mampu melawan radikal bebas.

Sehingga, lanjut dia, selayaknya tradisi minum teh dilestarikan, salah satunya keberadaan teh poci itu sendiri. Sayang, sepengamatannya belakangan ini, kebiasaan minum teh poci mulai dilupakan oleh generasi muda. Karena dianggap kurang populer.

Dia menyatakan, saat ini tak sedikit generasi muda yang lebih memilih mengonsumsi teh instan dalam kemasan, baik botol maupun kotak. Apalagi, teh instan semacam itu biasanya disajikan dalam keadaan dingin.

“Generasi muda sekarang tak lagi mengenal tradisi minum teh panas yang diseduh untuk memunculkan rasa dan aromanya. Apalagi teh poci, kemungkinan tak banyak yang menyadari dan tahu eksistensinya,” jelasnya.

Karena itu, dia memandang, kawasan Warung Teh Poci Kasepuhan yang telah lama berdiri layak direvitalisasi. Rencananya, bangunan tersebut akan disesuaikan dengan keberadaan keraton, mengingat lokasinya yang berada dalam satu kawasan dengan Keraton Kasepuhan.

Selain memperbaiki fisik bangunan, rencana revitalisasi juga akan meliputi pembinaan para pedagangnya. Upaya revitalisasi itu sendiri, akan melalui sumber dana dari pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap sejumlah situs Keraton Cirebon lainnya.

Sultan Arief pun menganggap, teh poci berpotensi menjadi kuliner andalan Cirebon, seperti halnya empal gentong atau nasi jamblang. Namun menurut dia, permasalahannya terletak pada trend selera, terutama di kalangan anak muda yang lebih menyukai segala hal yang berbau instan, termasuk konsumsi teh.

“Ini tugas bersama semua elemen masyarakat untuk menjadikan teh poci sebagai kuliner andalan hingga mampu membangkitkan kembali produksi teh dan gerabah asli Cirebon, seperti dulu,” tegas dia.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8571 seconds (0.1#10.140)