Beri Kuliah Umum di Unpad, Erick Thohir: Ekosistem Regional Harga Mati
loading...
A
A
A
BANDUNG - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menyatakan, ekosistem regional merupakan harga mati dalam menghadapi berbagai disrupsi menuju visi Indonesia Emas 2045.
Pernyataan tersebut disampaikan Erick saat memberikan kuliah umum di Aula Grha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran (Unpad), Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Sabtu (23/4/2022).
Dalam kuliah umumnya yang mengusung tema "BUMN dan Akselerasi Kolaborasi Industri-Pendidikan Tinggi melalui Hybrid University Model dan Transformasi Digital" itu, Erick memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Bahkan, kata Erick, setiap tahunnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5 persen.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 2045 akan terus tumbuh, setiap tahun naik 5 persen. Jadi, nanti di 2045 kita masuk negara ke empat terbesar di dunia," ujar Erick.
Namun, lanjut dia, untuk menggapai posisi Indonesia Emas 2045 itu bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, dalam perjalanannya, Indonesia juga menghadapi berbagai disrupsi. Disebutkan Erick, sedikitnya ada lima disrupsi yang mengancam Indonesia saat ini hingga 2045 mendatang.
"Salah satunya kemarin kita menghadapi pandemi COVID-1 dan siapa yang menggaransi 10 tahun ke depan tidak ada lagi pandemi, apalagi hari ini pun masih banyak virus yang belum menjadi endemi, seperti polio dan HIV AIDS," sebutnya.
"Untung saja COVID-19 ini sudah menjadi endemi. Kebayang tidak kalau masih pandemi, penularannya begitu cepat dan mematikan, tidak menjadi endemi," lanjutnya.
Disrupsi teknologi, lanjut Erick, menjadi ancaman lain dalam menggapai visi Indonesia Emas 2045. Pasalnya, disrupsi teknologi berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan akibat penggunaan robot dalam dunia kerja.
"Berdasarkan hasil riset di Amerika, Jerman, dan Australia, (disrupsi teknologi) mengakibatkan lebih banyak pekerjaan yang hilang dibandingkan yang tumbuh. Di Amerika saja, 6,1 juta lapangan pekerjaan hilang akibat disrupsi teknologi, itu ancaman juga bagi kita," tegasnya.
Apalagi, Indonesia juga menghadapi bonus demografi dimana masyarakat usia produktif akan lebih banyak. Kondisi tersebut menurutnya bakal merubah tatanan kehidupan.
"Belum lagi kita menghadapi disrupsi lingkungan yang ekstrem, yang mengancam pangan dunia. Lihat saja sekarang, harga pangan tinggi di dunia. Selain (akibat) pandemi COVID-19, juga karena cuaca yang mengakibatkan gagal panen," jelasnya seraya mengatakan bahwa stok pangan dunia pun kini terganggu akibat invasi Rusia terhadap Ukraina yang bakal memperlambat upaya pemulihan pascapandemi COVID-19.
Oleh karenanya, Erick menekankan, untuk menghadapi berbagai disrupsi tersebut, Indonesia harus memiliki kedaulatan di berbagai bidang dengan cara membangun ekosistem sendiri. Terlebih, kata Erick, globalisasi sendiri nantinya akan hilang dan digantikan dengan regionalisasi.
"Sekarang ada statement globalism akan hilang dan berganti regionalism, apakah Asia Tenggara atau kita (Indonesia). Jawabannya, untuk menghadapi disrupsi ini, kita harus punya ekosistem sendiri. Jadi, globalism akan berubah menjadi regionalism, roadmap ekosistem ini harus terbentuk, ini harga mati," tegasnya.
Dengan roadmap ekosistem sendiri, sambung Erick, bukan saatnya lagi kita berbicara ekosistem China atau Amerika, melainkan ekosistem Indonesia. Dengan begitu, program hilirisasi dipastikan harus terbentuk.
"Sumber daya alam kita dari jaman Belanda terus dipakai untuk pertumbuhan ekonomi negara lain. Hari ini, kita pastikan hilirisasi harus terbentuk. Jadi, jangan sampai kita mengirim raw material ke negara lain karena hilirisasi bakal meningkatkan nilai tambah dan menambah lapangan kerja, itu yang harus tercipta di sini," tegasnya lagi.
Hal serupa juga harus tercipta dalam sistem ekonomi digital Indonesia yang potensinya kini mencapai 4.500 triliun. Indonesia jangan hanya menjadi pasar digital, melainkan harus mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk membuka lapangan kerja sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Makanya, BUMN juga melakukan hal ini untuk menjaga ekosistem, apakah yang namanya inovasi model bisnis, ekosistem usaha dalam negeri yang sehat, sumber daya manusia, ekonomi digital, hingga pengembangan sumber daya manusia," jelasnya.
Di lingkup BUMN, kata Erick, pihaknya pun terus menggenjot program hilirisasi demi terciptanya ekosistem, seperti pembangunan smelter untuk hasil tambang hingga gasifikasi baru bara.
"Sekarang pertambangan harus hilirisasi, harus bangun smelter. Seperti nikel, awalnya tambang sekarang eazy baterai. Eazy baterai ini harus masif karena tidak mungkin kita diamkan. Selama ini kita impor mobil, hari ini harus kita produksi mobil karena kita punya baterainya. Kalau tidak mau, ya udah tidak usah ambil nikel kita," terangnya.
Bahkan, program hilirisasi pun juga diterapkan di bidang pangan untuk menjamin ketersediaan pangan dalam negeri. Melalui hilirisasi bidang pangan, kata Erick, petani yang sebelumnya objek kini menjadi subjek.
"Makanya kita punya program Makmur, petani dapat modal, PT Pupuk mendampingi, memberikan bibit karena banyak petani yang mendapatkan bibit yang salah, ketika tumbuh tidak menghasilkan yang baik. Kita juga memberikan asuransi, kalau Petani gagal panen ada asuransi dari Jasindo. Dan yang paling penting BUMN dan swasta jadi offtaker dari hasil pertanian jagung, kelapa sawit, tebu. Memang belum semua karena kita korporasi," paparnya.
Dalam kuliah umum yang juga digelar secara online itu, Erick kembali menekankan bahwa ekosistem harus segera terbangun di Indonesia, agar Indonesia mampu mengurangi ketergantungan kepada negara lain, sehingga dapat mandiri dan berdaulat.
"Ekosistem ini harus dilakukan. Sebuah perubahan, inovasi yang tidak semua orang suka, tapi harus kita jalankan. Kita harus berdaulat, mandiri, mengurangi ketergantungan. Memang tidak ada dunia yang 100 persen berdaulat, tapi paling tidak kita bisa menekan ketergantungan terhadap negara lain," tandas Erick.
Pernyataan tersebut disampaikan Erick saat memberikan kuliah umum di Aula Grha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran (Unpad), Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Sabtu (23/4/2022).
Dalam kuliah umumnya yang mengusung tema "BUMN dan Akselerasi Kolaborasi Industri-Pendidikan Tinggi melalui Hybrid University Model dan Transformasi Digital" itu, Erick memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Bahkan, kata Erick, setiap tahunnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5 persen.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 2045 akan terus tumbuh, setiap tahun naik 5 persen. Jadi, nanti di 2045 kita masuk negara ke empat terbesar di dunia," ujar Erick.
Namun, lanjut dia, untuk menggapai posisi Indonesia Emas 2045 itu bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, dalam perjalanannya, Indonesia juga menghadapi berbagai disrupsi. Disebutkan Erick, sedikitnya ada lima disrupsi yang mengancam Indonesia saat ini hingga 2045 mendatang.
"Salah satunya kemarin kita menghadapi pandemi COVID-1 dan siapa yang menggaransi 10 tahun ke depan tidak ada lagi pandemi, apalagi hari ini pun masih banyak virus yang belum menjadi endemi, seperti polio dan HIV AIDS," sebutnya.
"Untung saja COVID-19 ini sudah menjadi endemi. Kebayang tidak kalau masih pandemi, penularannya begitu cepat dan mematikan, tidak menjadi endemi," lanjutnya.
Disrupsi teknologi, lanjut Erick, menjadi ancaman lain dalam menggapai visi Indonesia Emas 2045. Pasalnya, disrupsi teknologi berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan akibat penggunaan robot dalam dunia kerja.
"Berdasarkan hasil riset di Amerika, Jerman, dan Australia, (disrupsi teknologi) mengakibatkan lebih banyak pekerjaan yang hilang dibandingkan yang tumbuh. Di Amerika saja, 6,1 juta lapangan pekerjaan hilang akibat disrupsi teknologi, itu ancaman juga bagi kita," tegasnya.
Apalagi, Indonesia juga menghadapi bonus demografi dimana masyarakat usia produktif akan lebih banyak. Kondisi tersebut menurutnya bakal merubah tatanan kehidupan.
"Belum lagi kita menghadapi disrupsi lingkungan yang ekstrem, yang mengancam pangan dunia. Lihat saja sekarang, harga pangan tinggi di dunia. Selain (akibat) pandemi COVID-19, juga karena cuaca yang mengakibatkan gagal panen," jelasnya seraya mengatakan bahwa stok pangan dunia pun kini terganggu akibat invasi Rusia terhadap Ukraina yang bakal memperlambat upaya pemulihan pascapandemi COVID-19.
Oleh karenanya, Erick menekankan, untuk menghadapi berbagai disrupsi tersebut, Indonesia harus memiliki kedaulatan di berbagai bidang dengan cara membangun ekosistem sendiri. Terlebih, kata Erick, globalisasi sendiri nantinya akan hilang dan digantikan dengan regionalisasi.
"Sekarang ada statement globalism akan hilang dan berganti regionalism, apakah Asia Tenggara atau kita (Indonesia). Jawabannya, untuk menghadapi disrupsi ini, kita harus punya ekosistem sendiri. Jadi, globalism akan berubah menjadi regionalism, roadmap ekosistem ini harus terbentuk, ini harga mati," tegasnya.
Dengan roadmap ekosistem sendiri, sambung Erick, bukan saatnya lagi kita berbicara ekosistem China atau Amerika, melainkan ekosistem Indonesia. Dengan begitu, program hilirisasi dipastikan harus terbentuk.
"Sumber daya alam kita dari jaman Belanda terus dipakai untuk pertumbuhan ekonomi negara lain. Hari ini, kita pastikan hilirisasi harus terbentuk. Jadi, jangan sampai kita mengirim raw material ke negara lain karena hilirisasi bakal meningkatkan nilai tambah dan menambah lapangan kerja, itu yang harus tercipta di sini," tegasnya lagi.
Hal serupa juga harus tercipta dalam sistem ekonomi digital Indonesia yang potensinya kini mencapai 4.500 triliun. Indonesia jangan hanya menjadi pasar digital, melainkan harus mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk membuka lapangan kerja sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Makanya, BUMN juga melakukan hal ini untuk menjaga ekosistem, apakah yang namanya inovasi model bisnis, ekosistem usaha dalam negeri yang sehat, sumber daya manusia, ekonomi digital, hingga pengembangan sumber daya manusia," jelasnya.
Di lingkup BUMN, kata Erick, pihaknya pun terus menggenjot program hilirisasi demi terciptanya ekosistem, seperti pembangunan smelter untuk hasil tambang hingga gasifikasi baru bara.
"Sekarang pertambangan harus hilirisasi, harus bangun smelter. Seperti nikel, awalnya tambang sekarang eazy baterai. Eazy baterai ini harus masif karena tidak mungkin kita diamkan. Selama ini kita impor mobil, hari ini harus kita produksi mobil karena kita punya baterainya. Kalau tidak mau, ya udah tidak usah ambil nikel kita," terangnya.
Bahkan, program hilirisasi pun juga diterapkan di bidang pangan untuk menjamin ketersediaan pangan dalam negeri. Melalui hilirisasi bidang pangan, kata Erick, petani yang sebelumnya objek kini menjadi subjek.
"Makanya kita punya program Makmur, petani dapat modal, PT Pupuk mendampingi, memberikan bibit karena banyak petani yang mendapatkan bibit yang salah, ketika tumbuh tidak menghasilkan yang baik. Kita juga memberikan asuransi, kalau Petani gagal panen ada asuransi dari Jasindo. Dan yang paling penting BUMN dan swasta jadi offtaker dari hasil pertanian jagung, kelapa sawit, tebu. Memang belum semua karena kita korporasi," paparnya.
Dalam kuliah umum yang juga digelar secara online itu, Erick kembali menekankan bahwa ekosistem harus segera terbangun di Indonesia, agar Indonesia mampu mengurangi ketergantungan kepada negara lain, sehingga dapat mandiri dan berdaulat.
"Ekosistem ini harus dilakukan. Sebuah perubahan, inovasi yang tidak semua orang suka, tapi harus kita jalankan. Kita harus berdaulat, mandiri, mengurangi ketergantungan. Memang tidak ada dunia yang 100 persen berdaulat, tapi paling tidak kita bisa menekan ketergantungan terhadap negara lain," tandas Erick.
(shf)