Karomah Telur Mentah KH Nachrawi Bikin Pejuang Kebal Peluru saat Perang Lawan Belanda
loading...
A
A
A
Masjid Bungkuk Malang juga menjadi saksi bagaimana perlawanan pejuang Indonesia pasca merdeka melawan penjajah Belanda dan sekutunya.Para pejuang kebal peluru setelah makan telur yang didoakan.
Masjid Bungkuk At Thohiriyyah di Malang, Jatim jadi saksi pemgemblengan pejuang gerilyawan saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Foto/MPI/Avirista Midaada
Masjid dan pondok pesantren yang ada di Bungkuk itu juga mengirimkan beberapa kader pilihannya untuk berjihad bergerilya melawan penjajah Belanda dan sekutu saat agresi militer Belanda.
Generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk KH Moensif Nachrawi menuturkan, meski tidak secara resmi digunakan markas gerilyawan, tetapi masjid dan pondok pesantren Bungkuk yang jadi tertua se-Malang raya ini menjadi area penggemblengan para pejuang.
Di sini para pejuang digembleng baik fisik maupun spiritual untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Tidak secara resmi markas begitu. Tapi begitu November 1945 Belanda datang lagi bersama sekutu-sekutunya. Belanda ndompleng (ikutan) kepingin masuk lagi ke Indonesia," ucap Moensif ditemui di rumahnya di Jalan Bungkuk, Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Saat itu Belanda dan sekutunya memasuki Indonesia mulai dari kawasan Surabaya. Belanda dan sekutu terus bergerak ke selatan mencoba menguasai kembali beberapa daerah ke selatan Surabaya yang sempat dikuasai sebelum kedatangan Jepang.
"Waktu itu mulai masuk dari Surabaya yang diincar mulai terjadi rundingan gagal, rundingan gagal, perang lagi, hingga ada perang enam hari matinya Jenderal Mallaby. Belanda bertahan dan 1947 mulai merangsek ke selatan," ungkapnya.
Ia menambahkan, saat itu wilayah Malang dan sekitarnya memang belum dalam penguasaan Belanda. Namun pergerakan Belanda yang terus merangsek ke selatan memasuki daerah Porong, membuat pejuang sekitar Malang bersiaga.
Antisipasi pun dilakukan para pejuang termasuk tokoh-tokoh ulama Islam di Malang dan sekitarnya, mereka bersama-sama rakyat dan gerilyawan berlatih perang dan membekali dengan ilmu spiritual, yang akan dikirim ke Porong untuk berjuang melawan Belanda dan sekutunya.
"Di saat di sana itu gerilya itu dikirim rata-rata cuma dibekali istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya, di daerah Porong dikirim ke sana," terang pria yang juga penasehat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.
"Dari mana-mana dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari ini tempat mengemblengnya mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," tambahnya.
Ia masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang ini dibekali ilmu agama, peperangan, dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya.
Bahkan KH Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kekebalan terhadap senjata itu.
Ia masih ingat ketika masih SD samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.
"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil SD ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," papar pria berusia 87 tahun ini.
Namun selain di Singosari dan Lawang disebutnya ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok-pondok pesantren yang memiliki tokoh-tokoh ulama mengajarkan hal serupa, ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.
"Nyebar di mana-mana, banyak memang yang ditokohkan yang mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri-sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," jelasnya.
Memang beberapa dari mereka disebut moensif, ada yang berhasil pulang dengan ilmu kekebalan yang dimiliki, tapi tak jarang ada yang gugur dalam medan pertempuran.
Menurutnya hal itu juga dipengaruhi dari hati, amal, dan tingkah lakunya masing-masing. "Yang mati nggak pulang, yang masih hidup ya pulang orang, gitu saja," ucap dia.
Upaya koalisi arek-arek Malang, Pasuruan, Surabaya, dan sekitarnya di Jawa Timur melawan Belanda akhirnya gagal. Belanda kian merangsak masuk ke selatan, bahkan setelah Porong, Belanda dan sekutunya menguasai daerah Lawang setelah sempat terjadi pertempuran dengan para gerilyawan pejuang Indonesia.
"Lawang itu bertahan lama karena mau ke selatan itu susah, satu saat Belanda itu coba dari lawang ke Singosari itu gagal kenapa, pohon gede-gede (besar-besar) itu dirobohkan, mobil tank nggak bisa lewat, truk-truk nggak bisa lewat, gagal. Jadi gimana caranya bisa masuk Malang," tuturnya.
Belanda dan sekutunya membuat skema memecah pasukan untuk menuju Malang. Pasukan pertama ditarik mundur ke Surabaya hingga menuju lapangan udara (Lanud) Juanda saat ini.
Sedangkan pasukan kedua dipecah mundur melalui Pasuruan dari Tretes kemudian mendaki gunung dan hutan menembus wilayah Pujon, yang ada di Kabupaten Malang.
Upaya ini tampaknya sedikit memudahkan Belanda masuk ke wilayah Malang. Pasukan udara Belanda berhasil menjangkau lapangan udara Bugis di Pakis, yang kini menjadi Bandara Abdul Rachman Saleh Malang, yang diambil alih dari para pejuang.
Begitu pun dengan pasukan yang melalui Pujon, juga berhasil merangkak masuk dengan menaklukkan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.
"Dari Pujon terus merangsak masuk ke Blimbing, di situ terjadi pertempuran hebat antara Belanda dengan pejuang kita. Akhirnya Blimbing (Kota Malang) , jatuh ke tangan Belanda, Kiai Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdatul Ulama) dikabari Blimbing jatuh ke Belanda itu sampai kaget," bebetnya.
Dari sinilah akhirnya pasukan Belanda berhasil memasuki Kota Malang, kendati sejumlah upaya mempertahankan kota dilakukan para pejuang gerilyawan, hal itu berhasil diatasi Belanda yang dibantu para sekutunya.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
Masjid Bungkuk At Thohiriyyah di Malang, Jatim jadi saksi pemgemblengan pejuang gerilyawan saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Foto/MPI/Avirista Midaada
Masjid dan pondok pesantren yang ada di Bungkuk itu juga mengirimkan beberapa kader pilihannya untuk berjihad bergerilya melawan penjajah Belanda dan sekutu saat agresi militer Belanda.
Generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk KH Moensif Nachrawi menuturkan, meski tidak secara resmi digunakan markas gerilyawan, tetapi masjid dan pondok pesantren Bungkuk yang jadi tertua se-Malang raya ini menjadi area penggemblengan para pejuang.
Di sini para pejuang digembleng baik fisik maupun spiritual untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Tidak secara resmi markas begitu. Tapi begitu November 1945 Belanda datang lagi bersama sekutu-sekutunya. Belanda ndompleng (ikutan) kepingin masuk lagi ke Indonesia," ucap Moensif ditemui di rumahnya di Jalan Bungkuk, Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Saat itu Belanda dan sekutunya memasuki Indonesia mulai dari kawasan Surabaya. Belanda dan sekutu terus bergerak ke selatan mencoba menguasai kembali beberapa daerah ke selatan Surabaya yang sempat dikuasai sebelum kedatangan Jepang.
"Waktu itu mulai masuk dari Surabaya yang diincar mulai terjadi rundingan gagal, rundingan gagal, perang lagi, hingga ada perang enam hari matinya Jenderal Mallaby. Belanda bertahan dan 1947 mulai merangsek ke selatan," ungkapnya.
Ia menambahkan, saat itu wilayah Malang dan sekitarnya memang belum dalam penguasaan Belanda. Namun pergerakan Belanda yang terus merangsek ke selatan memasuki daerah Porong, membuat pejuang sekitar Malang bersiaga.
Antisipasi pun dilakukan para pejuang termasuk tokoh-tokoh ulama Islam di Malang dan sekitarnya, mereka bersama-sama rakyat dan gerilyawan berlatih perang dan membekali dengan ilmu spiritual, yang akan dikirim ke Porong untuk berjuang melawan Belanda dan sekutunya.
"Di saat di sana itu gerilya itu dikirim rata-rata cuma dibekali istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya, di daerah Porong dikirim ke sana," terang pria yang juga penasehat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.
"Dari mana-mana dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari ini tempat mengemblengnya mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," tambahnya.
Ia masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang ini dibekali ilmu agama, peperangan, dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya.
Bahkan KH Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kekebalan terhadap senjata itu.
Ia masih ingat ketika masih SD samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.
"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil SD ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," papar pria berusia 87 tahun ini.
Namun selain di Singosari dan Lawang disebutnya ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok-pondok pesantren yang memiliki tokoh-tokoh ulama mengajarkan hal serupa, ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.
"Nyebar di mana-mana, banyak memang yang ditokohkan yang mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri-sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," jelasnya.
Memang beberapa dari mereka disebut moensif, ada yang berhasil pulang dengan ilmu kekebalan yang dimiliki, tapi tak jarang ada yang gugur dalam medan pertempuran.
Menurutnya hal itu juga dipengaruhi dari hati, amal, dan tingkah lakunya masing-masing. "Yang mati nggak pulang, yang masih hidup ya pulang orang, gitu saja," ucap dia.
Upaya koalisi arek-arek Malang, Pasuruan, Surabaya, dan sekitarnya di Jawa Timur melawan Belanda akhirnya gagal. Belanda kian merangsak masuk ke selatan, bahkan setelah Porong, Belanda dan sekutunya menguasai daerah Lawang setelah sempat terjadi pertempuran dengan para gerilyawan pejuang Indonesia.
"Lawang itu bertahan lama karena mau ke selatan itu susah, satu saat Belanda itu coba dari lawang ke Singosari itu gagal kenapa, pohon gede-gede (besar-besar) itu dirobohkan, mobil tank nggak bisa lewat, truk-truk nggak bisa lewat, gagal. Jadi gimana caranya bisa masuk Malang," tuturnya.
Belanda dan sekutunya membuat skema memecah pasukan untuk menuju Malang. Pasukan pertama ditarik mundur ke Surabaya hingga menuju lapangan udara (Lanud) Juanda saat ini.
Sedangkan pasukan kedua dipecah mundur melalui Pasuruan dari Tretes kemudian mendaki gunung dan hutan menembus wilayah Pujon, yang ada di Kabupaten Malang.
Upaya ini tampaknya sedikit memudahkan Belanda masuk ke wilayah Malang. Pasukan udara Belanda berhasil menjangkau lapangan udara Bugis di Pakis, yang kini menjadi Bandara Abdul Rachman Saleh Malang, yang diambil alih dari para pejuang.
Begitu pun dengan pasukan yang melalui Pujon, juga berhasil merangkak masuk dengan menaklukkan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.
"Dari Pujon terus merangsak masuk ke Blimbing, di situ terjadi pertempuran hebat antara Belanda dengan pejuang kita. Akhirnya Blimbing (Kota Malang) , jatuh ke tangan Belanda, Kiai Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdatul Ulama) dikabari Blimbing jatuh ke Belanda itu sampai kaget," bebetnya.
Dari sinilah akhirnya pasukan Belanda berhasil memasuki Kota Malang, kendati sejumlah upaya mempertahankan kota dilakukan para pejuang gerilyawan, hal itu berhasil diatasi Belanda yang dibantu para sekutunya.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
(shf)