BKKBN: Faktor Lingkungsn Penyebab Tingginya Stunting di 5 Daerah Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah daerah di Indonesia masuk kategori daerah dengan kasus stunting tertinggi. Lima daerah dengan angka stunting dari urutan tertinggi adalah NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Aceh, NTB, dan Kalimantan Barat serta Kalimantan Selatan.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ), Hasto Wardoyo dalam dalam diskusi daring yang digelar FMB9 bertema "Percepatan Pencegahan Stunting" Senin (4/4/22).
"Ya memang kalo kita lihat daerah yang paling memprihatinkan angkanya masih cukup tinggi. Ini menjadi daerah-daerah yang tentu masuk lima besar tertinggi dari urutan tertinggi," bebernya.
Adapun penyebab tingginya masalah stunting di wilayah tersebut, kata Hasto, faktor sanitasi menjadi penyebab terbesar. Menurutnya, faktor lingkungan ini dikenal dengan sebutan faktor sensitif.
"Ya kalo kita lihat seperti kemarin kita ke NTT, faktor lingkungan kemudian menjadi suatu masalah yang penting sekali untuk diperhatikan seperti air bersih, rumah tidak layak huni, kemudian juga camban. faktor-faktor itu yang dikenal
faktor sensitif," kata Hasto.
Hasto menjelaskan, jika faktor lingkungan ini tidak diperhatikan dengan baik, maka akan menyebabkan anak mudah sakit seperi diare, TBC dan seterusnya yang berakibat pada turunnya berat badan.
"Kalau faktor lingkungan kurang bagus, maka akan menjadikan anak mudah sakit seperti diare, TBC dan kalau sakit akhirnya berat badan tidak naik dan seterusnya. Kalau dua tiga bulan tidak naik, maka bulan-bulan berikutnya tinggi badannya tidak naik dan akhirnya tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya. Kemudian kita katakan stunting, begitu," ujarna.
Hasto mengakui, kendati sejumlah daerah di Pulau Jawa memiliki kasus yang banyak, namun persentasenya tidak tinggi. Hal ini karena daerah tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar."Kalau tadi kita melihat cuplikan untuk daerah-daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat sebetulnya presentasinya tidak tinggi. Cuma jumlah kasusnya besar, karena penduduknya besar," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Hasto, faktor penyebab stunting yang juga punya peran besar adalah mindset atau pola pikir masyarakat. Menurutnya, pemahaman dan pengetahuan tentang gizi seimbang itu penting. "Menurut saya, masalah kedua itu adalah masalah mindset. Dimana pemikiran dan pengetahuan itu penting," pungkas Hasto.
Untuk menekan stunting, menurut Hasto, peran ahli-ahli gizi, Puskesmas, Dinas Kesehatan dan rumah sakit sangat penting dalam melakukan sosialisasi tentang gizi seimbang.
"Kalau kita lihat banyak orang yang mampu juga, tetapi makanannya tidak gizi seimbang. Ada juga yang pengetahuannya kurang, meminta BLT kemudian sebagian besar digunakan untuk beli rokok dan lain-lain. Ini semua karena kurangnya pemahaman untuk menentukan prioritas terhadap masalah kesehatan," tutupnya.
Meski banyak daerah angka stuntingnya tinggi, namun perkembangan keseluruhan, kata Hasto, semakin baik. Pencapaian selama beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan yang relatif belum maksimal. Menurutnya, sejak 2018 hingga 2021, angka stunting hanya turun dari 32,8 persen menjadi 24,4 persen.
"Kalau kita lihat penurunan dari tahun-tahun sebelumnya itu relatif belum bisa mencapai angka 14 persen di tahun 2024. Bahwa tahun 2018 di angka 32,8 persen, tahun 2021 24,4 persen," kata Hasto
Lihat Juga: Tekan Stunting, Dosen dan Mahasiswa STFI Edukasi Warga Karyamukti Pentingnya Asupan Gizi Seimbang
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ), Hasto Wardoyo dalam dalam diskusi daring yang digelar FMB9 bertema "Percepatan Pencegahan Stunting" Senin (4/4/22).
"Ya memang kalo kita lihat daerah yang paling memprihatinkan angkanya masih cukup tinggi. Ini menjadi daerah-daerah yang tentu masuk lima besar tertinggi dari urutan tertinggi," bebernya.
Adapun penyebab tingginya masalah stunting di wilayah tersebut, kata Hasto, faktor sanitasi menjadi penyebab terbesar. Menurutnya, faktor lingkungan ini dikenal dengan sebutan faktor sensitif.
"Ya kalo kita lihat seperti kemarin kita ke NTT, faktor lingkungan kemudian menjadi suatu masalah yang penting sekali untuk diperhatikan seperti air bersih, rumah tidak layak huni, kemudian juga camban. faktor-faktor itu yang dikenal
faktor sensitif," kata Hasto.
Hasto menjelaskan, jika faktor lingkungan ini tidak diperhatikan dengan baik, maka akan menyebabkan anak mudah sakit seperi diare, TBC dan seterusnya yang berakibat pada turunnya berat badan.
"Kalau faktor lingkungan kurang bagus, maka akan menjadikan anak mudah sakit seperti diare, TBC dan kalau sakit akhirnya berat badan tidak naik dan seterusnya. Kalau dua tiga bulan tidak naik, maka bulan-bulan berikutnya tinggi badannya tidak naik dan akhirnya tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya. Kemudian kita katakan stunting, begitu," ujarna.
Hasto mengakui, kendati sejumlah daerah di Pulau Jawa memiliki kasus yang banyak, namun persentasenya tidak tinggi. Hal ini karena daerah tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar."Kalau tadi kita melihat cuplikan untuk daerah-daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat sebetulnya presentasinya tidak tinggi. Cuma jumlah kasusnya besar, karena penduduknya besar," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Hasto, faktor penyebab stunting yang juga punya peran besar adalah mindset atau pola pikir masyarakat. Menurutnya, pemahaman dan pengetahuan tentang gizi seimbang itu penting. "Menurut saya, masalah kedua itu adalah masalah mindset. Dimana pemikiran dan pengetahuan itu penting," pungkas Hasto.
Untuk menekan stunting, menurut Hasto, peran ahli-ahli gizi, Puskesmas, Dinas Kesehatan dan rumah sakit sangat penting dalam melakukan sosialisasi tentang gizi seimbang.
"Kalau kita lihat banyak orang yang mampu juga, tetapi makanannya tidak gizi seimbang. Ada juga yang pengetahuannya kurang, meminta BLT kemudian sebagian besar digunakan untuk beli rokok dan lain-lain. Ini semua karena kurangnya pemahaman untuk menentukan prioritas terhadap masalah kesehatan," tutupnya.
Meski banyak daerah angka stuntingnya tinggi, namun perkembangan keseluruhan, kata Hasto, semakin baik. Pencapaian selama beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan yang relatif belum maksimal. Menurutnya, sejak 2018 hingga 2021, angka stunting hanya turun dari 32,8 persen menjadi 24,4 persen.
"Kalau kita lihat penurunan dari tahun-tahun sebelumnya itu relatif belum bisa mencapai angka 14 persen di tahun 2024. Bahwa tahun 2018 di angka 32,8 persen, tahun 2021 24,4 persen," kata Hasto
Lihat Juga: Tekan Stunting, Dosen dan Mahasiswa STFI Edukasi Warga Karyamukti Pentingnya Asupan Gizi Seimbang
(don)