Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen pada 2025, Ini Tantangan Pemerintah

Rabu, 16 Maret 2022 - 23:09 WIB
loading...
Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen pada 2025, Ini Tantangan Pemerintah
Pengurangan sampah plastik sebagai jalan menuju transformasi ekonomi hijau justru bertentangan dengan penggunaan air minum kemasan sekali pakai. Foto ilustrasi SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia mamatok target pengurangan sampah plastik hingga 70 persen pada tahun 2025. Pengurangan sampah plastik sebagai jalan menuju transformasi ekonomi hijau justru bertentangan dengan penggunaan air minum kemasan sekali pakai. Maka, kebijakan yang mendorong air minum kemasan sekali pakai harus dipertimbangkan kembali.

Tantangan komitem implementasi ekonomi hijau terungkap dalam webinar bertajuk 'Menuju Transformasi Ekonomi Hijau: Tantangan dan Solusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Manajemen dan Bisnis (LMFEB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Rabu (16/3/2022). Webinar ini merupakan rangkaian peringatan Hari Sampah Nasional 2022.



Hadir dalam webinar ini antara lain Rofi Alhanif (Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi), Edward Nixon Pakpahan (Fungsional Ahli Madya Pedal Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Martha Fani Cahyandito (Guru Besar FEB Universitas Padjadjaran), dan Roby Arya Brata (Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Perencanaan Pembangunan, dan Pengembangan Iklim Usaha Sekretariat Kabinet).

Ekonomi hijau yang bermuara pada ekonomi sirkular, kata Roby Arya Brata, sudah menjadi pembahasan utama dalam G20. "Arah global menuju ekonomi hijau tersebut sudah bukan lagi menjadi pilihan tetapi kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh negara anggota G20, termasuk Indonesia. Indonesia bukan sekadar jadi ketua, tetapi harus menjadi pemimpin terdepan dalam ekonomi hijau,” ujar Roby.

Sementara itu, Edward Nixon, mengungkapkan, salah satu tantangan utama dalam ekonomi hijau adalah persoalan sampah. Sampah dunia saat ini, lanjut Edward, telah mencapai tiga miliar ton. Dari jumlah itu, hanya sepertiga yang berhasil diolah kembali.

Saat ini sampah plastik Indonesia di laut mencapai 6,8 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 10 persen yang didaur ulang dan 20 persen yang berakhir di TPA. Sementara itu, sisanya bakal menjadi sampah yang bocor ke sungai dan laut.

“Hierarki tertinggi dari konsep penanganan sampah adalah mengurangi sampah. Semua pihak, terutama produsen, diharapkan dapat membantu masyarakat dengan produk yang bisa mengurangi timbulan sampah,” kata Edward.

Karena itu, dengan target pengurangan sampai hingga 70 persen pada 2025, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk mengurangi penggunaan sampah plastik di darat sehingga tidak bocor hingga ke laut.

Sebagaimana diketahui, belakangan ini ramai diberitakan beberapa pihak berupaya mendorong BPOM mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai. Padahal selama ini masyarakat terbiasa menggunakan kemasan galon guna ulang.

Dalam konteks penanganan sampah, kata Edward, air minum dengan galon sekali pakai sangat tidak dianjurkan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prioritas penanganan sampah berbasis mengurangi dan membatasi penggunaan sampah plastik.

"Dengan konsep tersebut, akan semakin banyak timbulan sampah untuk diolah. Kebijakan yang mendorong air minum kemasan galon sekali pakai harusnya dipertimbangkan kembali. Kita tidak dukung yang sekali pakai, usahakan yang bisa digunakan kembali,” kata dia.

Guru Besar FEB Universitas Padjadjaran, Martha Fani Cahyandito mengatakan, salah satu faktor penting dalam ekonomi hijau adalah kesehatan. Kebijakan yang sifatnnya multidimensi dan multisektoral harus dapat menjaga kepentingan bersama, prioritas utama yang sudah ditetapkan, dan tidak merugikan banyak pihak.

Menurutnya, AMDK galon sekali pakai otomatis akan menambah sampah plastik. "Harus dapat dipikirkan dampak menyeluruhnya, baik dari sisi lingkungan, infrastuktur pengolahan, persaingan usaha termasuk industri yang bergantung dari keputusan ini, dan dampak ekonominya seperti kepada UMKM dan tenaga kerja. Harus duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini bersama,” tegasnya.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1846 seconds (0.1#10.140)