Kisah Sultan Agung Penggal Kepala Panglima Perang yang Gagal Kuasai Batavia

Senin, 06 Desember 2021 - 05:06 WIB
loading...
Kisah Sultan Agung Penggal Kepala Panglima Perang yang Gagal Kuasai Batavia
Nafsu kekuasaan Sultan Agung dan jurus penggal kepala panglima perang.Foto/ilustrasi
A A A
Sultan Agung atau lengkapnya Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma merupakan sultan Mataram ketiga. Dia memerintah dari tahun 1613 hingga 1645. Sultan Agung dikenal sebagai panglima perang yang ahli membangun negeri dan kesultananya menjadi kekuatan militer yang hebat.

Sultan Agung atau Susuhunan Agung adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi Kajawen. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka budaya Jawa dan menjadi pengetahuan kolektif bersama.

Baca juga: Tragedi Raden Ayu Lembah dan Jatuhnya Kekuasaan Amangkurat III di Kartasura

Kejayaan Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Perangainya tegas dan tanpa ampun, membuatnya menghukum mati siapa saja yang tidak becus dalam bekerja. Tak terkecuali panglima perangnya.

Saat memimpin Mataram hingga mencapai kemasyhuran, Sultan Agung bernafsu untuk menguasai Banten. Keinginan tersebut begitu besar. Hal ini membuat Sultan Agung mencoba menaklukkan Banten yang dikuasai VOC Belanda. Ini dikisahkan dalam buku "Hitam Putih Kekuasaan Raja-Raja Jawa Intrik, Konspirasi Perebutan Harta, Tahta, dan Wanita" tulisan Sri Wintala Achmad.

Sultan Agung cemas setelah mendapatkan kabar VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten. Jayakarta yang kemudian namanya diubah menjadi Batavia itu adalah salah satu wilayah yang belum mampu ditaklukan Kerajaan Mataram.

Kenyataan bahwa VOC memperbudak pribumi juga mengganggu pikiran Sultan Agung. Sebelum Jayakarta takluk, VOC yang sebelumnya bermarkas di Kepulauan Banda, Ambon, Kepulauan Maluku, mengirimkan utusan untuk meminta izin kepada Sultan Agung guna membuka loji-loji dagang di pantai utara Mataram. Tawaran itu pun ditolak Sultan Agung. Alasannya, Sultan Agung yakin jika izin diberikan maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai VOC.

Setelah menaklukkan Jayakarta pada 1619, VOC memindahkan kantor pusatnya ke wilayah di pesisir Pulau Jawa tersebut. Di tahun-tahun tersebut Kerajaan Mataram sedang berkonflik dengan Kerajaan Surabaya dan Kesultanan Banten. Menyadari kekuatan VOC, Sultan Agung sempat berpikir untuk memanfaatkan VOC.

Baca juga: Tragedi Raden Ayu Lembah dan Jatuhnya Kekuasaan Amangkurat III di Kartasura

Pada tahun 1621, Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Namun VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.

Setelah Surabaya jatuh ke tangan Mataram, sasaran Sultan Agung selanjutnya adalah Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa. Namun, posisi Batavia yang menjadi "benteng" Kesultanan Banten perlu diatasi terlebih dahulu. Alasan itu adalah keinginan lain Sultan Agung untuk menyerbu Batavia selain ingin mengusir penjajah VOC dari bumi Nusantara.

Keinginan menguasai Banten yang begitu besar itu ingin dicapainya dengan banyak cara. Di antaranya, Sultan Agung memerintahkan Adipati Ukur, untuk membantunya menyerang VOC di Batavia pada 1628 Masehi.

Buku Sejarah Nasional Ketika Nusantara Berbicara karya Joko Darmawan menuliskan, persiapan untuk menyerang Batavia pun dilakukan pada tahun 1628. Pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Bahureksa dari Kendal yang diberi titah Sultan Agung memimpin penyerbuan ke Benteng Belanda, mendaratkan 59 perahu berisi 900 prajurit ke teluk Jakarta.

Di dalam kapal, armada Bahureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan 12.000 karung beras. Semua itu tentu saja tidak diakui sebagai perbekalan untuk menyerang benteng Batavia. Armada Bahureksa beralasan kedatangan mereka untuk berdagang dengan Batavia.

Sebagai bawahan, Adipati Ukur yang kala itu Bupati Wedana Priangan, melaksanakan perintah Sultan Agung. Namun ia mengalami kegagalan saat menyerang pasukan VOC.

Alhasil Adipati Ukur tak berani menghadap ke Sultan Agung. Ia takut bila dipenggal kepalanya. Selanjutnya Adipati Ukur dan pasukannya bersembunyi di kawasan Gunung Lumbung yang sekarang masuk wilayah Bandung.

Pembangkangan Adipati Ukur ini dilaporkan oleh seorang panglima Mataram kepada Sultan Agung. Sontak penguasa Mataram saat itu marah besar, ia mengutus pasukannya untuk mencari Adipati Ukur dan menangkapnya. Pasukan Mataram pun berangkat menuju Gunung Lumbung sebagaimana laporan intelijen Mataram, mengenai tempat persembunyian Adipati Ukur.

Perang pun terjadi saat pasukan Mataram bertemu dengan pasukan Adipati Ukur di Gunung Lumbung. Singkat cerita, Adipati Ukur dapat ditangkap dan dibawa ke Cirebon pada 1632 Masehi.

Dari Cirebon inilah Adipati Ukur dibawa ke Mataram untuk dihadapkan ke Sultan Agung. Dikarenakan sudah murka, Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya di alun - alun.

Sepeninggal Adipati Ukur, Sultan Agung menyerahkan jabatan bupati wedana Priangan kepada Pangeran Adipati Rangga Gede, yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu, Sultan Agung juga melakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk memberikan stabilitas situasi dan kondisi di daerah itu.

Saat diperintah Pangeran Adipati Rangga Gede inilah kekuasaan Mataram di Sunda semakin kokoh. Di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tidak kembali ke Mataram dan lebih memilih untuk menikahi penduduk setempat.

Para prajurit Mataram ini selanjutnya membuka lahan persawahan terutama di daerah Karawang. Hal ini demi memenuhi kebutuhan hidup dan mata pencaharian utama. Mungkin inilah yang menyebabkan daerah Karawang terkenal sebagai lumbung padi di Jawa Barat.

Tulisan diolah dari berbagai sumber: 1) Buku Sejarah Nasional Ketika Nusantara Berbicara karya Joko Darmawan. 2).Ensiklopedi Pahlawan Nasional.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1374 seconds (0.1#10.140)