Jejak Makam-makam Keramat Peninggalan Kerajaan Majapahit dan Singasari di Surabaya

Jum'at, 27 Agustus 2021 - 05:00 WIB
loading...
Jejak Makam-makam Keramat Peninggalan Kerajaan Majapahit dan Singasari di Surabaya
Situs arca Joko Dolog di Jalan Taman Apsari. Konon arca ini merupakan perwujudan Raja Kertanegara sebagai Maha Aksobhya bahasa sansekerta yang artinya tak tergerakkan. /Ali Masduki
A A A
SURABAYA - Hari Jadi Kota Surabaya selalu dikaitkan dengan Raden Wijaya , pendiri Kerajaan Majapahit tahun 1293. Namun nyaris tidak ada peninggalan purbakala masa Majapahit. Biasanya, orang beranggapan bahwa peninggalan sejarah itu berupa artefak, batu bersurat, prasasti, dan candi yang dipengaruhi agama Hindu dan Budha. Sedangkan yang bercorak Islam, adalah akhir masa kejayaan Majapahit.

Yousri Nur Raja Agam dalam bukunya, Riwayat Surabaya rek, Doeloe dan Esok menulis, pengaruh Majapahit di Surabaya, mungkin tidak banyak bercerita tentang kepurbakalaan. Di Surabaya sama sekali tidak ditemukan candi dan batu-batu bersurat yang biasa disebut prasasti.

Dalam buku Negara Kertagama dan kitab Pararaton, dinyatakan pembangunan candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabdikan dharma dan memuliakan roh yang telah bersatu dengan dewa penitisnya.

Baca juga: Kisah Kejayaan Majapahit dan Mitos-mitos Misterius yang Menyelubunginya

Walaupun tidak ada candi sebagai lambang peninggalan purbakala, di Surabaya terdapat peninggalan masa lalu berupa punden dan makam yang dikeramatkan. Selain itu ada satu tempat yang unik, yakni persemayaman Patung Joko Dolok di Jalan Taman Apsari Surabaya, berdekatan dengan gedung Balai Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur.

Dalam berbagai ungkapan, diceritakan, patung Joko Dolog ini bukan peninggalan Kerajaan Majapahit, tetapi berasal dari Kerajaan Singasari.

Di tengah Kota Surabaya banyak komplek makam yang masih terawat hingga sekarang. Di antaranya makam Mbah Bungkul di Jalan Raya Darmo dan makam Sunan Ampel di komplek Masjid Ampel. Selain itu, makam Raden Kudo Kardono alias Pangeran Yudho Kardhono, makam Pangiran Lanang Dangiran alias Mbah Brondong, makam Oei Sam Hong alias Mbah Buyut Sambongan, makam Pangeran Pekik alias Mbah Pendem, makam Sawunggaling, makam Pangeran Sedho Masjid dan beberapa makam keramat lainnya yang terdapat di kampung-kampung di kota Surabaya.

Makam Pangeran Yudho Kardhono terletak di Jalan Cempaka Surabaya. Sang pangeran adalah komandan perang kepercayaan raja Majapahit ke dua setelah Raden Wijaya, yakni, Raja Jayanegara yang memerintah tahun 1309-1328. Nama asli Pangeran Yudho Kardhono adalah Raden Kudo Kardono.

Baca juga: Masjid Tertua di Bumi Majapahit, Tempat Para Kiai Menyusun Strategi Melawan Penjajah

Lalu makam Pangiran Lanang Dangiran atau Ki Ageng Lanang Dangiran yang juga disebut Mbah Brondong. Makam ini terletak di komplek pemakaman atau pesarean Botoputih Jalan Pegirian, Surabaya. Mbah Brondong ini dalam riwayatnya disebut mast keturunan Sunan Tawangalun alias Pangeran Kedawung dani Kerajaan Blambangan.

Selanjutnya makam Pangeran Pekik alias Mbah Pendem. Makam ini terletak di daerah Pakis, Surabaya. Konon sang pangeran adalah petualang dan Jogjakarta. Namun ada pula yang mengatakan masih dari kerajaan Majapahit. Peristiwa ini tidak jelas tahunnya. Cerita inipun merupakan cerita dari mulut ke mulut yang sudah menjadi “tutur tinular”.

Akhudiat dalam buku Masuk Kampung Keluar Kampung, 2008, halaman 124, menulis Pangeran Pekik sebagai Regent, penguasa Surabaya pada urutan ke 10 setelah Kanjeng Sunan Ampel Denta.

Kemudian makam Mbah Kiai Sedomasjid. Makam ini terletak di pusat Kota Surabaya, dekat Tugu Pahlawan. Tepatnya di Jalan Tembaan, kawasan kampung Kawatan, Bubutan. Dulu di dekat makam Kiai Sedomasjid ini konon ada masjid besar menghadap alun-alun Contong. Waktu itu Jalan Pasar Besar yang sekarang menjadi terusan Jalan Pahlawan belum ada. Sedangkan Jalan pahlawan sekarang itu menuju Tunjungan hanya ada Jalan Kramat gantung dan Jalan Gemblongan.

Lalu punden Joko Kuti yang terdapat di Kutisari, Rungkut. Punden ini disebut merupakan bagian dari cikal-bakal Surabaya di zaman Majapahit. Di sini konon dimakamkan sepasangan suami isteri, Joko Kuti dengan Siti Karomah. Saat pertamakali membangun permukiman yang kemudian bernama Kutisari itu, Joko Kuti bersama isterinya sering dapat gangguan dari wanita jadi-jadian bernama Sri Sundoro yang mempunyai “pasukan hantu”.

Dalam adu kesaktian dengan Joko Kuti, akhimya Sri Sundoro yang berubah menjadi babi atau celeng tewas. Tempat itu kemudian diberi nama Celeng Srenggi. Sedangkan tempat pemakaman massal “pasukan hantu” disebut Kramat Complong.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1533 seconds (0.1#10.140)