Kegigihan Masyarakat di Bangka Tengah, demi Menanam Mangrove Rela Menantang Maut
loading...
A
A
A
BANGKA TENGAH - Penanaman bibit pohon mangrove atau bakau di pesisir laut Desa Kurau, Bangka Tengah, Bangka Belitung harus dilakukan tengah malam dan bertaruh nyawa menghadapi air pasang dan ancaman buaya.
"Jadi memang menanam mangrove di sini tidak hanya siang saja," kata Ketua Hutan Kemasyarakatan (HKM) Gempita, Desa Kurau, Maliki yang bertaruh nyawa menanam bakau sambil menghadapi pasang saat malam tiba, Senin (23/8/2021).
Maliki mengaku bersama kelompoknya mengantar bibit dan kayu ke lokasi penanaman mangrove sejak pukul 19.00 WIB. Mereka melakukannya di malam hari karena memanfaatkan air pasang. "Kalau siangnya air surut. Kalau air surut kita nggak bisa ngangkut bibit dan kayu ke lokasi, kalau dipikul jauh," katanya.
Jarak dari lokasi persemaian ke titik penanaman mangrove di tengah Kawasan Hutan Lindung Sungai Kurau sekitar 1 kilometer. Selain gelombang tinggi, tantangan yang dihadapi yaitu hewan buas seperti buaya yang kerap ditemui melintas. Mereka baru kembali ketika hari sudah berganti. "Pulangnya jam 02.00, terkadang jam 03.00," ucapnya.
Baca juga: Rehabilitasi Mangrove Jadi Investasi Jangka Panjang Masyarakat
Dia mengatakan penanaman mangrove yang mereka jalankan merupakan program dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Proses penanaman diawali sosialisasi yang dilakukan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Baturusa Cerucuk. Setelah proses sosialisasi, kelompok yang dipimpin Maliki mulai membudidayakan bibit mangrove pada Januari 2021.
Baca juga: COVID-19 Melonjak Objek Wisata Ditutup, Warga Nekad Memancing di Danau Toba
"Kita memilih jenis baru. Sonneratia alba," ujarnya. Pada program penanaman ini, HKM Gempita bertanggung jawab untuk area tanam seluas 30 hektare. Penanaman dilakukan sejak Mei 2020 dengan melibatkan 33 orang penanam dan 25 orang dengan tugas mempersiapkan bibit. Proses tanam itu, kata Maliki, sudah selesai. "Tinggal menunggu proses akhir yaitu pencairan," ujarnya.
Maliki menambahkan, kelompoknya sudah memulai melakukan penanaman sejak 2013. Awalnya, kelompok ini ingin membuat objek wisata dan menanam mangrove. Hal ini juga yang melatar belakangi pembentukan kelompok petani hutan.
Bersama kelompok, Maliki dan rekan-rekannya mulai menanam dan memperjuangkan izin mengelola hutan lindung berupa HKM pada 2016 dengan luas lahan 148,5 hektare.
Maliki mengatakan, kesadaran menanam mangrove tumbuh karena munculnya aktivitas membuat bagan, keramba yang berada di tengah laut. Pembuatan bagan, kata Maliki, menyebabkan penebangan mangrove.
"Satu bagan butuh kayu 36 batang, kalau 100 bagan sudah berapa kayu yang mereka pakai," kata dia.
Melihat kerusakan hutan mangrove di wilayahnya ini, Maliki bersama anggotanya mulai menyosialisasikan agar tidak menebang mangrove di hutan lindung. Alhasil, upaya sosialiasi mereka membuahkan hasil. "Mereka kini memilih kayu di luar kawasan mangrove," ujar dia.
Sementara itu, setelah mendapat izin mengelola hutan lindung, HKM Gempita memiliki empat Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Diantaranya kelompok pembibitan mangrove, desa pariwisata, kuliner, dan tambak kepiting soka. Masing-masing KUPS ini memiiki 15 anggota dan pengurus.
Selama pandemi, Maliki menyebut dua KUPS yaitu Desa Pariwisata dan Kuliner dihentikan sementara. Adapun tambak dikelola secara swadaya sejak 2019. "Kalau ada (modal) kita besarkan kepiting dari mangrove, setelah besar kita jual. Sekarang kita bangun kolam silvofisheri, tapi butuh tenaga dan biaya," ujarnya.
Maliki merasa bersyukur program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui penanaman mangrove ini dapat terlaksana. Sebab, banyak warga di desanya yang sudah bergantung hidupnya dari penanaman mangrove.
"Ada program dari BRGM sangat bermanfaat bagi teman-teman di sini. Terutama di saat pandemi sehingga ada pekerjaan penanaman mangrove ini,” katanya.
Sekretaris BRGM, Ayu Dewi Utari menambahkan bahwa program rehabilitasi mangrove yang dijalankan mengikuti pola PEN ini memang ditujukan untuk membantu masyarakat di tengah pandemi. "Kita mau program BRGM ini menguntungkan masyarakat, meningkatkan taraf hidup dan daya beli mereka," tambah Ayu.
Untuk kedepan, tambahnya lagi, kita ingin program rehabilitasi ini memberikan sumber penghasilan baru bagi masyarakat, terutama setalah 4-5 tahun setelah penamana, setelah keindahan alam mangrove terpulihkan dan bisa menjadi ekowisata. "Mangrove itu Indah, masyarakat bisa kembangkan menjadi ekosiwasata," tandasnya.
Lihat Juga: Pj Gubernur Lampung Apresiasi Penanaman 20.000 Bibit Mangrove oleh MNC Peduli di Pesisir Pantai EMP
"Jadi memang menanam mangrove di sini tidak hanya siang saja," kata Ketua Hutan Kemasyarakatan (HKM) Gempita, Desa Kurau, Maliki yang bertaruh nyawa menanam bakau sambil menghadapi pasang saat malam tiba, Senin (23/8/2021).
Maliki mengaku bersama kelompoknya mengantar bibit dan kayu ke lokasi penanaman mangrove sejak pukul 19.00 WIB. Mereka melakukannya di malam hari karena memanfaatkan air pasang. "Kalau siangnya air surut. Kalau air surut kita nggak bisa ngangkut bibit dan kayu ke lokasi, kalau dipikul jauh," katanya.
Jarak dari lokasi persemaian ke titik penanaman mangrove di tengah Kawasan Hutan Lindung Sungai Kurau sekitar 1 kilometer. Selain gelombang tinggi, tantangan yang dihadapi yaitu hewan buas seperti buaya yang kerap ditemui melintas. Mereka baru kembali ketika hari sudah berganti. "Pulangnya jam 02.00, terkadang jam 03.00," ucapnya.
Baca juga: Rehabilitasi Mangrove Jadi Investasi Jangka Panjang Masyarakat
Dia mengatakan penanaman mangrove yang mereka jalankan merupakan program dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Proses penanaman diawali sosialisasi yang dilakukan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Baturusa Cerucuk. Setelah proses sosialisasi, kelompok yang dipimpin Maliki mulai membudidayakan bibit mangrove pada Januari 2021.
Baca juga: COVID-19 Melonjak Objek Wisata Ditutup, Warga Nekad Memancing di Danau Toba
"Kita memilih jenis baru. Sonneratia alba," ujarnya. Pada program penanaman ini, HKM Gempita bertanggung jawab untuk area tanam seluas 30 hektare. Penanaman dilakukan sejak Mei 2020 dengan melibatkan 33 orang penanam dan 25 orang dengan tugas mempersiapkan bibit. Proses tanam itu, kata Maliki, sudah selesai. "Tinggal menunggu proses akhir yaitu pencairan," ujarnya.
Maliki menambahkan, kelompoknya sudah memulai melakukan penanaman sejak 2013. Awalnya, kelompok ini ingin membuat objek wisata dan menanam mangrove. Hal ini juga yang melatar belakangi pembentukan kelompok petani hutan.
Bersama kelompok, Maliki dan rekan-rekannya mulai menanam dan memperjuangkan izin mengelola hutan lindung berupa HKM pada 2016 dengan luas lahan 148,5 hektare.
Maliki mengatakan, kesadaran menanam mangrove tumbuh karena munculnya aktivitas membuat bagan, keramba yang berada di tengah laut. Pembuatan bagan, kata Maliki, menyebabkan penebangan mangrove.
"Satu bagan butuh kayu 36 batang, kalau 100 bagan sudah berapa kayu yang mereka pakai," kata dia.
Melihat kerusakan hutan mangrove di wilayahnya ini, Maliki bersama anggotanya mulai menyosialisasikan agar tidak menebang mangrove di hutan lindung. Alhasil, upaya sosialiasi mereka membuahkan hasil. "Mereka kini memilih kayu di luar kawasan mangrove," ujar dia.
Sementara itu, setelah mendapat izin mengelola hutan lindung, HKM Gempita memiliki empat Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Diantaranya kelompok pembibitan mangrove, desa pariwisata, kuliner, dan tambak kepiting soka. Masing-masing KUPS ini memiiki 15 anggota dan pengurus.
Selama pandemi, Maliki menyebut dua KUPS yaitu Desa Pariwisata dan Kuliner dihentikan sementara. Adapun tambak dikelola secara swadaya sejak 2019. "Kalau ada (modal) kita besarkan kepiting dari mangrove, setelah besar kita jual. Sekarang kita bangun kolam silvofisheri, tapi butuh tenaga dan biaya," ujarnya.
Maliki merasa bersyukur program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui penanaman mangrove ini dapat terlaksana. Sebab, banyak warga di desanya yang sudah bergantung hidupnya dari penanaman mangrove.
"Ada program dari BRGM sangat bermanfaat bagi teman-teman di sini. Terutama di saat pandemi sehingga ada pekerjaan penanaman mangrove ini,” katanya.
Sekretaris BRGM, Ayu Dewi Utari menambahkan bahwa program rehabilitasi mangrove yang dijalankan mengikuti pola PEN ini memang ditujukan untuk membantu masyarakat di tengah pandemi. "Kita mau program BRGM ini menguntungkan masyarakat, meningkatkan taraf hidup dan daya beli mereka," tambah Ayu.
Untuk kedepan, tambahnya lagi, kita ingin program rehabilitasi ini memberikan sumber penghasilan baru bagi masyarakat, terutama setalah 4-5 tahun setelah penamana, setelah keindahan alam mangrove terpulihkan dan bisa menjadi ekowisata. "Mangrove itu Indah, masyarakat bisa kembangkan menjadi ekosiwasata," tandasnya.
Lihat Juga: Pj Gubernur Lampung Apresiasi Penanaman 20.000 Bibit Mangrove oleh MNC Peduli di Pesisir Pantai EMP
(shf)