Sejarah Tari Piring dan Lagu Ayam Den Lapeh, Kesenian dari Minangkabau yang Sarat Akan Makna

Minggu, 22 Agustus 2021 - 05:00 WIB
loading...
Sejarah Tari Piring...
Tampak salah satu momen pertunjukan tari piring. (Ist)
A A A
Tari piring adalah tarian tradisional Minangkabau yang menampilkan atraksi menggunakan piring. Para penari mengayunkan piring di tangan mengikuti gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa satu pun piring terlepas dari tangan. Gerakannya diambil dari langkah dalam silat Minangkabau atau silek.

Tari ini dipopulerkan oleh Huriah Adam. Saat ini, tari piring dipertunjukkan untuk penyambutan tamu terhormat atau pembukaan upacara adat. Bersama dengan tari saman, pendet, dan jaipong, tari ini menjadi tarian populer Indonesia yang kerap ditampilkan di ajang promosi pariwisata dan kebudayaan Indonesia.

Secara tradisional, tari ini berasal dari Solok, Sumatera Barat. Menurut legenda awal kemunculannya, Tari Piring ini berfungsi sebagai tarian dalam upacara kesuburan. Tarian ini juga menjadi salah satu bentuk seni tradisional yang banyak sekali menyimpan nilai-nilai estetis yang cukup tinggi dan mengandung nilai-nilai kebudayaan leluhur yang sangat mendalam.

Tari ini juga merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang diletakkan di dalam piring sembari melangkah dengan gerakan yang dinamis.

Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tari piring tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.

Gerakan tari piring pada umumnya adalah meletakkan dua piring di atas dua telapak tangan. Penari mengayunkan piring dalam gerakan-gerakan yang cepat, diselingi dengan mendentingkan piring atau dua cincin di jari penari terhadap piring yang dibawanya. Pada akhir tarian, biasanya piring-piring yang dibawakan oleh para penari dilemparkan ke lantai dan para penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring.

Jumlah penari tari piring biasanya berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang. Para penari mengenakan pakian berwarna cerah dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan serta tutup kepala.

Tarian ini diiringi oleh kombinasi alat musik talempong dan saluang. Tempo alunan musik awalnya lembut dan teratur, kemudian lama-kelamaan berubah menjadi lebih cepat.

Gerakan dalam tari piring ini merupakan salah satu unsur penting untuk menjadikan tarian menjadi bentuk yang bermutu. Tari Piring ini bersumber dari beberapa gerakan, seperti, Gerakan dasar pencak silat, Gerakan alang babega, gerakan tupai bagaluik, gerakan bungo kambang, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu tari piring juga sering kali menggambil berbagai gerakan kehidupan sehari-hari, seperti, gerak bacamin, gerak basiang, gerak buai anak, gerak mangompu suto, gerak malunyah, gerak maiinjak piriang, gerak bagolek dan gerak manyemba lalok.

Jenis alat musik yang digunakan adalah, Talempong pacik, Pupuik batang padi dan gendan. Semua aspek musikal tersebut seolah-olah sedang menciptakan suasana yang menarik dan lasuah didengar.

Perkembangan budaya Tari Piring dalam masyarakat Minangkabau masa kini telah mengalami pergeseran nilai dan fungsi. Pada masa kini Tari Piring tidak hanya dikelola oleh daerah tetapi juga oleh masyarakat minangkabau yang hidup di rantau.

Tujuan utama masyarakat perantauan mengembangkan Tari Piring ini adalah untuk menjaga eksitensi dan sebagai bagian dari warisan dan identitas budaya masyarakat Minangkabau.

Nilai dan aspek dari Tari Piring itu sendiri telah bergeser dari masa ke masa, baik di daerah maupun di perantauan. Perubahan itu dapat dilihat seperti nilai dari pelengkap upacara adat yang kini juga dialih fungsikan sebagai pertunjukan hiburan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya sanggar-sanggar tari daerah yang bekerja sama dengan agensi hiburan. Meskipun begitum perkembangan ini tetap tidak mematikan peranan Tari Piring sebagai identitas asli budaya Minangkabau.

Meskipun banyak ide garapan dan corak dari bentuknya lahir dari pemikiran seorang koreografer individual modern, namun secara esensi baik masyarakat di rantau maupun di Sumatera Barat tetap menyatakan bahwa Tari Piring yang telah berkembang secara kualitas tersebut disebut Tari Piring asli Minangkabau.

Selain tari piring yang melegenda, Sumatera Barat juga memliki lagu daerah yang sarat akan makna berjudul "Ayam Den Lapeh" (Ayam Saya Lepas). Lagu ini cukup riang didengarkan meski bercerita tentang seseorang yang kehilangan sesuatu.

Lagu yang diciptakan Abdul Hamid ini menceritakan tentang seseorang yang kehilangan sesuatu yang disimbolkan dengan seekor ayam. Mengutip situs Kebudayaan Indonesia, Direktorat Jenderal Kebudayaan RI, ayam dalam tradisi Minang lama merupakan barang mewah. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memeliharanya. Pemilihan diksi ayam ini sedikit menggelitik. Lebih-lebih ketika mendengar nada lagunya jauh dari kesan muram atau mendayu-dayu.

Dalam lirik "di ma ati indak kamaupek, awak takicuah ai ai, ayam den lapeh (di mana hati tidaklah kesal, ai ai aku tertipu, ayamku lepas)", ada ungkapan kemarahan dengan kata kesal ketika ayam si empu lepas. Di sana, tidak disebutkan "aku sedih". Kesalahan telah terjadi sehingga ayam terlepas, karena awalnya "aku" tidak menyangka akan lepas.

Melihat perumpamaan dengan ayam lepas ini, sangat cocok memang dengan penggunaan kata "kesal". Pada kenyataanya, seekor ayam jago liar misalnya, tidak akan berontak ketika kita memegangnya dengan benar.

Bagian badan atau sayap dipegang dengan baik akan membuat si ayam nyaman. Bahkan, dengan elusan di bagian kepala bisa mendiamkan si ayam meski disimpan di tanah tanpa dipegangi. Namun namanya ayam liar, ketika dia tahu hanya dielus tidak dipegangi, dengan sedikit senggolan, ia akan kabur.

"Tabanglah juo nan karimbo, Oilah malang juo (terbanglah jauh ke rimba, oh malang sekali)". Ayam kesayangan akhirnya kabur tanpa terkejar masuk ke dalam hutan. Baca: Kisah Kesaktian Eyang Bintulu Aji, Sang Pamomong Wahyu Keraton Mataram.

Lirik lagu "Ayam Den Lapeh" menggunakan kata ganti personal orang pertama "aku". Aku penulis bisa saja memiliki pengalaman pribadi tentang ayam yang masih liar itu untuk menggambarkan sebentuk kehilangan sesuatu yang lain.

Bagaimana pun, penulis ingin menyampaikan bahwa harus hati-hati menyimpan sesuatu jika tidak ingin kehilangan. Ya, apa pun bisa terjadi di luar kendali ketika "bermain-main" hal penuh risiko. Meskipun, ada pula orang yang lebih senang tantangan karena adrenalinnya lebih terpacu ketika membiarkan kaki si ayam tak terikat.

Ada juga nasihat langsung melalui peribahasa "sikucapang sikucapeh, saikua tabang saikua lapeh (yang dikejar tak dapat, yang sudah ada berlepasan). Peribahasa ini mengajarkan untuk bersyukur tentang apa yang dimiliki dan menjaganya jangan sampai hilang. Baca Juga: Cerita Pembuatan Bendera Pusaka, Tenda Warung Soto dan Rp500 Sen Begini Kisahnya.

Lagu "Ayam Den Lapeh" diakhiri dengan lirik "duduak tamanuang tiok sabanta, oi takana juo ai ai (duduk termenung sebentar, oh terkenang lagi). Pada akhirnya, ketika sudah kehilangan dan tak mampu berbuat apa-apa, berusahalah mengikhlaskannya.

Sumber:
Wikipedia
merahputih
diolah dari berbagai sumber
(nag)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2714 seconds (0.1#10.140)