Calon Pengganti Panglima TNI, Peneliti CESPELS Sebut Laksamana Yudo Margono Memenuhi Syarat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Meski Presiden Jokowi belum membuka suara terkait calon pengganti Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, namun berbagai kalangan sudah mulai menyebut nama yang memenuhi syarat sebagai calon Panglima TNI.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) Ubedilah Badrun, jika mencermati profil Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maka nama ini bisa dikategorikan memenuhi syarat untuk menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.
Apalagi, lanjut Badrun, Laksamana Yudo Margono meniti karir dengan pendidikan militer terbaik. "Semuanya beliau ikuti dan segudang pengalaman karir yang strategis," ujar peneliti yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Adapun karir militer yang pernah dirintisnya yakni menjadiPanglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I. Selain itu Laksamana Yudo Margono juga sebagai sosok yang memberi perhatian serius pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) TNI AL.
Oleh karena itu, lanjutnya, Presiden Jokowi tidak perlu bingung mengajukan calon Panglima TNI untuk meminta persetujuan DPR. "Pergantian panglima TNI itu hal biasa dan sudah rutin terjadi karena TNI memiliki mekanisme sirkulasi elit yang sudah mapan dan tinggal diikuti saja," kata analis Sosial Politik UNJ ini.
Namun, menurut Badrun, karena posisi Panglima TNI sangat strategis, maka seringkali muncul beragam tafsir politik dan kepentingan. Mereka mencoba untuk merubah mekanisme sirkulasi panglima yang sudah mapan itu melalui lobi politik yang kadang dalam perspektif kenegaraan itu merusak marwah institusi TNI.
"Mekanisme sirkulasi elit TNI yang saya maksud adalah menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari setiap matra angkatan," jelasnya. Baca juga: Panglima TNI Pimpin Sertijab Pangkogabwilhan I, III dan Danpaspampres di Aula Gatot Soebroto
Panglima TNI biasanya dijabat secara bergilir oleh tiap perwira dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Adapun, pengangkatan tersebut bersifat kultural, bukan struktural. Oleh karena itu jika merujuk ketentuan itu maka pergantian panglima TNI November mendatang memang giliran Kepala Staf Angkatan Laut.
"Saya termasuk meyakini bahwa siapapun Kepala Staf di TNI mereka adalah kader terbaik di matra nya. Karena TNI adalah salah satu institusi yang kaderisasinya jelas dan terbaik di Indonesia. Jadi tidak perlu melakukan loby loby politik atau langkah-langkah yang menunjukan semacam political imaging (pencitraan politik) untuk berebut menjadi panglima," paparnya.
Dalam penentuan Panglima TNI, tambahnya, presiden mesti menggunakan logika undang-undang dengan memperhatikan profesionalitas, integritas, loyalitas dan track record calon panglima. Oleh karena itu Presiden tidak perlu bingung dan para Kepala Staf beserta keluarganya juga tidak perlu melakukan loby-loby politik.
"Tentang perlunya persetujuan DPR juga tidak perlu dikhawatirkan karena DPR kan memang saat ini hanya sebagai stempel pemerintah karena lebih dari 80% anggota DPR adalah pemerintah," jelasnya.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) Ubedilah Badrun, jika mencermati profil Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maka nama ini bisa dikategorikan memenuhi syarat untuk menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.
Apalagi, lanjut Badrun, Laksamana Yudo Margono meniti karir dengan pendidikan militer terbaik. "Semuanya beliau ikuti dan segudang pengalaman karir yang strategis," ujar peneliti yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Adapun karir militer yang pernah dirintisnya yakni menjadiPanglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I. Selain itu Laksamana Yudo Margono juga sebagai sosok yang memberi perhatian serius pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) TNI AL.
Oleh karena itu, lanjutnya, Presiden Jokowi tidak perlu bingung mengajukan calon Panglima TNI untuk meminta persetujuan DPR. "Pergantian panglima TNI itu hal biasa dan sudah rutin terjadi karena TNI memiliki mekanisme sirkulasi elit yang sudah mapan dan tinggal diikuti saja," kata analis Sosial Politik UNJ ini.
Namun, menurut Badrun, karena posisi Panglima TNI sangat strategis, maka seringkali muncul beragam tafsir politik dan kepentingan. Mereka mencoba untuk merubah mekanisme sirkulasi panglima yang sudah mapan itu melalui lobi politik yang kadang dalam perspektif kenegaraan itu merusak marwah institusi TNI.
"Mekanisme sirkulasi elit TNI yang saya maksud adalah menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari setiap matra angkatan," jelasnya. Baca juga: Panglima TNI Pimpin Sertijab Pangkogabwilhan I, III dan Danpaspampres di Aula Gatot Soebroto
Panglima TNI biasanya dijabat secara bergilir oleh tiap perwira dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Adapun, pengangkatan tersebut bersifat kultural, bukan struktural. Oleh karena itu jika merujuk ketentuan itu maka pergantian panglima TNI November mendatang memang giliran Kepala Staf Angkatan Laut.
"Saya termasuk meyakini bahwa siapapun Kepala Staf di TNI mereka adalah kader terbaik di matra nya. Karena TNI adalah salah satu institusi yang kaderisasinya jelas dan terbaik di Indonesia. Jadi tidak perlu melakukan loby loby politik atau langkah-langkah yang menunjukan semacam political imaging (pencitraan politik) untuk berebut menjadi panglima," paparnya.
Dalam penentuan Panglima TNI, tambahnya, presiden mesti menggunakan logika undang-undang dengan memperhatikan profesionalitas, integritas, loyalitas dan track record calon panglima. Oleh karena itu Presiden tidak perlu bingung dan para Kepala Staf beserta keluarganya juga tidak perlu melakukan loby-loby politik.
"Tentang perlunya persetujuan DPR juga tidak perlu dikhawatirkan karena DPR kan memang saat ini hanya sebagai stempel pemerintah karena lebih dari 80% anggota DPR adalah pemerintah," jelasnya.
(don)