Terenyuh, Balai Kayu Ini Sangat Berarti bagi Pendidikan Suku Anak Dalam

Rabu, 23 Juni 2021 - 10:57 WIB
loading...
Terenyuh, Balai Kayu Ini Sangat Berarti bagi Pendidikan Suku Anak Dalam
Balai kayu untuk pendidikan anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Pagar Desa, Bayung Lencir, Musi Banyuasin (Muba), Sumsel. Foto/Ist
A A A
MUSI BANYUASIN - Bagi warga Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan memiliki fasilitas pendidikan dulunya merupakan mimpi. Tapi sekarang mimpi ini menjadi kenyataan.

Baca juga: Polsek Tebo Ilir Jambi Lakukan Vaksinasi Suku Anak Dalam Lansia

Balai pendidikan kini mulai dibangun di Desa Pagar Desa. “Saya sangat senang karena bisa belajar setiap hari,” kata Rika, bocah perempuan berusia 11 tahun itu tersenyum sumringah saat ditemui Senin (21/6/2021) lalu.

Baca juga: Digeber, Vaksinasi Guru di Surabaya Capai 95%, Kurang Seribu Pengajar SMA

Rika menuturkan, sebelum balai yang terbuat dari kayu dan bambu berukuran 6x8 meter itu berdiri, anak-anak usia sekolah hanya bisa belajar bersama dua hari dalam sepekan. Tempat belajar mengajarnya pun ala kadarnya. Sebelum ada saung, anak-anak belajar di balai kecil yang dibangun secara swadaya.

Balai itu digunakan bergantian dengan ibu-ibu setempat yang mengenyam ilmu bercocok tanam. Sedangkan untuk tenaga pengajarnya selama ini didatangkan dari luar kampung atau sekolah terdekat dengan Jambi.

Pendirian balai itu terwujud atas inisiatif Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TPPKK) Kecamatan Bayung Lencir dan Kabupaten Muba untuk warga SAD di wilayah Rompok Soak Buring, Desa Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lencir, Muba, dan Desa Pangkalan Bayat.

Saat ini pembangunan yang dimulai sejak Maret 2021 lalu sudah mencapai 40%. Pembangunan agak tersendat karena adanya kendala akses pengiriman material. ”Harapan kami awal tahun ajaran baru saung tersebut sudah bisa digunakan," kata Kepala Desa Pagar Desa, Firman Luter Hia.

Segera Terwujud
Harapan itu agaknya akan segera terwujud. Ketua TP PKK Kabupaten Muba, Thia Yufada Dodi Reza, yang merupakan istri Bupati Muba Dodi Reza Alex Noerdin telah berkomitmen meresmikan penggunaan balai tersebut pada 26 Juli 2021. Tanggal itu sengaja dipilih dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.

Desa Pagar Desa yang terdiri dari 25 Kepala Keluarga (KK) memiliki 27 anak usia sekolah. “Semuanya tingkat SD,” lanjut Firman. Mereka memang sangat ingin memiliki sarana pendidikan yang memadai. “Hasrat belajar mereka tinggi sekali,” tuturnya.

Demi mewujudkan hasrat, warga lantas menyampaikan aspirasinya ke pemerintah desa.
Dan gayung pun bersambut. “Alhamdulilah ada kerjasama dari pihak kabupaten dan kecamatan bersama pihak ketiga yang bisa membantu SAD ini," ujarnya seraya berharap fasilitas pendidikan ini dapat memberantas buta huruf di desanya.

Pihak ketiga yang membantu adalah PT Marga Bara Jaya, yang menyalurkan bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Tingkatkan Pendidikan
Pendi, tokoh masyarakat setempat menyambut baik pendirian balai pendidikan tersebut. "Kami ingin anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak, maka itu saung ini sangat penting agar mereka punya tempat belajar. Terimakasih juga kepada Pemkab Muba, PT MBJ, dan pemerintah desa,” ujarnya.

“Jangan sampai anak-anak seperti kami, orang tuanya yang buta huruf," tandasnya. Diharapkan nantinya dari saung ini jumlah masyarakat SAD terdidik akan meningkat.

Dalam beberapa tahun terakhir jumlah masyarakat SAD yang mengecap pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi naik cukup pesat. Ini tak terlepas dari pengaruh modernisasi yang merambah pemukiman mereka.

Masyarakat SAD di Bayung Lencir pada umumnya sudah beradaptasi dengan masyarakat umum, seperti berpakaian dan menetap di rumah. Mereka juga memiliki televisi, radio bahkan parabola.

SAD atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

Jumlah populasi mereka saat ini diperkirakan mencapai 200.000 orang.Pada umumnya mereka hidup secara nomaden dan mencari nafkah dengan berburu dan mengumpulkan buah-buahan dari hutan.

Kini sebagian menetap di suatu tempat dan berbaur dengan warga sekitar. Banyak dari mereka telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2004 seconds (0.1#10.140)