Kekeringan dan Kebakaran Mengintai Jabar, Tujuh Wilayah Mulai Dilanda Kemarau
loading...
A
A
A
BANDUNG - Bencana kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan mengintai Provinsi Jawa Barat seiring mulai masuknya musim kemarau di sejumlah daerah dan bakal terus meluas.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jabar, Dani Ramdan mengatakan, sebagian wilayah Jabar kini telah memasuki musim kemarau dan diperkirakan terus meluas yang memicu potensi bencana kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan.
Dani menjelaskan, dari 36 zona musim di Jabar, tujuh di antaranya sudah memasuki musim kemarau sejak Mei 2021 lalu. Ketujuh zona musim tersebut berada di sebagian wilayah Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, dan Karawang.
Baca juga: BOR COVID-19 Naik, Warga Bandung Diminta Tidak Panik
"Jabar ini terbagi 36 zona musim. Setiap zona musim ini bisa memasuki musim kemarau maupun musim hujan lebih awal atau belakangan. Kita melihat Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, musim hujan lebih panjang, sampai saat ini masih hujan," tutur Dani, Kamis (10/6/2021).
"Tapi di pantura, yakni dari Cirebon, Indramayu, Subang, mulai Karawang, sudah mulai memasuki musim kemarau. Zona musim ini tidak seluruh wilayah kabupaten tersebut karena zona musim ini berbeda dengan batas administratif wilayah kabupaten/kota," lanjut Dani.
Jika melihat catatan tahun ke tahun, kata Dani, dampak kekeringan di setiap daerah berbeda-beda. Dia mencontohkan, di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi, permasalahan yang muncul saat musim kemarau berkaitan dengan ketersediaan air bersih untuk minum.
Baca juga: Meski COVID-19, BPKH Optimistis 2022 Bisa Kejar Imbal Hasil Investasi 8 Persen
Berbeda dengan Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Cirebon, lanjut Dani, musim kemarau mengakibatkan kekeringan di lahan-lahan pertanian. Imbasnya, lahan pertanian di ketiga daerah tersebut seringkali mengalami puso.
"Itu berdasarkan catatan historis. Hampir dari tahun ke tahun seperti itu. Memang ada beberapa daerah lain yang mengalami kekeringan, tapi skalanya kecil. Misal hanya satu kampung, satu desa, atau beberapa desa," terang Dani.
Selain ketersediaan air bersih yang minim dan mengakibatkan puso, musim kemarau di Jabar juga berpotensi memicu kebakaran hutan dan lahan di tujuh daerah, yakni Kota Cirebon, Cimahi, Kabupaten Cirebon, Kuningan, Bandung Barat, Sumedang, dan Sukabumi.
Dani menuturkan, pihaknya sudah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi dampak kekeringan yang terjadi setiap kemarau, salah satunya menggelar rapat koordinasi dengan BPBD kabupaten/kota dan instasi terkait, mulai dari BMKG, Dinas Sosial, sampai Dinas Lingkungan Hidup pada 19 Mei 2021 lalu.
"Dalam rakor itu, kami lakukan pendataan, daerah-daerah yang kemungkinan terdampak kekeringan berdasarkan historis dan perkiraan cuaca yang disampaikan BMKG. Mana daerah yang kemungkinan mengalami cukup berat, itu sudah diidentifikasi, termasuk jumlah desa, jumlah kepala keluarga yang akan terdampak," paparnya.
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, pihaknya melakukan perhitungan kebutuhan air di daerah yang mengalami kekeringan. Selain itu, identifikasi sumber-sumber air pun dilakukan.
"Kita perhitungkan juga bagaimana mobilisasinya, alat transportasi. Biasanya menggunakan tangki air. Kita hitung tangki air yang ada di BPBD kabupaten/kota, Damkar, PU, Dinsos. Kalau kurang, kita akan meminta bantuan TNI/Polri. Semua sudah dihitung. Dengan harapan, jika terjadi kekeringan, siapa berbuat apa sudah diketahui," tandasnya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jabar, Dani Ramdan mengatakan, sebagian wilayah Jabar kini telah memasuki musim kemarau dan diperkirakan terus meluas yang memicu potensi bencana kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan.
Dani menjelaskan, dari 36 zona musim di Jabar, tujuh di antaranya sudah memasuki musim kemarau sejak Mei 2021 lalu. Ketujuh zona musim tersebut berada di sebagian wilayah Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, dan Karawang.
Baca juga: BOR COVID-19 Naik, Warga Bandung Diminta Tidak Panik
"Jabar ini terbagi 36 zona musim. Setiap zona musim ini bisa memasuki musim kemarau maupun musim hujan lebih awal atau belakangan. Kita melihat Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, musim hujan lebih panjang, sampai saat ini masih hujan," tutur Dani, Kamis (10/6/2021).
"Tapi di pantura, yakni dari Cirebon, Indramayu, Subang, mulai Karawang, sudah mulai memasuki musim kemarau. Zona musim ini tidak seluruh wilayah kabupaten tersebut karena zona musim ini berbeda dengan batas administratif wilayah kabupaten/kota," lanjut Dani.
Jika melihat catatan tahun ke tahun, kata Dani, dampak kekeringan di setiap daerah berbeda-beda. Dia mencontohkan, di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi, permasalahan yang muncul saat musim kemarau berkaitan dengan ketersediaan air bersih untuk minum.
Baca juga: Meski COVID-19, BPKH Optimistis 2022 Bisa Kejar Imbal Hasil Investasi 8 Persen
Berbeda dengan Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Cirebon, lanjut Dani, musim kemarau mengakibatkan kekeringan di lahan-lahan pertanian. Imbasnya, lahan pertanian di ketiga daerah tersebut seringkali mengalami puso.
"Itu berdasarkan catatan historis. Hampir dari tahun ke tahun seperti itu. Memang ada beberapa daerah lain yang mengalami kekeringan, tapi skalanya kecil. Misal hanya satu kampung, satu desa, atau beberapa desa," terang Dani.
Selain ketersediaan air bersih yang minim dan mengakibatkan puso, musim kemarau di Jabar juga berpotensi memicu kebakaran hutan dan lahan di tujuh daerah, yakni Kota Cirebon, Cimahi, Kabupaten Cirebon, Kuningan, Bandung Barat, Sumedang, dan Sukabumi.
Dani menuturkan, pihaknya sudah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi dampak kekeringan yang terjadi setiap kemarau, salah satunya menggelar rapat koordinasi dengan BPBD kabupaten/kota dan instasi terkait, mulai dari BMKG, Dinas Sosial, sampai Dinas Lingkungan Hidup pada 19 Mei 2021 lalu.
"Dalam rakor itu, kami lakukan pendataan, daerah-daerah yang kemungkinan terdampak kekeringan berdasarkan historis dan perkiraan cuaca yang disampaikan BMKG. Mana daerah yang kemungkinan mengalami cukup berat, itu sudah diidentifikasi, termasuk jumlah desa, jumlah kepala keluarga yang akan terdampak," paparnya.
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, pihaknya melakukan perhitungan kebutuhan air di daerah yang mengalami kekeringan. Selain itu, identifikasi sumber-sumber air pun dilakukan.
"Kita perhitungkan juga bagaimana mobilisasinya, alat transportasi. Biasanya menggunakan tangki air. Kita hitung tangki air yang ada di BPBD kabupaten/kota, Damkar, PU, Dinsos. Kalau kurang, kita akan meminta bantuan TNI/Polri. Semua sudah dihitung. Dengan harapan, jika terjadi kekeringan, siapa berbuat apa sudah diketahui," tandasnya.
(msd)