Kisah Syodanco Soeprijadi, Sebelum Lenyap Sempat Sembunyi di Rumah Mbah Syiroj Blitar
loading...
A
A
A
"Mbah (Mbah Syiroj) nyebutnya kamar gajah ngising (gajah berak). Saya sampai sekarang gak tau kenapa dinamakan begitu," kata Nuh. Hanya hitungan beberapa jam usai pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar meletus (14 Agustus 1945), Syodanco Soeprijadi datang. Soeprijadi yang lahir 13 April 1923 di Trenggalek Jawa Timur itu adalah putra Darmadi, Bupati Blitar.
Makam Kiai Abdullah Syiroj pahlawan perintis kemerdekaan di belakang masjid Baitul Yaqin, Desa Krenceng, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
Pemberontakan yang berlangsung malam hari di markas PETA di Kota Blitar itu gagal. Kehabisan amunisi serta keroposnya koordinasi antar pasukan konon penyebab gagalnya pemberontakan. Mendiang nenek Nuh pernah cerita, rombongan Soeprijadi datang menjelang dini hari. Komandan tempur itu diikuti sekitar 40 orang pengikutnya.
Semuanya berseragam tentara, lengkap dengan senjata. "Oleh Mbah Syiroj semuanya diminta bergegas masuk ke dalam rumah," kata Nuh menirukan apa yang pernah diceritakan neneknya. Begitu tahu mereka baru saja memberontak, atas saran Mbah Syiroj, semua diminta melepas seragam tentara PETAnya. Termasuk Soeprijadi.
Saat itu juga para pemberontak Jepang tersebut bersalin baju biasa yang diperoleh dari warga sekitar. "Katanya, seragam tentara PETA itu kemudian dikubur di bawah salah satu ruangan rumah ini," terang Nuh. Di ruangan "Gajah Ngising" itu, Soeprijadi dan Mbah Syiroj sempat berbicara empat mata. Keduanya sama sama duduk bersila, berhadap hadapan.
Jauh sebelum memberontak, konon Soeprijadi banyak belajar soal ilmu kanuragan dari Mbah Syiroj. Dan di ruangan "Gajah Ngising" itu tidak ada yang tahu apa yang dipercakapkan mereka berdua. "Nenek juga tidak tahu apa yang dibicarakan," kata Nuh. Sejurus kemudian Soeprijadi merebahkan badan. Ia mengaso, dan sebelum terjaga sempat pulas barang 1-2 jam.
Sementara di dapur, Siti Fatimah yang dibantu warga sekitar sedang memasak makanan. Di salah kursi kayu di dapur, Soeprijadi yang sudah terjaga, kata Nuh sempat duduk. Posisinya menyandar dengan kedua tangan mendaplang. Tidak jauh dari kakinya, bedil pasukannya didirikan dengan posisi berjajar.
"Pada momen itu (duduk di kursi dapur) orang orang yang seusia saat itu banyak yang tahu dan menceritakannya," tutur Nuh. Pagi hari itu. Setelah makan, Soeprijadi bersama pasukannya berpamitan melanjutkan pelarian. Ia khawatir tentara Jepang mengendus keberadaanya, karena itu tidak bisa berlama lama.
Dari cerita yang didengar, seingat Nuh, para pemberontak PETA itu lari ke jalan menuju wilayah Gandusari, arah Gunung Kelud. Entah di tengah perjalanan mereka berbelok arah ke Gunung Wilis, wilayah Kediri, Nuh tidak tahu pasti. "Karena setelah itu tidak lagi diketahui jejaknya. Yang didengar tentara Jepang terus memburu para pemberontak," papar Nuh menjelaskan.
Nuh lupa kapan waktunya secara pasti. Setelah itu musibah pun datang. Berawal dari penangkapan salah seorang pengikut Syodanco Soeprijadi di Kediri. Jepang awalnya sulit menghabisi, karena anak buah Soeprijadi memiliki kain rajah bahasa Arab yang diikatkan pada perut. Ketika dikorek, ia mengaku mendapat jimat itu dari seorang kiai di Blitar.
Makam Kiai Abdullah Syiroj pahlawan perintis kemerdekaan di belakang masjid Baitul Yaqin, Desa Krenceng, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
Pemberontakan yang berlangsung malam hari di markas PETA di Kota Blitar itu gagal. Kehabisan amunisi serta keroposnya koordinasi antar pasukan konon penyebab gagalnya pemberontakan. Mendiang nenek Nuh pernah cerita, rombongan Soeprijadi datang menjelang dini hari. Komandan tempur itu diikuti sekitar 40 orang pengikutnya.
Semuanya berseragam tentara, lengkap dengan senjata. "Oleh Mbah Syiroj semuanya diminta bergegas masuk ke dalam rumah," kata Nuh menirukan apa yang pernah diceritakan neneknya. Begitu tahu mereka baru saja memberontak, atas saran Mbah Syiroj, semua diminta melepas seragam tentara PETAnya. Termasuk Soeprijadi.
Saat itu juga para pemberontak Jepang tersebut bersalin baju biasa yang diperoleh dari warga sekitar. "Katanya, seragam tentara PETA itu kemudian dikubur di bawah salah satu ruangan rumah ini," terang Nuh. Di ruangan "Gajah Ngising" itu, Soeprijadi dan Mbah Syiroj sempat berbicara empat mata. Keduanya sama sama duduk bersila, berhadap hadapan.
Jauh sebelum memberontak, konon Soeprijadi banyak belajar soal ilmu kanuragan dari Mbah Syiroj. Dan di ruangan "Gajah Ngising" itu tidak ada yang tahu apa yang dipercakapkan mereka berdua. "Nenek juga tidak tahu apa yang dibicarakan," kata Nuh. Sejurus kemudian Soeprijadi merebahkan badan. Ia mengaso, dan sebelum terjaga sempat pulas barang 1-2 jam.
Sementara di dapur, Siti Fatimah yang dibantu warga sekitar sedang memasak makanan. Di salah kursi kayu di dapur, Soeprijadi yang sudah terjaga, kata Nuh sempat duduk. Posisinya menyandar dengan kedua tangan mendaplang. Tidak jauh dari kakinya, bedil pasukannya didirikan dengan posisi berjajar.
"Pada momen itu (duduk di kursi dapur) orang orang yang seusia saat itu banyak yang tahu dan menceritakannya," tutur Nuh. Pagi hari itu. Setelah makan, Soeprijadi bersama pasukannya berpamitan melanjutkan pelarian. Ia khawatir tentara Jepang mengendus keberadaanya, karena itu tidak bisa berlama lama.
Dari cerita yang didengar, seingat Nuh, para pemberontak PETA itu lari ke jalan menuju wilayah Gandusari, arah Gunung Kelud. Entah di tengah perjalanan mereka berbelok arah ke Gunung Wilis, wilayah Kediri, Nuh tidak tahu pasti. "Karena setelah itu tidak lagi diketahui jejaknya. Yang didengar tentara Jepang terus memburu para pemberontak," papar Nuh menjelaskan.
Nuh lupa kapan waktunya secara pasti. Setelah itu musibah pun datang. Berawal dari penangkapan salah seorang pengikut Syodanco Soeprijadi di Kediri. Jepang awalnya sulit menghabisi, karena anak buah Soeprijadi memiliki kain rajah bahasa Arab yang diikatkan pada perut. Ketika dikorek, ia mengaku mendapat jimat itu dari seorang kiai di Blitar.