Kisah Tenganan, Desa Terkuno di Bali yang Tidak Mengenal Nyepi

Minggu, 07 Maret 2021 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Tenganan, Desa Terkuno di Bali yang Tidak Mengenal Nyepi
Suasana di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali Timur. Foto/Ist
A A A
Tak lama lagi, umat Hindu Bali akan merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1943 yang jatuh pada 14 Maret 2020. Namun di Desa Tenganan, umat Hindu setempat tidak ikut merayakan. Konon, desa ini menggambarkan budaya Bali sesungguhnya.



Desa Tenganan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali Timur. Tenganan adalah desa tradisional yang mendapatkan sebutan ‘Bali Aga’ atau ‘Bali Asli’. Nama Tenganan berasal dari kata ‘tengah’ atau ‘ngatenghang’, atau kurang lebih bermakna pindah ke tengah.


Asal nama Desa Tenganan dapat dihubungkan dengan cerita Raja Bedahulu Mayadenawa yang sangat sakti, tapi bersifat sombong dan tinggi hati. Pada masa pemerintahannya semua orang Desa Peneges di wilayah kerajaan Bedahulu dilarang melaksanakan upacara keagamaan maupun persembahyangan ke Pura Besakih.

Kisah Tenganan, Desa Terkuno di Bali yang Tidak Mengenal Nyepi


Keadaan inilah yang membuat para dewa di sorga marah dengan kelakuan Mayadenawa. Untuk memerangi sang raja yang amat sakti itulah Bhatara Indra turun ke dunia. Dalam peperangan inilah Raja Mayadenawa dikalahkan oleh Bhatara Indra.

Kemenangan atas wafatnya Mayadenawa dirayakan oleh warga Peneges. Di mana Bhatara Indra memerintahkan kepada warga Peneges untuk kembali melaksanakan persembahyangan ke Pura Besakih.

Upacara kemenangan ini diberi namaAsua Medayadnyayaitu upacara kurban(caru) menggunakan seekor kuda berbulu putih bernama Onceswara.

Kisah Tenganan, Desa Terkuno di Bali yang Tidak Mengenal Nyepi


Ketika upacara akan dilaksanakan mendadak kuda Onceswara mendadak hilang. Bhatara Indra memerintahkan semua warga Peneges untuk mencari kuda tersebut. Warga Penegea berhasil menemukan kuda tersebut tetapi dalam keadaan mati. Mereka sangat berduka karena kuda Onceswara sudah mati.

Bhatara Indra mengetahui keadaan ini dan bersabda“Orang Peneges janganlah bersedih, walaupun kuda Onceswara kalian temukan dalam keadaan mati aku akan membalas jasa-jasamu. Untuk itu aku menganugrahkan daerah ini untuk kalian. Mengenai luas wilayah samapai batas terciumnya bangkai kuda Onceswara”.

Mendengar sabda itu warga Peneges lalu memotong-motong bangkai kuda tersebut serta membuang potongan-potongan kuda ke segala arah yang berjauhan, sehingga dengan demikian bisa lebih luas menguasai daerah itu.

Keadaan itu dapat kita lihat sampai kini dengan adanya peninggalan-peninggalan megalitik yang oleh masyarakat setempat dianggap tempat suci.

Kakidukun. Tempat ini terdapat di bukit bagian utara Desa Tenganan Pegringsingan. Merupakan bentuk yang menyerupai phallus (kemaluan) kuda dalam keadaan tegak. Menurut anggapan masyarakat setempat, apabila ada sepasang suami istri belum memperoleh keturunan dalam perkawinannya maka mereka mohon ke tempat sucikakidukun, agar bisa mempunyai keturunan.

Batu TaikikatauBatu Talikik. Tempat ini juga terdapat di bukit bagian utara dandianggap sebagai bekas isi perut atau kotoran kuda Onceswara. Upacara yang dilaksanakan di sini dengan tujuan memohon kemakmuran.

Penimbalan. Tempat ini terdapat di bukit bagian barat desa yang oleh masyarakat setempat dianggap sebgai bekas pahanya kuda. Upacara yang dilaksanakan di tempat ini berkaitan dengan upacara untukTeruna Nyoman.

Batu Jaran. Tempat suci ini terdapat di bagian utara yang dianggap sebagai bekas matinya kuda Onceswara.

Sejak diberikan hak untuk mendiami wilayah seperti yang sudah ditentukan tersebut maka warga Peneges membangun sebuah desa di antara tiga buah bukit yaitubukit kangin(timur),bukit kauh(barat) danbukit kaja(utara). Karena letak desa di antara tiga buah bukit maka desa ini disebutTengahan. Dalam perkembangan selanjutnya menjadiTenganan.

Penduduk Desa Tenganan yang berjumlah 4.627 jiwa masih memegang teguh adat istiadat tradisional Bali, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ritual beragama. Hanya penduduk Bali Aga yang boleh menetap di desa seluas 9,5 kilometer persegi ini.

Para warga yang meninggalkan desa tidak akan diperkenankan kembali. Hal ini juga berlaku untuk pasangan para warga asli yang menikah dengan warga luar desa. Aturan ini dikenal dengan namaawig-awig.

Tidak seperti umat Hindu Bali umumnya, warga Desa Tenganan tidak merayakan Nyepi, Galungan dan Kuningan. Sebagai desa Bali Aga, wilayah ini tidak mendapat pengaruh dari Kerajaan Majapahit. Meski demikian, selama Hari Raya Nyepi, orang-orang di Tenganan akan tetap beraktivitas seperti biasanya dengan api menyala. Namun untuk menghormati warga Bali lainnya, mereka membatasi diri dengan tidak melakukan aktivitas di luar desa.

Warga Tenganan juga tidak mengenal ngaben, upacara kremasi orang setelah meninggal. Bila ada warga yang meninggal jasadnya langsung dikubur di hari yang sama saat kematiannya dan tidak menunggu hari baik, karena manusia lahir juga tidak mengenal waktu. Kuburan desa juga lebih luas dari kuburan desa lainya.

Rumah warga hingga kini masih mempertahankan arsitektur Bali kuno. Pembangunannya pun harus sesuai awig-awig, tidak boleh asal buat, karena tanah mereka yang tempat juga adalah hak milik desa. Dengan luas yang sama bentuk bangunan, strukturnya mirip bahkan susunan bahannya hampir sama.

Kayu yang dipakai untuk membangun rumah juga tidak sembarangan. Saat menebang kayu, mereka harus melapor terlebih dahulu kepada tetua adat, sebelum melakukan penebangan. Kayu yang bisa dinyatakan bisa ditebang jika kayu tersebut dinyatakan 3/4 dari bagian pohon sudah mati, itupun harus melibatkan lima orang saksi untuk meyakinkan kebenaran kondisi kayu tersebut. Keunikan tata cara ini sanggup melestarikan lingkungan desa.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1887 seconds (0.1#10.140)