Ada Guguran Awan Panas Dari Puncak Semeru, Warga Diminta Waspada
loading...
A
A
A
MALANG - Guguran awan panas kembali terjadi dari puncak Gunung Semeru. Luncurannya mencapai sejauh 2 km dari kawah Jonggring Saloko, menuju ke arah Besuk Bang, yang ada di wilayah Kabupaten Lumajang.
Berdasarkan laporan dari Pos Patau Gunung Api Semeru di Gunung Sawur, Kabupaten Lumajang, guguran awan panas dari puncak gunung api yang memiliki ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini, terjadi pada Juat (17/4/2020) pagi, sekitar pukul 06.00 WIB.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Semeru, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Liswanto mengatakan, guguran awan panas tersebut terjadi akibat kondisi lidah lava yang tidak stabil.
"Status Gunung Semeru, masih tetap berada di level II atau waspada. Guguran awan panas yang terjadi hari ini, akibat tidak stabilnya lidah lava yang ada di bibir kawah Jonggring Saloko. Sejauh ini belum membahayakan masyarakat, karena jarak luncurnya masih jauh dari permukiman," tuturnya, Jumat (17/4/2020).
Dia menyebutkan, selama periode 1-16 April 2020 aktivitas didominasi oleh guguran lava dan erupsi tidak menerus. Erupsi menghasilkan kolom berwarna kelabu setinggi 400-600 meter di atas puncak berwarna kelabu.
Saat tidak terjadi erupsi, teramati hembusan gas dari kawah Jonggring Seloko, berwarna putih kelabu dengan tinggi 200-400 meter di atas puncak. Aktivitas guguran lava pijar teramati ke arah Besuk Bang, Besuk Kobokan, dan Besuk Kembar, dengan jarak luncur 500-1000 meter dari pusat guguran. Sinar api diam teramati setinggi 10-20 meter dari Kawah Jonggring Seloko.
Aktivitas kegempaan Gunung Semeru, selama periode 1-16 April 2020, masih tinggi. Didominasi oleh jenis gempa letusan, guguran, dan hembusan. Gempa letusan rata-rata terekam 25 kejadian per hari, gempa hembusan 19 kejadian per hari, dan gempa guguran enam kejadian per hari.
Jumlah gempa guguran meningkat sejak 5 April 2020, sedangkan gempa letusan meningkat sejak 8 April 2020. Selain itu, terekam gempa-gempa vulkanik (Tremor Harmonik, Tremor Non Harmonik, Vulkanik Dangkal, dan Vulkanik Dalam) dalam jumlah yang tidak signifikan. Pada Jumat (17/4/2020) terekam gempa awan panas guguran dengan amplitudo maksimum 7 mm dan lama gempa 300 detik.
Masyarakat diimbau lebih waspada terhadap bahaya skunder dari Gunung Semeru, utamanya saat masih sering terjadi hujan di kawasan puncak, dan material vulkanik menumpuk di puncak.
Sewaktu-waktu material vulkanik tersebut bisa meluncur ke bawah, melalui aliran-aliran sungai yang berhulu di kawasan Gunung Semeru, akibat adanya hujan deras di kawasan puncak. "Sejak tahun 2010, di kawah Jonggring Seloko, yang merupakan kawah termuda Gunung Semeru, terus mengalami fase pembentukan kubah lava," terang Liswanto.
Saat ini material vulkanik yang terbentuk sejak tahun 2010 tersebut, diperkirakan telah mencapai lebih dari 100 juta meter kubik. "Pada awal pemantauan yang kami lakukan tahun 2010, baru terbentuk kubah lava sekitar 5 meter kubik. Kubah lava tersebut terus tumbuh, dan tahun 2017 kami amati sudah mencapai sekitar 100 juta meter kubik," tuturnya.
Material vulkanik ini kondisinya labil, sehingga ketika terjadi dorongan energi dari dalam kawah gunung, atau terkena gerusan air hujan dengan intensitas tinggi, bisa runtuh dan meluncur ke bawah menjadi lahar hujan.
Selain lahar hujan, bahaya bencana skunder yang perlu diwaspadai dari Gunung Semeru, menurut Liswanto adalah semburan material vulkanik yang dipicu oleh dorongan energi dari dalam kawah.
"Material vulkanik ini bisa mengganggu jalur penerbangan pesawat dari Bandara Abdulrachman Saleh Malang, karena sebaran material vulkaniknya berada di kawasan jalur penerbangan. Ini yang selalu kami pantau dan waspadai, demi keselamatan penerbangan," ungkapnya.
Pria yang sudah 25 tahun bertugas mengamati gunung api tersebut menjelaskan, keberadaan tumpukan material vulkanik di sekitar kawah tersebut bisa juga menimbulkan sumbatan pada saluran magma dari dalam kawah.
"Apabila terjadi sumbatan dan ada dorongan energi yang besar dari dalam kawah, dikawatirkan akan memicu munculnya pergerakan magma menembus celah batuan yang lebih muda di sekitar kawah," terang pria asli Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.
Dia menyebutkan, dalam sejarahnya kawah Gunung Semeru terus berpindah-pindah. Pada awalnya, kawah berada di wilayah Ayeg-ayeg, lalu Kalimati, terus berpindah ke Mahameru, dan saat ini berada di Jonggring Seloko.
Periode perpindahannya, diakuinya belum pernah diketahui berapa ratus tahun terjadinya. Yang pasti, kawah Jonggring Salaka sebagai kawah termuda usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Pada tahun 1941, dia menyebutkan, sempat terjadi letusan magma di kawah baru, yang dikenal masyarakat sebagai Kawah Kemerling. Letusan magma ini terjadi di bawah Kawah Jonggring Seloko, dan berjarak sekitar 4 km dari permukiman warga.
Potensi bahaya bencana alam lainnya dari Gunung Semeru, yang memiliki tipe letusan stombolian dengan kubah lava tersebut, menurut Liswanto adalah adanya guguran awan panas dari puncak gunung. "Tahun 1994 luncuran awan panas mencapai 14 km dari puncak, sementara tahun 2006 mencapai sejauh 4 km dari puncak," ungkapnya.
Sementara itu menurut Kepala Sub Bagian Data Evaluasi Lapangan dan Kehumasan, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Sarif Hidayat, telah melaporkan perkembangan kondisi yang terjadi di puncak Gunung Semeru, kepada petugas lapangan di Pronojiwo, agar proaktif menanggapi informasi yang disampaikan Pos Pantau Gunung Apri Semeru.
"Petugas di lapangan, diminta untuk menyosialisasikan kondisi Gunung Semeru, agar masyarakat tetap tenang namun selalu waspada, sehingga bisa meminimalisir potensi korban akibat bencana skunder. Terutama lokasi sekitar Besuk Kembar, Besuk Kobokan, dan Besuk Bang," tuturnya.
Berdasarkan laporan dari Pos Patau Gunung Api Semeru di Gunung Sawur, Kabupaten Lumajang, guguran awan panas dari puncak gunung api yang memiliki ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini, terjadi pada Juat (17/4/2020) pagi, sekitar pukul 06.00 WIB.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Semeru, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Liswanto mengatakan, guguran awan panas tersebut terjadi akibat kondisi lidah lava yang tidak stabil.
"Status Gunung Semeru, masih tetap berada di level II atau waspada. Guguran awan panas yang terjadi hari ini, akibat tidak stabilnya lidah lava yang ada di bibir kawah Jonggring Saloko. Sejauh ini belum membahayakan masyarakat, karena jarak luncurnya masih jauh dari permukiman," tuturnya, Jumat (17/4/2020).
Dia menyebutkan, selama periode 1-16 April 2020 aktivitas didominasi oleh guguran lava dan erupsi tidak menerus. Erupsi menghasilkan kolom berwarna kelabu setinggi 400-600 meter di atas puncak berwarna kelabu.
Saat tidak terjadi erupsi, teramati hembusan gas dari kawah Jonggring Seloko, berwarna putih kelabu dengan tinggi 200-400 meter di atas puncak. Aktivitas guguran lava pijar teramati ke arah Besuk Bang, Besuk Kobokan, dan Besuk Kembar, dengan jarak luncur 500-1000 meter dari pusat guguran. Sinar api diam teramati setinggi 10-20 meter dari Kawah Jonggring Seloko.
Aktivitas kegempaan Gunung Semeru, selama periode 1-16 April 2020, masih tinggi. Didominasi oleh jenis gempa letusan, guguran, dan hembusan. Gempa letusan rata-rata terekam 25 kejadian per hari, gempa hembusan 19 kejadian per hari, dan gempa guguran enam kejadian per hari.
Jumlah gempa guguran meningkat sejak 5 April 2020, sedangkan gempa letusan meningkat sejak 8 April 2020. Selain itu, terekam gempa-gempa vulkanik (Tremor Harmonik, Tremor Non Harmonik, Vulkanik Dangkal, dan Vulkanik Dalam) dalam jumlah yang tidak signifikan. Pada Jumat (17/4/2020) terekam gempa awan panas guguran dengan amplitudo maksimum 7 mm dan lama gempa 300 detik.
Masyarakat diimbau lebih waspada terhadap bahaya skunder dari Gunung Semeru, utamanya saat masih sering terjadi hujan di kawasan puncak, dan material vulkanik menumpuk di puncak.
Sewaktu-waktu material vulkanik tersebut bisa meluncur ke bawah, melalui aliran-aliran sungai yang berhulu di kawasan Gunung Semeru, akibat adanya hujan deras di kawasan puncak. "Sejak tahun 2010, di kawah Jonggring Seloko, yang merupakan kawah termuda Gunung Semeru, terus mengalami fase pembentukan kubah lava," terang Liswanto.
Saat ini material vulkanik yang terbentuk sejak tahun 2010 tersebut, diperkirakan telah mencapai lebih dari 100 juta meter kubik. "Pada awal pemantauan yang kami lakukan tahun 2010, baru terbentuk kubah lava sekitar 5 meter kubik. Kubah lava tersebut terus tumbuh, dan tahun 2017 kami amati sudah mencapai sekitar 100 juta meter kubik," tuturnya.
Material vulkanik ini kondisinya labil, sehingga ketika terjadi dorongan energi dari dalam kawah gunung, atau terkena gerusan air hujan dengan intensitas tinggi, bisa runtuh dan meluncur ke bawah menjadi lahar hujan.
Selain lahar hujan, bahaya bencana skunder yang perlu diwaspadai dari Gunung Semeru, menurut Liswanto adalah semburan material vulkanik yang dipicu oleh dorongan energi dari dalam kawah.
"Material vulkanik ini bisa mengganggu jalur penerbangan pesawat dari Bandara Abdulrachman Saleh Malang, karena sebaran material vulkaniknya berada di kawasan jalur penerbangan. Ini yang selalu kami pantau dan waspadai, demi keselamatan penerbangan," ungkapnya.
Pria yang sudah 25 tahun bertugas mengamati gunung api tersebut menjelaskan, keberadaan tumpukan material vulkanik di sekitar kawah tersebut bisa juga menimbulkan sumbatan pada saluran magma dari dalam kawah.
"Apabila terjadi sumbatan dan ada dorongan energi yang besar dari dalam kawah, dikawatirkan akan memicu munculnya pergerakan magma menembus celah batuan yang lebih muda di sekitar kawah," terang pria asli Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.
Dia menyebutkan, dalam sejarahnya kawah Gunung Semeru terus berpindah-pindah. Pada awalnya, kawah berada di wilayah Ayeg-ayeg, lalu Kalimati, terus berpindah ke Mahameru, dan saat ini berada di Jonggring Seloko.
Periode perpindahannya, diakuinya belum pernah diketahui berapa ratus tahun terjadinya. Yang pasti, kawah Jonggring Salaka sebagai kawah termuda usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Pada tahun 1941, dia menyebutkan, sempat terjadi letusan magma di kawah baru, yang dikenal masyarakat sebagai Kawah Kemerling. Letusan magma ini terjadi di bawah Kawah Jonggring Seloko, dan berjarak sekitar 4 km dari permukiman warga.
Potensi bahaya bencana alam lainnya dari Gunung Semeru, yang memiliki tipe letusan stombolian dengan kubah lava tersebut, menurut Liswanto adalah adanya guguran awan panas dari puncak gunung. "Tahun 1994 luncuran awan panas mencapai 14 km dari puncak, sementara tahun 2006 mencapai sejauh 4 km dari puncak," ungkapnya.
Sementara itu menurut Kepala Sub Bagian Data Evaluasi Lapangan dan Kehumasan, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Sarif Hidayat, telah melaporkan perkembangan kondisi yang terjadi di puncak Gunung Semeru, kepada petugas lapangan di Pronojiwo, agar proaktif menanggapi informasi yang disampaikan Pos Pantau Gunung Apri Semeru.
"Petugas di lapangan, diminta untuk menyosialisasikan kondisi Gunung Semeru, agar masyarakat tetap tenang namun selalu waspada, sehingga bisa meminimalisir potensi korban akibat bencana skunder. Terutama lokasi sekitar Besuk Kembar, Besuk Kobokan, dan Besuk Bang," tuturnya.
(eyt)