Margaretha Mala, Milenial Tana Bentarum Pelestari Pewarna Alami Tenun Dayak Iban
loading...
A
A
A
KAPUAS HULU - Aktivitas menenun kain yang biasa dilakoni perempuan Indonesia zaman dulu, kini bisa dikatakan sudah dilupakan oleh generasi muda sekarang ini. Perkembangan zaman yang kian canggih perlahan turut menggerus kearifan lokal bernilai seni tinggi tersebut.
Di tengah situasi memprihatinkan itu, ada secercah asa sejak munculnya sosok Margaretha Mala. Perempuan dari Dusun Sadap, Desa Menua Sadap, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini, ternyata mau belajar dan mengajarkan cara menenun kepada generasi di bawahnya.
(baca juga: 5 Fakta Menarik tentang Danau Sentarum, Kapuas Hulu yang Perlu Diketahui )
Di samping memang menyukai tenun tradisional, Margaretha Mala menganggap hal ini juga sebagai wujud kepedulian dirinya dalam melestarikan tradisi leluhur sukunya, yakni Dayak Iban.
Dan, ketekunan dan konsistensi Margaretha dalam melestarikan tradisi menenun ini pun berbuah manis. Ibu-ibu dan remaja putri di dusunnya akhirnya kembali menyukai tenun. Tak hanya itu, pada 27 November kemarin, Margaretha bahkan dianugerahi penghargaan kategori Tunas Kehati di ajang Kehati Award 2020.
Kehati Award merupakan penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Kehati kepada perorangan atau kelompok remaja nusantara atau mahasiswa. Peraih penghargaan ini sebagai tunas harapan dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia di masa yang akan datang.
(baca juga: Tiga Desa di Kapuas Hulu Sabet Gelar Proklim Utama 2020 )
Untuk diketahui, Margaretha Mala juga turut andil dalam pelestarian atau konservasi tumbuhan pewarna alam sebagai bahan untuk mewarnai benang tenun. Bersama ibu–ibu dan remaja putri Dusun Sadap, Margaretha bahkan ikut serta dalam kegiatan penanaman tanaman pewarna alam di Kebun Etnobotani Dusun Sadap.
Adapun program ini, sudah sejak 2018 dirintis oleh Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (Tana Bentarum). Makanya, prestasi yang diraih Margaretha ini turut mengharumkan nama Tana Bentarum di kancah dunia konservasi tanah air.
Patut diakui, misi Margaretha Mala untuk menjaga kelestarian budaya dan tradisi luhur nenek moyang dalam penggunaan pewarna alami untuk wastra atau kain tradisional secara lestari, sungguh sangat luar biasa.
Bahkan, sebagai Wakil Ketua Kelompok Pengrajin Tenun Sadap, ia mampu mendorong ibu–ibu dusun Sadap untuk terus menggunakan pewarna alami. Selain bahannya mudah didapat, penggunaan pewarna alami untuk kain tenun juga menghindari pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah kimia.
Bagi Margaretha sendiri, penghargaan yang diraihnya sebagai pemantik semangatnya untuk terus melakukan upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia. Dan ia pun berharap semoga tradisi menenun dengan pewarna alami ini dapat terus dilestarikan dan digemari oleh generasi muda.
“Saya akan terus mengajak dan mengajarkan warisan leluhur Dayak Iban berupa tradisi menenun kain ini kepada generasi muda. Saya juga akan terus melakukan penanaman tanaman pewarna alami agar tetap lestari dan bumi menjadi asri”, ungkap milenial Tana Bentarum yang akrab disapa Kak Mala ini.
Sebagai generasi yang melek teknologi, Margaretha juga berperan sebagai fasilitator ibu–ibu pengrajin tenun dusun Sadap untuk mempromosikan dan menjual kain tenun kepada pembeli dari luar, melalui media sosial. Bahkan, salah satu pembelinya adalah Ibu Mira Widiono, Ketua Perhimpunan Pewarna Alam Nasional (Warlami).
Yang mencengangkan, tercatat pada Oktober 2020 kemarin, hasil penjualan kain tenun berbagai macam motif karya ibu – ibu dusun Sadap terjual hingga Rp13.400.000. Harga yang cukup fantastis di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini.
“Ini (prestasi dan penghargaan yang diraih Margaretha Mala) sebagai bukti bahwa menjaga tradisi leluhur bisa beriringan dengan upaya konservasi alam yang sedang digalakkan dewasa ini,” kata Kepala Balai Besar Tana Bentarum Arief Mahmud.
Arief pun berharap prestasi yang diraih Margaretha Mala ini dapat ditularkan kepada generasi muda lainnya. “Ini agar tradisi menenun dan konservasi tumbuhan pewarna alam bisa terus lestari,” pungkas Arief.
Di tengah situasi memprihatinkan itu, ada secercah asa sejak munculnya sosok Margaretha Mala. Perempuan dari Dusun Sadap, Desa Menua Sadap, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini, ternyata mau belajar dan mengajarkan cara menenun kepada generasi di bawahnya.
(baca juga: 5 Fakta Menarik tentang Danau Sentarum, Kapuas Hulu yang Perlu Diketahui )
Di samping memang menyukai tenun tradisional, Margaretha Mala menganggap hal ini juga sebagai wujud kepedulian dirinya dalam melestarikan tradisi leluhur sukunya, yakni Dayak Iban.
Dan, ketekunan dan konsistensi Margaretha dalam melestarikan tradisi menenun ini pun berbuah manis. Ibu-ibu dan remaja putri di dusunnya akhirnya kembali menyukai tenun. Tak hanya itu, pada 27 November kemarin, Margaretha bahkan dianugerahi penghargaan kategori Tunas Kehati di ajang Kehati Award 2020.
Kehati Award merupakan penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Kehati kepada perorangan atau kelompok remaja nusantara atau mahasiswa. Peraih penghargaan ini sebagai tunas harapan dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia di masa yang akan datang.
(baca juga: Tiga Desa di Kapuas Hulu Sabet Gelar Proklim Utama 2020 )
Untuk diketahui, Margaretha Mala juga turut andil dalam pelestarian atau konservasi tumbuhan pewarna alam sebagai bahan untuk mewarnai benang tenun. Bersama ibu–ibu dan remaja putri Dusun Sadap, Margaretha bahkan ikut serta dalam kegiatan penanaman tanaman pewarna alam di Kebun Etnobotani Dusun Sadap.
Adapun program ini, sudah sejak 2018 dirintis oleh Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (Tana Bentarum). Makanya, prestasi yang diraih Margaretha ini turut mengharumkan nama Tana Bentarum di kancah dunia konservasi tanah air.
Patut diakui, misi Margaretha Mala untuk menjaga kelestarian budaya dan tradisi luhur nenek moyang dalam penggunaan pewarna alami untuk wastra atau kain tradisional secara lestari, sungguh sangat luar biasa.
Bahkan, sebagai Wakil Ketua Kelompok Pengrajin Tenun Sadap, ia mampu mendorong ibu–ibu dusun Sadap untuk terus menggunakan pewarna alami. Selain bahannya mudah didapat, penggunaan pewarna alami untuk kain tenun juga menghindari pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah kimia.
Bagi Margaretha sendiri, penghargaan yang diraihnya sebagai pemantik semangatnya untuk terus melakukan upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia. Dan ia pun berharap semoga tradisi menenun dengan pewarna alami ini dapat terus dilestarikan dan digemari oleh generasi muda.
“Saya akan terus mengajak dan mengajarkan warisan leluhur Dayak Iban berupa tradisi menenun kain ini kepada generasi muda. Saya juga akan terus melakukan penanaman tanaman pewarna alami agar tetap lestari dan bumi menjadi asri”, ungkap milenial Tana Bentarum yang akrab disapa Kak Mala ini.
Sebagai generasi yang melek teknologi, Margaretha juga berperan sebagai fasilitator ibu–ibu pengrajin tenun dusun Sadap untuk mempromosikan dan menjual kain tenun kepada pembeli dari luar, melalui media sosial. Bahkan, salah satu pembelinya adalah Ibu Mira Widiono, Ketua Perhimpunan Pewarna Alam Nasional (Warlami).
Yang mencengangkan, tercatat pada Oktober 2020 kemarin, hasil penjualan kain tenun berbagai macam motif karya ibu – ibu dusun Sadap terjual hingga Rp13.400.000. Harga yang cukup fantastis di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini.
“Ini (prestasi dan penghargaan yang diraih Margaretha Mala) sebagai bukti bahwa menjaga tradisi leluhur bisa beriringan dengan upaya konservasi alam yang sedang digalakkan dewasa ini,” kata Kepala Balai Besar Tana Bentarum Arief Mahmud.
Arief pun berharap prestasi yang diraih Margaretha Mala ini dapat ditularkan kepada generasi muda lainnya. “Ini agar tradisi menenun dan konservasi tumbuhan pewarna alam bisa terus lestari,” pungkas Arief.
(end)