Kisah Mbah Manshur, Penyepuh Bambu Runcing Bertuah dalam Pertempuran 10 November

Selasa, 10 November 2020 - 20:03 WIB
loading...
Kisah Mbah Manshur, Penyepuh Bambu Runcing Bertuah dalam Pertempuran 10 November
Kiai Muhammad Hisyam Manshur atau Mbah Hisyam, satu satunya putra Mbah Manshur asal Kalipucung, Sanankulon, Kabupaten Blitar yang masih hidup. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
A A A
BLITAR - Bambu runcing yang berada di tangan para pejuang 10 November 1945 itu, seperti bernyawa. Sebelum bedil tentara sekutu diletuskan, bambu kuning berujung lancip yang disuwuk (diberi doa) Mbah Manshur asal Desa Kalipucung, Kecamatan, Sanankulon, Kabupaten Blitar , tiba tiba melesat. Bambu runcing itu terbang sendiri memburu sasarannya.

"Banyak yang cerita seperti itu (bambu runcing terbang sendiri) dalam pertempuran 10 November di Surabaya," tutur Kiai Muhammad Hisyam Manshur (82) atau Mbah Hisyam kepada SINDOnews. Mbah Hisyam merupakan putra bungsu Mbah Manshur. Di kalangan santri dan ulama pejuang 10 November, bambu runcing sepuhan Mbah Manshur banyak diperbincangkan. (Baca juga: Perjuangan Heroik Mbah Min, Dapat Tugas Mengintai Kekuatan Militer Belanda)
Kisah Mbah Manshur, Penyepuh Bambu Runcing Bertuah dalam Pertempuran 10 November

"Saat itu (10 November) saya berumur sekitar tujuh tahun. Masih duduk di SR (sekolah rakyat). Namun melihat langsung orang orang yang ingin bertemu bapak saya (Mbah Manshur)," kata Mbah Hisyam. Perang melawan tentara Inggris yang diboncengi Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia, dimulai pada akhir Oktober 1945. (Baca juga: Enam Tokoh Ini Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional)

Puncaknya 10 November 1945. Inggris yang marah atas kematian Jendral AWS Mallaby, membombardir Surabaya hingga luluh lantak. Catatan Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an, menyebut, jumlah penduduk Surabaya yang pada tahun 1945 sebanyak 618.369 jiwa, dalam waktu 10 bulan menyusut tajam. Selain terbunuh dalam perang, warga Surabaya secara bergelombang berbondong bondong mengungsi ke pedalaman.

"Jumlah penduduk kota merosot tajam. Pada 23 Agustus 1946, jumlah penduduk kota hanya berjumlah 171.715 orang". Sementara para santri dari berbagai daerah, termasuk di Blitar, justru beramai ramai mempersiapkan diri berjihad ke Surabaya. Di pekarangan halaman rumah Mbah Manshur yang kini berdiri bangunan madrasah tarbiyatul mubalighin dan TPA Nurul Huda Kalipucung, orang-orang pada berkumpul.

Saat itu, kata Mbah Hisyam, yang datang silih berganti. Sebagian besar dari kalangan santri, yakni terutama Nahdliyin. Kemudian para tentara Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Termasuk di luar santri atau abangan, juga ikut berdatangan. Mereka, kata Mbah Hisyam terlecut oleh Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) yang dikeluarkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.

"Semuanya minta digembleng Mbah Manshur sebelum berangkat ke Surabaya. Banyak juga yang menginap berhari hari," papar Mbah Hisyam. Mbah Manshur adalah putra Mbah Abu Manshur, yakni salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang pasca Perang Jawa (1825-1830) dikejar kejar Belanda dan memutuskan lari ke wilayah timur (Jawa Timur).

Merunut dari silsilah keluarga, ayah Mbah Manshur (Mbah Abu Manshur) atau kakek Mbah Hisyam merupakan keturunan Kiai Nur Iman alias Raden Mas Sandiyo, yakni trah Raja Mataram Islam yang mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Mlangi, konon berasal dari kata "Mulangi" yang berarti mengajar. "Terbilang masih cucu Mbah Nur Iman," jelas Mbah Hisyam.

Sebagai keturunan ulama pejuang, Mbah Manshur yang bernama kecil Yasin tersebut, banyak menghabiskan waktu di pondok pesantren. Di masa mudanya berpindah dari satu ponpes ke ponpes lain. Menurut Mbah Hisyam, ayahnya (Mbah Manshur) merupakan santri Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari Ponpes Tebuireng Jombang, kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Bersama Mbah Sholeh, kakak sulungnya, Mbah Manshur juga pernah nyantri ke Mbah Cholil (KH Syaikhona Cholil) Bangkalan Madura. Kata Mbah Hisyam, ada cerita lucu saat kakak beradik itu pertama kali menginjakkan kaki di pondok Mbah Cholil Bangkalan Madura. Keduanya langsung dikepung, dan dalam situasi menegangkan itu, Mbah Cholil mengatakan : "malinge wes dikepung (malingnya sudah dikepung".

"Ternyata bahasa kiasan. Yang dimaksud Mbah Cholil adalah maling ilmu," terang Mbah Hisyam dengan tertawa. Dalam perjalanan riyadhahnya (tirakat), Mbah Manshur juga pernah mondok di Ponpes Mojosari, Nganjuk yang didirikan KH Ali Imron. Seingat Mbah Hisyam, ayahnya juga pernah nyantri di Ponpes Tremas, Pacitan. "InsyaAllah juga pernah nyantri di Ponpes Tremas, Pacitan," tambah Mbah Hisyam.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7301 seconds (0.1#10.140)