Buruh Desak UMP Jabar Naik 8%, Kadisnakertrans: Apa Dasarnya?

Sabtu, 31 Oktober 2020 - 16:09 WIB
loading...
Buruh Desak UMP Jabar Naik 8%, Kadisnakertrans: Apa Dasarnya?
Kadisnakertrans Jabat, Rachmat Taufik Garsadi. SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Pemprov Jabar telah memutuskan dan mengumumkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2021 tidak naik atau sama dengan UMP tahun 2020 sebesar RpRp1.810.351,36.

Keputusan tersebut bertolak belakang dengan tuntutan buruh dan pekerja di Jabar yang mendesak Pemprov Jabar menaikkan UMP Jabar tahun 2021 minimal 8% untuk dijadikan acuan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menentukan upah minimum kabupaten/kota (UMK). (Baca juga: Sebelum Tewas Ditikam, Ketua RT Tersinggung Anak dan Istrinya Dihina Pelaku)

Bahkan, desakan tersebut sempat disuarakan buruh dan pekerja di Jabar melalui aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, bertepatan dengan rapat pleno penentuan UMP Jabar tahun 2021 yang dilaksanakan Dewan Pengupahan Provinsi Jabar, Selasa (27/10/2020) lalu. (Baca juga: Usai Bawa Jenazah Ibu Kandung Naik Motor, Pelaku Pinjam Cangkul untuk Gali Makam)

Menanggapi desakan buruh tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar, Rachmat Taufik Garsadi menyatakan, pihaknya pun sebenarnya menginginkan besaran UMP Jabar tahun 2021 naik.

Menurutnya, disparitas upah di Provinsi Jabar sangat tinggi. Dia mencontohkan, di Kabupaten Karawang, UMK-nya mencapai Rp4,6 juta sekaligus menjadi UMK tertinggi di Indonesia. Namun, di daerah lainnya, seperti Pangandaran, Kota Banjar, dan Ciamis di kisaran Rp1,8 juta yang juga menjadi UMK yang hampir terendah di Indonesia.

"Disparitas ini sangat tinggi. Itu warisan dulu lah, 2011-2016 sebelum keluar PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 78. Nah, kita ingin menaikkan, tapi apa dasar (hukum)-nya?," ujar Taufik sesuai konferensi pers di Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (31/10/2020).

Taufik menjelaskan bahwa keputusan tidak menaikkan UMP Jabar 2021 didasari dua alasan yang mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015. Pertama, lima tahun setelah ditetapkan PP tersebut harus ada pengesahan aturan terkait kebutuhan hidup layak (KHL).

Aturan terkait KHL ini terdapat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2020 dimana Dewan Pengupahan Provinsi harus segera menetapkan KHL berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2020 ini. "Namun, sampai dengan tanggal 27 (Oktober) rapat dewan pengupahan, data ini belum dirilis," ujar Taufik.

Alasan kedua, PP Nomor 78 Tahun 2015 juta mengatur tentang formulasi penetapan UMP, yakni UMP tahun berjalan dikalikan penambahan inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. "Nah, sampai saat ini kami belum menerima rilis data inflasi untuk triwulan ketiga dari BPS," katanya.

Menurutnya, jika UMP Jabar tahun 2021 dipaksakan harus naik, maka hal itu bertentangan dengan aturan yang tercantum dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dia menekankan, jika dasar hukum itu dilanggar, masyarakat Jabar pun bakal terkena sanksi. "Kita gak punya dasar hukum untuk menaikkan UMP. Jika dilanggar, Gubernur (Jabar) bakal kena sanksi. Bukan hanya Gubernur, tapi juga masyarakat Jabar," katanya.

Oleh karenanya, Taufik meminta masyarakat, khususnya kaum buruh dan pekerja memahami keputusan yang diambil Pemprov Jabar demi kondusivitas dunia usaha di Jabar, khususnya di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini.

"Yang juga kita khawatirkan, jika UMP kita naikkan tanpa dasar hukum, bakal banyak perusahaan yang hengkang dari Jabar. Ujung-ujungnya, pengangguran bakal bertambah banyak," katanya.

Taufik menambahkan, semua pihak harus memahami bahwa UMP hanyalah batas bawah penetapan UMK yang direkomendasikan Pemprov Jabar. UMP menjadi acuan batas bawah UMK yang bakal ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

"Perlu diingat bahwa UMP ini bukan operasional dan hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Ini yang banyak tidak disadari. Jika pekerja punya masa kerja lebih lama, tentu besaran upahnya pun lebih tinggi," tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto Ferianto dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Selasa (27/10/2020) lalu menyatakan, pandemi COVID-19 yang dijadikan alasan pemerintah tidak menaikkan upah sebagai alasan yang tidak masuk akal.

"Ini sejarah di negeri ini, ada menteri bilang upah tidak naik. Semua negara kena pandemi, COVID bulan alasan untuk tidak menaikan upah," tegas.

Oleh karenanya, Roy menegaskan, buruh di Jabar menolak UMP 2021 yang diputuskan tidak naik atau sama dengan UMP 2020 karena alasan pandemi COVID-19 dan mendesak Gubernur Jabar, Ridwan Kamil untuk menaikkan UMP Jabar 2021 minimal 8%.

"Hai Pak gubernur, UMP bukan tanggung jawab Presiden, bukan tanggung jawab Menteri. Makanya, kita minta kepada Gubernur Jabar menaikan upah minimum minimal 8 persen seperti tahun lalu," tegas Roy.

Roy memaparkan alasan pihaknya menuntut kenaikan upah. Pertama, kata Roy, pemerintah mengakui bahwa upah buruh di Indonesia masih murah. "Buktinya, pemerintah mengeluarkan BSU, bantuan subsidi upah Rp600.000. Kenapa subsidi diberikan? karena upah murah, daya beli buruh juga jadi lemah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kita minus 2 persen. Bayangkan saja, (sudah) disubsidi Rp600.000, ekonomi kita masih minus 2 persen," papar Roy.

Alasan kedua, lanjut Roy, berdasarkan proyeksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 sebesar 5,3.Dengan proyeksi tersebut, tidak ada alasan pemerintah tidak menaikkan upah. "Alasan ketiga, saat krisis moneter 1998 lalu, dolar naik. Hari ini, dolar standar, rupah menguat. Saat krisis moneter, pemerintah menaikan upah tidak kurang dari 15 persen. Masa ini gara-gara COVID, upah tidak naik, di mana logikanya," urainya.

Oleh karenanya, Roy juga menginstruksikan kepada seluruh buruh di Jabar untuk mengawal penetakan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2021 dengan kenaikan minimal 8%. "Kita minta bupati wali kota untuk menaikan UMK minimal 8 persen, setelah itu kita kepung lagi. Kita pastikan tanggal 20-21 (November 2020), Gubernur menetapkan UMP sesuai rekomendasi kabupaten/kota," katanya.

Diketahui, tidak adanya kenaikan upah tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah Nomor M/ll/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3171 seconds (0.1#10.140)