Kebijakan Pemerintah Soal Transportasi Saat Pandemi Membingungkan

Jum'at, 08 Mei 2020 - 10:38 WIB
loading...
Kebijakan Pemerintah...
Calon penumpang bersiap lapor diri sebelum terbang di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta,Tangerang, Banten. Foto/Antara
A A A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah membuka izin operasional seluruh moda transportasi di tengah pandemik corona (COVID-19) membingungkan masyarakat.

Kebijakan ini kontradiktif dengan kebijakan larangan mudik untuk memutus rantai wabah COVID-19.

Menteri Perhubungan Budi Karya mengizinkan semua moda transportasi baik udara, laut, dan darat mulai kembali beroperasi, Kamis (7/5/2020).. Kebijakan ini menurutnya merupakan bentuk penjabaran dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020 tentang Pengaturan Transportasi saat Mudik Lebaran.

Kendati demikian, pengoperasian seluruh moda transportasi ini bukan merupakan bentuk relaksasi larangan untuk mudik. Moda transportasi tersebut hanya diperuntukkan bagi pihak-pihak tertentu seperti para pejabat negara, tenaga medis, maupun masyarakat yang harus melakukan perjalanan ke luar daerah dengan alasan mendesak. Tak pelak aturan ini memunculkan kebingungan masyarakat.

“Efeknya tentu masyarakat bingung. Masyarakat tidak boleh mudik, tapi moda transportasi dibuka,” kata pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho saat dihubungi, Kamis (7/5/2020).

Riant menilai bahwa hal ini sangat rentan menimbulkan penyelewengan. Sebab dengan alasan berbisnis, bisa saja tetap mudik. “Ini membuka peluang penyelewengan. Misalnya apa yang menjadi standar bisnis? Saya bisa ke Semarang untuk bisnis. Terus ini bagaimana memastikannya? Apakah Gugus Tugas mau mengeluarkan surat keterangan bisnis ribuan?” paparnya.

Dewan Pakar Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia ini bahkan menilai kebijakan tersebut bisa menimbulkan ketidakadilan. Sebab kemungkinan besar peluang penyelewengan ada di moda transportasi udara. “Kalau kita lewat darat, pasti disuruh putar balik oleh polisi. Tapi, mungkin tidak yang di bandara disuruh balik? Ini bisa menjadi ketidakadilan sosial dan melanggar Pancasila,” kata dia.

Dia mengatakan, kebijakan yang dibuat saat corona harus ada kajiannya sehingga jelas alasannya. Dia mengingatkan jangan sampai kebijakan hanya dibuat atas dasar keinginan sehingga tujuan, risiko, hingga mitigasi yang dilakukan nanti jelas.

“Tapi, kalau sampai ada pertentangan dengan kebijakan yang lain, berarti ada kemungkinan kebijakan ini tidak pakai kajian, tapi pakai rapat. Rapat itu bukan kajian. Ini sebenarnya penyakit kebijakan di Indonesia dan rata-rata negara berkembang lain,” ucap dia.

Dia bahkan menilai bahwa hal ini bisa menjadi satu di antara indikator ada defisit tata kelola pemerintahan. Menurutnya, kebijakan yang dihasilkan biasanya tidak berkualitas dan sering bertabrakan. “Kalau melihat ini, undermanage governance. Corona ini mendadak dan organisasi pemerintah tidak siap menghadapinya,” ujar dia.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2184 seconds (0.1#10.140)