Kisah Duel Maut Laksamana Malahayati dengan Pemimpin Belanda di Kapal Perang
loading...
A
A
A
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah.Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M.
Ada pun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585-1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Dalam penyerangan itu, duel satu lawan satu antara Malahayati dengan pemimpin Belanda Cornelis de Houtman tak terhindarkan.
Malahayati yang bersenjatakan rencong dengan gagah berani melawan Cornelis de Houtman yang bersenjata pedang. Keberanian dan kepiawaian Malahayati menggunakan senjata rencong membuat Cornelis kelabakan hingga akhirnya tewas di tangan Malahayati.
Dia pun mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati dikenal juga dengan nama Keumalahayati. Ia dilahirkan di Aceh Besar pada tahun 1550. Pada masa kanak-kanak dan remaja ia mendapat pendidikan istana.
Malahayati masih berkerabat dengan Sultan Aceh. Ayah dan kakeknya berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Dari situlah semangat kelautan Malahayati muncul. Ia kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis. (Baca: Perang Pasola, Uji Nyali Lelaki Pemberani).
Perjuangan Malahayati melawan penjajah dimulai setelah terjadinya pertempuran di Teluk Haru. Armada laut Kesultanan Aceh melawan armada Portugis. Pada pertempuran itu, Laksamana Zainal Abidin, suami Malahayati, gugur.
Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan.
Ada pun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585-1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Dalam penyerangan itu, duel satu lawan satu antara Malahayati dengan pemimpin Belanda Cornelis de Houtman tak terhindarkan.
Malahayati yang bersenjatakan rencong dengan gagah berani melawan Cornelis de Houtman yang bersenjata pedang. Keberanian dan kepiawaian Malahayati menggunakan senjata rencong membuat Cornelis kelabakan hingga akhirnya tewas di tangan Malahayati.
Dia pun mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati dikenal juga dengan nama Keumalahayati. Ia dilahirkan di Aceh Besar pada tahun 1550. Pada masa kanak-kanak dan remaja ia mendapat pendidikan istana.
Malahayati masih berkerabat dengan Sultan Aceh. Ayah dan kakeknya berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Dari situlah semangat kelautan Malahayati muncul. Ia kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis. (Baca: Perang Pasola, Uji Nyali Lelaki Pemberani).
Perjuangan Malahayati melawan penjajah dimulai setelah terjadinya pertempuran di Teluk Haru. Armada laut Kesultanan Aceh melawan armada Portugis. Pada pertempuran itu, Laksamana Zainal Abidin, suami Malahayati, gugur.
Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan.