Menabuh Periuk Nasi di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
SURABAYA - Langit Surabaya , masih berwarna merah ketika jutaan warganya mencoba untuk bertahan di tengah pandemi COVID-19 . Dari berbagai perkampungan kecil itu, mereka bersatu untuk mengencangkan otot dan membuka matanya lebar-lebar melihat peluang yang tersisa, menabuh kembali periuk nasi untuk bisa bertahan di tengah pandemi.
(Baca juga: Ambil Paksa Jenazah COVID-19, Aktivis Banyuwangi Ditahan Polisi )
Di tengah senja merah dan hangat di ujung musim kemarau, suara mobil ambulans masih meraung di berbagai perkampungan di Kota Pahlawan . Membungkus linangan air mata yang tumpah dari keluarga-keluarga yang ditinggalkan.
Era pandemi saat ini bagi warga sudah menjadi The Battle of Surabaya . Menembus batas ingatan mereka tentang pertempuran Surabaya yang dilakukan tentara dan arek-arek Surabaya melawan kolonial dan sekutu. Pada 10 November 1945, arek-arek Surabaya membuktikan keyakinan dan persatuan mampu menjadi kunci pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia atas kolonialisme.
Spirit itu kini menancap di tiap perkampungan Surabaya , mereka kembali menanamkan genderang perlawanan dalam sebuah perang yang berbeda, perang melawan sebaran virus yang melumpuhkan keutuhan keluarga, ekonomi warga, kelanjutan pendidikan anak-anak dan segala sisi kemanusiaan lainnya selama tujuh bulan terakhir.
(Baca juga: Tak Ada Biaya Operasi, Bayi Meninggal Akibat Kelainan Jantung )
Menyerah bukan menjadi sifat asli bangsa ini, di tengah kebiasaan baru, warga mulai bersiasat untuk bisa menjadi pemenang. Memastikan mereka sehat dan terus membangun kembali pundi-pundi ekonomi keluarga dan menabuh periuk nasi di rumah biar kembali mengepul untuk melanjutkan kehidupan.
Seperti layaknya perang, di era pandemi semua menerapkan siasat. Para pelaku usaha kecil di perkampungan menolak untuk binasa. Dari tiap pintu rumah, mereka tetap berproduksi, melanjutkan usaha dalam menyambung tali kehidupan.
Istibsaroh (47), baru selesai menjemur baju di teras rumah ketika Hendriawan (49), suaminya datang dengan wajah yang ditekuk mencoba memarkir sepeda motornya tepat di depan pagar. Ia segera bergegas untuk masuk ke rumah. Jarum jam belum menunjukan pukul 15.00 WIB, ketika matahari menerobos masuk ke celah-celah rumah dengan begitu terik dan angin yang berhembus kencang.
(Baca juga: Ambil Paksa Jenazah COVID-19, Aktivis Banyuwangi Ditahan Polisi )
Di tengah senja merah dan hangat di ujung musim kemarau, suara mobil ambulans masih meraung di berbagai perkampungan di Kota Pahlawan . Membungkus linangan air mata yang tumpah dari keluarga-keluarga yang ditinggalkan.
Era pandemi saat ini bagi warga sudah menjadi The Battle of Surabaya . Menembus batas ingatan mereka tentang pertempuran Surabaya yang dilakukan tentara dan arek-arek Surabaya melawan kolonial dan sekutu. Pada 10 November 1945, arek-arek Surabaya membuktikan keyakinan dan persatuan mampu menjadi kunci pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia atas kolonialisme.
Spirit itu kini menancap di tiap perkampungan Surabaya , mereka kembali menanamkan genderang perlawanan dalam sebuah perang yang berbeda, perang melawan sebaran virus yang melumpuhkan keutuhan keluarga, ekonomi warga, kelanjutan pendidikan anak-anak dan segala sisi kemanusiaan lainnya selama tujuh bulan terakhir.
(Baca juga: Tak Ada Biaya Operasi, Bayi Meninggal Akibat Kelainan Jantung )
Menyerah bukan menjadi sifat asli bangsa ini, di tengah kebiasaan baru, warga mulai bersiasat untuk bisa menjadi pemenang. Memastikan mereka sehat dan terus membangun kembali pundi-pundi ekonomi keluarga dan menabuh periuk nasi di rumah biar kembali mengepul untuk melanjutkan kehidupan.
Seperti layaknya perang, di era pandemi semua menerapkan siasat. Para pelaku usaha kecil di perkampungan menolak untuk binasa. Dari tiap pintu rumah, mereka tetap berproduksi, melanjutkan usaha dalam menyambung tali kehidupan.
Istibsaroh (47), baru selesai menjemur baju di teras rumah ketika Hendriawan (49), suaminya datang dengan wajah yang ditekuk mencoba memarkir sepeda motornya tepat di depan pagar. Ia segera bergegas untuk masuk ke rumah. Jarum jam belum menunjukan pukul 15.00 WIB, ketika matahari menerobos masuk ke celah-celah rumah dengan begitu terik dan angin yang berhembus kencang.