Perppu 1/2020 yang Berpotensi Melanggar Konstitusi, Dibahas di Paripurna Pekan Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, disebut berpotensi melanggar konstitusi.
Terdapat sejumlah pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD 1945. Terutama terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan negara.
Demikian diungkapkan, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ecky Awal Mucharam. Kata Dia Perppu yang diteken pada 31 Maret 2020 lalu itu, bakal dibahas dalam Rapat Paripurna 12 Mei mendatang, sebelum nantinya untuk dijadikan undang-undang.
Menurut Ecky, sejumlah pasal Perppu terkait dengan APBN terutama Pasal 12 ayat 2, dimana Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
“Pasal ini jelas mengamputasi kewenangan peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-Undang atau yang setara,” tegasnya.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, lanjut Ecky, menyatakan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun sebagaimana pada Pasal 23 Ayat 1. Dan RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3.
“Konstitusinya sudah jelas. Jadi yang sudah berjalan ini cenderung bertentangan dengan konstitusi," tambahnya.
Hal kedua yang menurutnya berpotensi melanggar konstitusi adalah terkait imunitas pengambil kebijakan. Perppu Pasal 27 ayat 2, yang memuat soal Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun Anggota KSSK itu terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tidak hanya itu, pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
“Ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum. Padahal UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. Ini sudah jelas," tegasnya.
Terdapat sejumlah pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD 1945. Terutama terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan negara.
Demikian diungkapkan, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ecky Awal Mucharam. Kata Dia Perppu yang diteken pada 31 Maret 2020 lalu itu, bakal dibahas dalam Rapat Paripurna 12 Mei mendatang, sebelum nantinya untuk dijadikan undang-undang.
Menurut Ecky, sejumlah pasal Perppu terkait dengan APBN terutama Pasal 12 ayat 2, dimana Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
“Pasal ini jelas mengamputasi kewenangan peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-Undang atau yang setara,” tegasnya.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, lanjut Ecky, menyatakan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun sebagaimana pada Pasal 23 Ayat 1. Dan RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3.
“Konstitusinya sudah jelas. Jadi yang sudah berjalan ini cenderung bertentangan dengan konstitusi," tambahnya.
Hal kedua yang menurutnya berpotensi melanggar konstitusi adalah terkait imunitas pengambil kebijakan. Perppu Pasal 27 ayat 2, yang memuat soal Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun Anggota KSSK itu terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tidak hanya itu, pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
“Ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum. Padahal UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. Ini sudah jelas," tegasnya.