Kisah Sukses Lilis Bangun Usaha Ternak Cacing, Kini Beromset 100 Juta Per Bulan
loading...

Lilis Suhartini bersama Hendi Rustandi berhasil melakukan budi daya cacing dan kini beromset Rp100 juta per bulan. Foto/Dok. SindoNews
A
A
A
BANDUNG - Senyum Lilis Suhartini merekah dan matanya yang berbinar. Lilis merupakan perempuan tangguh asal Pangalengan, Kabupaten Bandung, yang menjalankan usaha budi daya cacing dan pemasok bubuk cacing.
Setiap pagi, perempuan berusia 36 tahun ini memulai hari dengan memanen cacing yang dikembangbiakkan ladang yang ada di halaman belakang rumahnya. Lahan yang ia miliki memang tidak luas, tetapi cukup untuk menghidupi keluarga, bahkan menghasilkan omset mencapai Rp100 juta rupiah setiap bulan. ”Usaha ini menjanjikan. Ibu punya rumah sama kendaraan juga hasil dari sini,” katanya.
Beruntung Lilis tinggal di Desa Margamekar yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan dengan udara sejuk dan tanah kaya unsur hara. Di mana mayoritas masyarakatnya secara tidak langsung membentuk ekosistem yang saling mendukung dari kegiatan bertani dan beternak.
Usaha ternak cacing yang dikelola Lilis pun menjadi bagian dari rantai alami. Cacing menjaga ekosistem dengan menyuburkan tanah sementara limbah organik dari peternakan diserap oleh cacing sebagai pakan. Siklus ini menjadikan budi daya cacing sebagai usaha yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Lilis tidak sendiri saat memanen cacing tanah. Suaminya, Hendi Rustandi, ikut membantu kedua karyawannya sekaligus melakukan pengendalian mutu sejak tahap awal. Hasil panen kemudian dibawa ke rumah produksi yang terletak hanya beberapa langkah dari ladang.
Prosedur berikutnya adalah memisahkan cacing dari tanah. Prosedur ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian karena proses pengerjaan dilakukan dengan cara yang tradisional yaitu memilah dengan tangan.
Pertama-tama, hasil panen ditumpuk menjadi seperti gunungan kecil. Kemudian dipisahkan pakai kedua telapak tangan yang bergerak bersamaan ke arah belakang.
Di tengah proses pemilahan, Lilis bercerita mengenai alasan ia memilih dan menekuni usaha yang telah digeluti selama 13 tahun. Awalnya Lilis hanya menjual cacing hidup ke kenalannya yang bekerja di suatu pabrik farmasi. Namun, kenalannya menawarkan agar Lilis dan suami mengembangkan variasi produk seperti cacing kering dan bubuk cacing.
“Pertamanya Ibu cuma kirim cacing hidup. Terus kenalan Ibu nanyain, ‘Ibu bisa gak buat yang kering? Ibu jawab, ‘enggak bisa’ Akhirnya, Ibu ditawari ikut penyuluhan. Setelah ikut penyuluhan selama satu bulan, Ibu langsung praktik dan ternyata hasilnya bagus. Dari situ, Ibu buat produk cacing kering sama yang bubuk,” jelas ibu dari dua anak ini.
Setelah cacing dipilah dengan telaten, Lilis mencucinya di air mengalir secara berulang kali hingga benar-benar bersih. Ia selalu memastikan cacing tetap segar sebelum direbus dalam air mendidih. Kata Lilis, cacing segar merupakan kunci utama agar cacing dapat tahan lama.
Selama bertahun-tahun menjalankan usaha, Lilis melakukan pengeringan menggunakan oven berukuran sedang, yang membuat proses pengerjaan menjadi memakan banyak waktu dan berdampak pada kualitas yang dihasilkan.
Ia pun mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan terdekat di desa. Akan tetapi ia tidak puas karena modal yang diterima tidak utuh. Ia harus menanggung potongan biaya administrasi yang lumayan besar.
Pada 2023, Lilis diajak oleh tetangganya untuk bergabung dengan Amartha, sebuah perusahaan teknologi keuangan yang fokus menyalurkan akses permodalan kepada UMKM di Indonesia. Modal senilai Rp4 juta yang didapatkan tanpa potongan itu dimanfaatkan untuk membeli oven berkapasitas besar. Dengan begitu, kuantitas produksi Lilis meningkat dan ia perlu merekrut dua karyawan tambahan guna memenuhi permintaan pelanggannya. Sekarang ia memiliki empat karyawan.
Begitu cacing kering sempurna, cacing dipisahkan berdasarkan ukuran. Cacing berukuran kecil atau jenis lumbricus rubellus dikirim ke pabrik farmasi. Per kilogram dihargai Rp200.000.
Sayangnya setelah pengiriman, Lilis tidak bisa langsung mendapatkan pembayaran. Ia perlu menunggu 1-2 minggu sampai pembayaran cacingnya cair karena pabrik perlu memeriksa kualitas cacing yang dikirimkan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri baginya.
Sementara cacing berukuran besar atau jenis perionyx excavates diolah menjadi bubuk cacing. Sebagian bubuk cacing dikirim ke produsen jamu di Jawa Tengah dan sebagian lainnya dijual di e-commerce . Satu kilogram bubuk cacing dihargai Rp250.000.
Sejak mendapatkan permodalan dari Amartha, Lilis juga mendapatkan pendampingan bisnis dan pelatihan keuangan digital dari tim Business Partner. Berkat pendampingan dan pelatihan, Lilis menjadi lebih percaya diri dalam menggunakan ponsel pintar sebagai sarana mengembangkan usaha dengan memanfaatkan e-commerce untuk menjangkau pembeli yang lebih luas.
“Ibu juga jualan di online buat yang bubuk cacing. Kalau online yang beli dari mana-mana. Pernah kirim ke Jawa Tengah. Ke Flores juga pernah. Ada yang pesan sekilo pun tetap Ibu layanin,” tuturnya.
Tahun ini adalah tahun ketiga Lilis menjadi pengusaha UMKM binaan Amartha. Ia bercita-cita memperdalam pengetahuannya di bidang teknologi digital agar usahanya dapat berkembang dan bisa memberdayakan lebih banyak masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Setiap pagi, perempuan berusia 36 tahun ini memulai hari dengan memanen cacing yang dikembangbiakkan ladang yang ada di halaman belakang rumahnya. Lahan yang ia miliki memang tidak luas, tetapi cukup untuk menghidupi keluarga, bahkan menghasilkan omset mencapai Rp100 juta rupiah setiap bulan. ”Usaha ini menjanjikan. Ibu punya rumah sama kendaraan juga hasil dari sini,” katanya.
Beruntung Lilis tinggal di Desa Margamekar yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan dengan udara sejuk dan tanah kaya unsur hara. Di mana mayoritas masyarakatnya secara tidak langsung membentuk ekosistem yang saling mendukung dari kegiatan bertani dan beternak.
Usaha ternak cacing yang dikelola Lilis pun menjadi bagian dari rantai alami. Cacing menjaga ekosistem dengan menyuburkan tanah sementara limbah organik dari peternakan diserap oleh cacing sebagai pakan. Siklus ini menjadikan budi daya cacing sebagai usaha yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Lilis tidak sendiri saat memanen cacing tanah. Suaminya, Hendi Rustandi, ikut membantu kedua karyawannya sekaligus melakukan pengendalian mutu sejak tahap awal. Hasil panen kemudian dibawa ke rumah produksi yang terletak hanya beberapa langkah dari ladang.
Prosedur berikutnya adalah memisahkan cacing dari tanah. Prosedur ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian karena proses pengerjaan dilakukan dengan cara yang tradisional yaitu memilah dengan tangan.
Pertama-tama, hasil panen ditumpuk menjadi seperti gunungan kecil. Kemudian dipisahkan pakai kedua telapak tangan yang bergerak bersamaan ke arah belakang.
Di tengah proses pemilahan, Lilis bercerita mengenai alasan ia memilih dan menekuni usaha yang telah digeluti selama 13 tahun. Awalnya Lilis hanya menjual cacing hidup ke kenalannya yang bekerja di suatu pabrik farmasi. Namun, kenalannya menawarkan agar Lilis dan suami mengembangkan variasi produk seperti cacing kering dan bubuk cacing.
“Pertamanya Ibu cuma kirim cacing hidup. Terus kenalan Ibu nanyain, ‘Ibu bisa gak buat yang kering? Ibu jawab, ‘enggak bisa’ Akhirnya, Ibu ditawari ikut penyuluhan. Setelah ikut penyuluhan selama satu bulan, Ibu langsung praktik dan ternyata hasilnya bagus. Dari situ, Ibu buat produk cacing kering sama yang bubuk,” jelas ibu dari dua anak ini.
Setelah cacing dipilah dengan telaten, Lilis mencucinya di air mengalir secara berulang kali hingga benar-benar bersih. Ia selalu memastikan cacing tetap segar sebelum direbus dalam air mendidih. Kata Lilis, cacing segar merupakan kunci utama agar cacing dapat tahan lama.
Selama bertahun-tahun menjalankan usaha, Lilis melakukan pengeringan menggunakan oven berukuran sedang, yang membuat proses pengerjaan menjadi memakan banyak waktu dan berdampak pada kualitas yang dihasilkan.
Ia pun mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan terdekat di desa. Akan tetapi ia tidak puas karena modal yang diterima tidak utuh. Ia harus menanggung potongan biaya administrasi yang lumayan besar.
Pada 2023, Lilis diajak oleh tetangganya untuk bergabung dengan Amartha, sebuah perusahaan teknologi keuangan yang fokus menyalurkan akses permodalan kepada UMKM di Indonesia. Modal senilai Rp4 juta yang didapatkan tanpa potongan itu dimanfaatkan untuk membeli oven berkapasitas besar. Dengan begitu, kuantitas produksi Lilis meningkat dan ia perlu merekrut dua karyawan tambahan guna memenuhi permintaan pelanggannya. Sekarang ia memiliki empat karyawan.
Begitu cacing kering sempurna, cacing dipisahkan berdasarkan ukuran. Cacing berukuran kecil atau jenis lumbricus rubellus dikirim ke pabrik farmasi. Per kilogram dihargai Rp200.000.
Sayangnya setelah pengiriman, Lilis tidak bisa langsung mendapatkan pembayaran. Ia perlu menunggu 1-2 minggu sampai pembayaran cacingnya cair karena pabrik perlu memeriksa kualitas cacing yang dikirimkan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri baginya.
Sementara cacing berukuran besar atau jenis perionyx excavates diolah menjadi bubuk cacing. Sebagian bubuk cacing dikirim ke produsen jamu di Jawa Tengah dan sebagian lainnya dijual di e-commerce . Satu kilogram bubuk cacing dihargai Rp250.000.
Sejak mendapatkan permodalan dari Amartha, Lilis juga mendapatkan pendampingan bisnis dan pelatihan keuangan digital dari tim Business Partner. Berkat pendampingan dan pelatihan, Lilis menjadi lebih percaya diri dalam menggunakan ponsel pintar sebagai sarana mengembangkan usaha dengan memanfaatkan e-commerce untuk menjangkau pembeli yang lebih luas.
“Ibu juga jualan di online buat yang bubuk cacing. Kalau online yang beli dari mana-mana. Pernah kirim ke Jawa Tengah. Ke Flores juga pernah. Ada yang pesan sekilo pun tetap Ibu layanin,” tuturnya.
Tahun ini adalah tahun ketiga Lilis menjadi pengusaha UMKM binaan Amartha. Ia bercita-cita memperdalam pengetahuannya di bidang teknologi digital agar usahanya dapat berkembang dan bisa memberdayakan lebih banyak masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
(poe)
Lihat Juga :