Dosen ITS Kembangkan Sensor Optik untuk Ukur Kecepatan Aliran Darah
A
A
A
SURABAYA - Pengembangan alat medis yang lebih efisien dan akurat bisa membantu para pasien di rumah sakit. Untuk memenuhi perkembangan teknologi, dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan sensor optik untuk mengukur kecepatan aliran darah.
Profesor Dr rer nat Agus Rubiyanto MEngSc yang juga Guru Besar Departemen Fisika ITS mengatakan, penelitiannya bermula ketika melihat aliran darah adalah salah satu faktor penting dalam memonitoring kesehatan.
Banyak jenis penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi aliran darah seseorang. “Karenanya perlu adanya pengembangan alat kesehatan untuk mendukung pengukuran aliran darah tersebut,” kata Prof Ruby, Kamis (27/2/2020).
Ia melanjutkan, penelitiannya bermaksud mengembangkan sensor self-mixing interferometer sebagai sensor pengukur aliran darah yang dapat diterapkan di dunia kesehatan. Sensor self-mixing interferometer merupakan suatu sensor optik yang telah banyak dikembangkan oleh ilmuan dalam beberapa teknologi industry dan penelitian.
"Saya melihat, bahwa sensor self-mixing interferometer ini juga berpotensi untuk dikembangkan dalam teknologi kesehatan," ungkapnya.
Kepala Pusat Penelitian Sains Fundamental ITS ini menambahkan, self-mixing interferometer sendiri merupakan suatu sensor optik di mana cahaya di dalam sensor tersebut dapat berinterpresensi dengan sesamanya. Berbeda dengan interferometer konvensional, sinyal self-mixing interferometer dapat dipantulkan sendiri di dalam rongga laser.
“Kekuatan gelombang termodulasi dari self-mixing interferometer ini dapat digunakan untuk memperkirakan kecepatan target, yang dalam penelitian ini yakni aliran darah,” ucapnya.
Ia menjelaskan, tantangan yang dihadapinya dalam mengembangkan penelitian tersebut adalah bahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sensor optik masih tidak banyak ditemui di Indonesia, seperti sensor self-mixing interferometer sendiri bisa ditemui di Eropa.
“Selain itu, kita juga perlu melakukan pemrograman arduino untuk menghubungkan sensor dengan konsep medis mengenai pengukuran aliran darah,” jelasnya.
Alumnus Universitas Paderborn ini menyatakan, untuk menyelesaikan penelitiannya dibutuhkan waktu dan usaha yang maksimal. Selama dua tahun penelitian ini, Ruby dan beberapa mahasiswa magisternya terus mengembangkan lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
“Penelitian ini memang tidak mudah, selain komponennya yang detail juga dibutuhkan sinkronisasi dengan aliran darah dan anatomi tubuh manusia,” katanya.
Dosen asli Surabaya ini menyebutkan, alat pengukur darah yang menggunakan sensor optik ini akan memiliki kelebihan dibandingkan dengan alat pengukur darah konvensional. Sensor optik ini dapat mengukur aliran darah pasien tanpa menyentuh pasien, sehingga dalam aplikasinya akan membuat pasien lebih nyaman.
Profesor Dr rer nat Agus Rubiyanto MEngSc yang juga Guru Besar Departemen Fisika ITS mengatakan, penelitiannya bermula ketika melihat aliran darah adalah salah satu faktor penting dalam memonitoring kesehatan.
Banyak jenis penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi aliran darah seseorang. “Karenanya perlu adanya pengembangan alat kesehatan untuk mendukung pengukuran aliran darah tersebut,” kata Prof Ruby, Kamis (27/2/2020).
Ia melanjutkan, penelitiannya bermaksud mengembangkan sensor self-mixing interferometer sebagai sensor pengukur aliran darah yang dapat diterapkan di dunia kesehatan. Sensor self-mixing interferometer merupakan suatu sensor optik yang telah banyak dikembangkan oleh ilmuan dalam beberapa teknologi industry dan penelitian.
"Saya melihat, bahwa sensor self-mixing interferometer ini juga berpotensi untuk dikembangkan dalam teknologi kesehatan," ungkapnya.
Kepala Pusat Penelitian Sains Fundamental ITS ini menambahkan, self-mixing interferometer sendiri merupakan suatu sensor optik di mana cahaya di dalam sensor tersebut dapat berinterpresensi dengan sesamanya. Berbeda dengan interferometer konvensional, sinyal self-mixing interferometer dapat dipantulkan sendiri di dalam rongga laser.
“Kekuatan gelombang termodulasi dari self-mixing interferometer ini dapat digunakan untuk memperkirakan kecepatan target, yang dalam penelitian ini yakni aliran darah,” ucapnya.
Ia menjelaskan, tantangan yang dihadapinya dalam mengembangkan penelitian tersebut adalah bahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sensor optik masih tidak banyak ditemui di Indonesia, seperti sensor self-mixing interferometer sendiri bisa ditemui di Eropa.
“Selain itu, kita juga perlu melakukan pemrograman arduino untuk menghubungkan sensor dengan konsep medis mengenai pengukuran aliran darah,” jelasnya.
Alumnus Universitas Paderborn ini menyatakan, untuk menyelesaikan penelitiannya dibutuhkan waktu dan usaha yang maksimal. Selama dua tahun penelitian ini, Ruby dan beberapa mahasiswa magisternya terus mengembangkan lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
“Penelitian ini memang tidak mudah, selain komponennya yang detail juga dibutuhkan sinkronisasi dengan aliran darah dan anatomi tubuh manusia,” katanya.
Dosen asli Surabaya ini menyebutkan, alat pengukur darah yang menggunakan sensor optik ini akan memiliki kelebihan dibandingkan dengan alat pengukur darah konvensional. Sensor optik ini dapat mengukur aliran darah pasien tanpa menyentuh pasien, sehingga dalam aplikasinya akan membuat pasien lebih nyaman.
(zil)