Mengenal Ekspedisi Hongi yang Buat Pattimura dan Rakyat Maluku Melawan Belanda
loading...
A
A
A
PATTIMURAatau Thomas Matulessy memimpin perlawanan rakyat Maluku Tengah terhadap penjajah Belanda. Dialah yang mengobarkan genderang perang ke Belanda usai melihat kekejaman pemerintahan Belanda dibantu VOC yang merupakan perusahaan milik Belanda.
Awalnya Pattimura memberikan ancaman gertak sambal ke Belanda pada 29 Mei 1817. Saat itu Pattimura menuntut perbaikan dari Belanda yang menguasai kawasan Maluku Tengah, termasuk Ambon. Pattimura dan pengikutnya mengancam akan memberi perlawanan jika tuntutannya tidak dipenuhi.
Memang secara sosial, kedatangan VOC ke Maluku di abad 17 memunculkan permukiman-permukiman baru dengan nama 'Negeri' di pantai Kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur sistem budaya lama dengan unsur yang dimasukkan VOC.
Masyarakat negeri di pantai Kepulauan Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkeh di samping tanah-tanah pusaka milik keluarga masing-masing.
Dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia", hasil cengkeh setiap dati dijual kepada VOC dengan harga tertentu, sedangkan hasil tanah pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga (famili) yang mengerjakannya.
Masyarakat Maluku Tengah pun dibuat kesal oleh VOC saat melakukan ekspedisi Hongi. Pasalnya, ekspedisi ini justru banyak menjadi tragedi sejarah yang menimpa masyarakat Maluku.
Ekspedisi Hongi terdiri atas perahu kora-kora (perahu perang) milik masing- masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase untuk mengawasi Pulau-pulau Seram, Buru, Manipa, dan lain-lain yang dilarang menghasilkan cengkeh.
Setiap pohon cengkeh di pulau-pulau tersebut ditebang oleh serdadu VOC yang kemudian diangkut armada kora-kora. Selama berlangsungnya ekspedisi itu, banyak pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan atau dibunuh musuh.
Selain itu, waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati yaitu 3 bulan dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkeh (akhir tahun) ketika tenaga mereka justru dibutuhkan di dati masing-masing.
Sementara, ada satu hal positif yang ditularkan Belanda yakni pengembangan suatu sistem pemerintah desa (negeri) serta sistem pendidikan desa. Jika para penguasa desa mempunyai ikatan kekerabatan dalam desa (negeri) masing-masing, para guru desa selalu dipindah-pindahkan dari satu desa ke desa lainnya.
Sistem perkebunan cengkeh, sistem pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa merupakan unsur-unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi.
Awalnya Pattimura memberikan ancaman gertak sambal ke Belanda pada 29 Mei 1817. Saat itu Pattimura menuntut perbaikan dari Belanda yang menguasai kawasan Maluku Tengah, termasuk Ambon. Pattimura dan pengikutnya mengancam akan memberi perlawanan jika tuntutannya tidak dipenuhi.
Memang secara sosial, kedatangan VOC ke Maluku di abad 17 memunculkan permukiman-permukiman baru dengan nama 'Negeri' di pantai Kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur sistem budaya lama dengan unsur yang dimasukkan VOC.
Masyarakat negeri di pantai Kepulauan Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkeh di samping tanah-tanah pusaka milik keluarga masing-masing.
Dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia", hasil cengkeh setiap dati dijual kepada VOC dengan harga tertentu, sedangkan hasil tanah pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga (famili) yang mengerjakannya.
Masyarakat Maluku Tengah pun dibuat kesal oleh VOC saat melakukan ekspedisi Hongi. Pasalnya, ekspedisi ini justru banyak menjadi tragedi sejarah yang menimpa masyarakat Maluku.
Ekspedisi Hongi terdiri atas perahu kora-kora (perahu perang) milik masing- masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase untuk mengawasi Pulau-pulau Seram, Buru, Manipa, dan lain-lain yang dilarang menghasilkan cengkeh.
Setiap pohon cengkeh di pulau-pulau tersebut ditebang oleh serdadu VOC yang kemudian diangkut armada kora-kora. Selama berlangsungnya ekspedisi itu, banyak pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan atau dibunuh musuh.
Selain itu, waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati yaitu 3 bulan dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkeh (akhir tahun) ketika tenaga mereka justru dibutuhkan di dati masing-masing.
Sementara, ada satu hal positif yang ditularkan Belanda yakni pengembangan suatu sistem pemerintah desa (negeri) serta sistem pendidikan desa. Jika para penguasa desa mempunyai ikatan kekerabatan dalam desa (negeri) masing-masing, para guru desa selalu dipindah-pindahkan dari satu desa ke desa lainnya.
Sistem perkebunan cengkeh, sistem pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa merupakan unsur-unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi.
(jon)