Raja Keraton Agung Sejagat Dianggap Kemunculan Ratu Adil
A
A
A
PURWOREJO - Sosok Toto Santoso (42) mendadak terkenal setelah muncul sebagai Raja Keraton Agung Sejagat di Purworejo Jawa Tengah. Foto dan videonya mengenakan pakaian ala bangsawan beredar di media sosial hingga menghiasi layar televisi. (Baca: Usai Pinjam Uang Rp1,3 Miliar, Raja Keraton Agung Sejagat Kabur)
Pria asal Jakarta Utara itu mendeklarasikan diri sebagai raja bergelar Rakai Mataram Agung. Saat bertahta di singgasana, dia didampingi permaisuri Fanni Aminadia (41) yang bergelar Kanjeng Ratu Dyah Gitarja.
Penampilan dan gaya bicara keduanya berhasil menarik perhatian ratusan orang untuk menjadi pengikut. Bahkan, mereka rela membayar hingga puluhan juta rupiah demi menjadi punggawa kerajaan.
Pengikut juga dijanjikan jabatan dan gaji besar. Saat perekrutan mereka didoktrin, jika tak mengakui dengan keraton maka akan mendapat banyak malapetaka, sementara jika bergabung bakal merasakan perubahan nasib menjadi lebih baik.
"Biasanya dalam kajian antropologi religi fenomena seperti itu muncul itu ketika masyarakat dalam kondisi yang tidak stabil. Semacam keresahan, ada gejolak, misalnya karena politik, ekonomi, dan lain-lain," kata Antropolog Universitas Negeri Semarang (Unnes), Nugroho Trisnu Brata, Jumat (17/1/2020).
"Masyarakat mengharapkan datangnya sosok sebagai juru selamat, juru damai, yang membebaskan masyarakat dari kondisi tidak nyaman berkepanjangan," tambahnya.
Dia menjelaskan, sosok yang dianggap sebagai juru selamat atau Ratu Adil sebelumnya juga pernah terjadi. Apalagi, pada zaman penjajahan kondisi rakyat menderita hingga merindukan tokoh yang bisa menyelamatkan mereka.
"Dulu pernah Pangeran Diponegoro itu dianggap sebagai Ratu Adil atau Mesias, karena masyarakat dijajah kemudian terpuruk secara ekonomi juga tertindas. Pangeran Diponegoro muncul dan dianggap sebagai Ratu Adil, sebagai Imam Mahdi dalam pandangan Islam," terangnya.
"Sebelumnya Pangeran Mangkubumi Raja Yogja , dianggap juga sebagai Mesias," singkat dosen Antropologi Unnes tersebut.
Trisnu melanjutkan, pada kondisi sekarang masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan penghidupan layak. Mereka kesulitan mencari pekerjaan sehingga timbul keinginan mendapatkan kekayaan maupun jabatan secara instan.
"Banyak orang yang gelisah mungkin, ingin mendapat kekayaan dengan cara instan, cepat tanpa harus bekerja keras. Juga ingin dapat kedudukan, pangkat dengan instan," timpalnya.
"Fenomena masyarakat yang gelisah seperti itu cari kerja, cari uang dengan jalan pintas ditangkap oleh beberapa orang yang cerdik, pintar bicara meyakinkan orang, membuat halusinasi. Seperti Toto Santoso ini orang yang bisa menangkap (masyarakat galau)," beber dia.
Sebelum mendirikan keraton di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan Purworejo, Toto pernah melakukan hal serupa di Yogyakarta. Namun, dia mendapat penolakan masyarakat sehingga mencari tempat lain untuk memuluskan rencananya.
"Di Yogya dia pernah sampaikan tapi tidak laku, kemudian bergeser ke Purworejo akhirnya laku. Ketemu di situ, antara orang yang pingin cepet kaya, cepet punya pangkat dengan sosok yang seolah bisa memberikan harapan-harapan seperti itu," ujarnya.
"Kemudian halusinasi yang sebenarnya muncul seolah-olah kalau mau bergabung (dengan keraton) maka cepet kaya, punya jabatan juga pangkat seperti perdana menteri, panglima, itu semuanya bayar. Seolah-olah mereka sudah terpenuhi keinginannya, padahal sebenarnya mereka sebenarnya dihisab juga oleh si Toto yang katanya raja dan sinuhun itu," tandas dia.
Pria asal Jakarta Utara itu mendeklarasikan diri sebagai raja bergelar Rakai Mataram Agung. Saat bertahta di singgasana, dia didampingi permaisuri Fanni Aminadia (41) yang bergelar Kanjeng Ratu Dyah Gitarja.
Penampilan dan gaya bicara keduanya berhasil menarik perhatian ratusan orang untuk menjadi pengikut. Bahkan, mereka rela membayar hingga puluhan juta rupiah demi menjadi punggawa kerajaan.
Pengikut juga dijanjikan jabatan dan gaji besar. Saat perekrutan mereka didoktrin, jika tak mengakui dengan keraton maka akan mendapat banyak malapetaka, sementara jika bergabung bakal merasakan perubahan nasib menjadi lebih baik.
"Biasanya dalam kajian antropologi religi fenomena seperti itu muncul itu ketika masyarakat dalam kondisi yang tidak stabil. Semacam keresahan, ada gejolak, misalnya karena politik, ekonomi, dan lain-lain," kata Antropolog Universitas Negeri Semarang (Unnes), Nugroho Trisnu Brata, Jumat (17/1/2020).
"Masyarakat mengharapkan datangnya sosok sebagai juru selamat, juru damai, yang membebaskan masyarakat dari kondisi tidak nyaman berkepanjangan," tambahnya.
Dia menjelaskan, sosok yang dianggap sebagai juru selamat atau Ratu Adil sebelumnya juga pernah terjadi. Apalagi, pada zaman penjajahan kondisi rakyat menderita hingga merindukan tokoh yang bisa menyelamatkan mereka.
"Dulu pernah Pangeran Diponegoro itu dianggap sebagai Ratu Adil atau Mesias, karena masyarakat dijajah kemudian terpuruk secara ekonomi juga tertindas. Pangeran Diponegoro muncul dan dianggap sebagai Ratu Adil, sebagai Imam Mahdi dalam pandangan Islam," terangnya.
"Sebelumnya Pangeran Mangkubumi Raja Yogja , dianggap juga sebagai Mesias," singkat dosen Antropologi Unnes tersebut.
Trisnu melanjutkan, pada kondisi sekarang masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan penghidupan layak. Mereka kesulitan mencari pekerjaan sehingga timbul keinginan mendapatkan kekayaan maupun jabatan secara instan.
"Banyak orang yang gelisah mungkin, ingin mendapat kekayaan dengan cara instan, cepat tanpa harus bekerja keras. Juga ingin dapat kedudukan, pangkat dengan instan," timpalnya.
"Fenomena masyarakat yang gelisah seperti itu cari kerja, cari uang dengan jalan pintas ditangkap oleh beberapa orang yang cerdik, pintar bicara meyakinkan orang, membuat halusinasi. Seperti Toto Santoso ini orang yang bisa menangkap (masyarakat galau)," beber dia.
Sebelum mendirikan keraton di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan Purworejo, Toto pernah melakukan hal serupa di Yogyakarta. Namun, dia mendapat penolakan masyarakat sehingga mencari tempat lain untuk memuluskan rencananya.
"Di Yogya dia pernah sampaikan tapi tidak laku, kemudian bergeser ke Purworejo akhirnya laku. Ketemu di situ, antara orang yang pingin cepet kaya, cepet punya pangkat dengan sosok yang seolah bisa memberikan harapan-harapan seperti itu," ujarnya.
"Kemudian halusinasi yang sebenarnya muncul seolah-olah kalau mau bergabung (dengan keraton) maka cepet kaya, punya jabatan juga pangkat seperti perdana menteri, panglima, itu semuanya bayar. Seolah-olah mereka sudah terpenuhi keinginannya, padahal sebenarnya mereka sebenarnya dihisab juga oleh si Toto yang katanya raja dan sinuhun itu," tandas dia.
(sms)