Hubungan Diplomatik China dan Sriwijaya di Bandar Dagang Internasional Abad 7 Masehi
loading...
A
A
A
Pusat perdagangan internasional di Pulau Sumatera berkembang di abad 7 pada kawasan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berkembang dan jadi pusat peradaban di Nusantara kala itu. Tapi saat itu belum diketahui nama Sriwijaya.
Sebab nama itu baru digunakan oleh peneliti George Coedes, dalam bukunya 'Le Royaume de Criwijaya. Piagam Kota Kapur dianggap menjadi salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya dari tahun 686.
Sejarawan Prof. Kern menganggap, nama Sriwijaya yang tercantum pada piagam tersebut adalah nama seorang raja, karena cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan.
Memang berdasarkan beberapa ahli dan sumber berita saat itu, kerajaan ini memiliki berbagai nama yang ditafsirkan.
Pada karya I-tsing misalnya nama Sriwijaya belum dikenal. Bahkan dalam buku yang ditulis oleh Prof. Chavannes pada tahun 1894 ke dalam bahasa Perancis, menyebut Sriwijaya sebagai Shih-li-fo-shih.
Sebagaimana dikutip dari buku “Sriwijaya”, dari Prof. Slamet Muljana awalnya Shih-li-fo-shih itu dikira transkripsi Tionghoa dari nama asli Sribhoja. Nama Shih-li-fo-shih disingkat Fo-shih saja, digunakan menyebut negara, ibu kota pusat kerajaan, sungai yang muaranya sebagai pelabuhan.
Terjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, di mana terdapat nama Sriwijaya, dan terjemahan karya I-ts'ing, di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih, memungkinkan Coedes untuk menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama negara di Sumatera Selatan.
Beal pada tahun 1886 telah mengemukakan pendapatnya, bahwa negara Shih-li-fo-shih terletak di tepi sungai Musi dekat Kota Palembang. Namun, pada pertengahan kedua abad ke-19 itu, nama Sriwijaya belum dikenal.
Kerajaan itu masih disebut dengan nama Tionghoa yang tidak diketahui nama aslinya. Meskipun anggapan itu boleh dipandang sebagai penemuan ilmiah yang asli, namun karena kepincangan tersebut masih kabur sekali.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa ilmu sejarah Sriwijaya adalah penemuan Coedes dan lahir dari kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana.
Penemuan Coedes ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu pengetahuan sejarah, terutama dalam sejarah Asia Tenggara.
Lokasi Kerajaan Sriwijaya kala itu memang cukup ideal dalam pelayaran perdagangan antar negara. Tercatat pedagang-pedagang dari Jawa, India, Arab, dan Tiongkok lalu lalang di kawasan wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional. Dengan sendirinya sejarah Sriwijaya itu berhubungan dengan sejarah negara-negara lain yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalan lalu-lintas, dan namanya teringat pula dalam sejarah asing.
Karena terbukti bahwa Sriwijaya merupakan salah satu negeri besar di antara negeri-negeri di laut Selatan.Letak Kerajaan Sriwijaya sendiri ternyata disebut Moens, tidak sepenuhnya berada di Palembang atau Sumatera Selatan.
Pada mulanya pusat kerajaan itu terletak di pantai timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatra Tengah dekat Muara Takus. Sangat menarik perhatian, bagaimana Moens menggunakan berita- berita geografi untuk menegakkan teorinya.
Dari sejarah Sung, tercatat bahwa empat hari perjalanan dari Cho-p'o orang sampai di laut; jika berlayar ke arah barat laut sesudah lima belas hari, orang sampai di P'o-ni, dan lima belas hari lagi sampai di San-fo-ts'i. Juga diberitakan bahwa San-fo-ts'i terletak di antara dan Cho-p'o.
Berdasarkan berita geografi itu, Moens mengambil kesimpulan bahwa San-fo-ts'i terletak di Semenanjung Melayu.
Sementara, berita Arab yang berasal dari Abu Zaid juga menyimpulkan letak San-fo-tsi berada di pantai timur Semenanjung. Moens menyamakan San-fo-tsi dengan Kadaram, yang membuatnya terpaksa melokalisasi Kadaram di pantai timur semenanjung.
Abu Zaid pun menyimpulkan pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Muara Takus. Hal ini didasari dua hal pertama berita I-tsing mengenai bayang-bayang diwelacakra yang tidak menjadi panjang atau pendek, pada pertengahan bulan delapan.
Pada tengah hari, orang yang berdiri di matahari tidak berbayang-bayang sama sekali. Muara Takus terletak pada garis ekuator O. 20' N. Jadi, cocok dengan berita I-ts'ing.
Kedua, anggapan Muara Takus merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya didasari berita ahli peta Tionghoa Chia Tan, yang menyatakan bahwa di sebelah utara Cih-Cih (Selat Malaka) terletak kerajaan Lo-yueh.
Dan di sebelah selatan terletak kerajaan Shih-li-fo-shih. Berita itu pun cocok dengan penempatan pusat kerajaan di Muara Takus. Namun dari sejumlah pendapat para ahli itu, Prof. Slamet Muljana sejarawan Indonesia menyimpulkan letak Kerajaan Sriwijaya berada di tepi sungai.
Tepatnya di sebelah tenggara (timur) Pelabuhan Melayu (Jambi), dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Satu-satunya tempat yang, memenuhi syarat-syarat tersebut adalah muara Sungai Musi di daerah Palembang. Tempat itu terletak pada garis 30° 104' LS.
Pada zaman I-tsing nama Palembang belum dikenal sebagai nama tempat di muara Sungai Musi. Bahkan nama Sungai Musi pun belum dikenal sebagai nama sungai, sebab baik nama sungainya maupun nama kota dan kerajaannya disebut Fo-shih atau Sriwijaya.
Sayang perkembangan secara fisik Kerajaan Sriwijaya belum banyak ditemukan. Meski demikian diakui dari catatan - catatan sejarah kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan yaitu negara bahari, namun kerajaan ini tak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara.
Diolah dari berbagai sumber, Kerajaan Sriwijaya telah benar sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di dikenal imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit yaitu prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Para ahli berpendapat dengan mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Dimana di masa abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini menyebutkan Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer menghukum Bhumi Jawa yang tak berbakti untuk Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang terdampak agresi Sriwijaya.
Probabilitas yang dimaksud dengan Bhumi Jawa yaitu Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Lokasinya yang strategis menjadikan Sriwijaya pengendali jalur perdagangan antara kawasan India dan China, yaitu dengan menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Sebab nama itu baru digunakan oleh peneliti George Coedes, dalam bukunya 'Le Royaume de Criwijaya. Piagam Kota Kapur dianggap menjadi salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya dari tahun 686.
Sejarawan Prof. Kern menganggap, nama Sriwijaya yang tercantum pada piagam tersebut adalah nama seorang raja, karena cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan.
Memang berdasarkan beberapa ahli dan sumber berita saat itu, kerajaan ini memiliki berbagai nama yang ditafsirkan.
Baca Juga
Pada karya I-tsing misalnya nama Sriwijaya belum dikenal. Bahkan dalam buku yang ditulis oleh Prof. Chavannes pada tahun 1894 ke dalam bahasa Perancis, menyebut Sriwijaya sebagai Shih-li-fo-shih.
Sebagaimana dikutip dari buku “Sriwijaya”, dari Prof. Slamet Muljana awalnya Shih-li-fo-shih itu dikira transkripsi Tionghoa dari nama asli Sribhoja. Nama Shih-li-fo-shih disingkat Fo-shih saja, digunakan menyebut negara, ibu kota pusat kerajaan, sungai yang muaranya sebagai pelabuhan.
Terjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, di mana terdapat nama Sriwijaya, dan terjemahan karya I-ts'ing, di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih, memungkinkan Coedes untuk menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama negara di Sumatera Selatan.
Beal pada tahun 1886 telah mengemukakan pendapatnya, bahwa negara Shih-li-fo-shih terletak di tepi sungai Musi dekat Kota Palembang. Namun, pada pertengahan kedua abad ke-19 itu, nama Sriwijaya belum dikenal.
Kerajaan itu masih disebut dengan nama Tionghoa yang tidak diketahui nama aslinya. Meskipun anggapan itu boleh dipandang sebagai penemuan ilmiah yang asli, namun karena kepincangan tersebut masih kabur sekali.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa ilmu sejarah Sriwijaya adalah penemuan Coedes dan lahir dari kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana.
Penemuan Coedes ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu pengetahuan sejarah, terutama dalam sejarah Asia Tenggara.
Lokasi Kerajaan Sriwijaya kala itu memang cukup ideal dalam pelayaran perdagangan antar negara. Tercatat pedagang-pedagang dari Jawa, India, Arab, dan Tiongkok lalu lalang di kawasan wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional. Dengan sendirinya sejarah Sriwijaya itu berhubungan dengan sejarah negara-negara lain yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalan lalu-lintas, dan namanya teringat pula dalam sejarah asing.
Karena terbukti bahwa Sriwijaya merupakan salah satu negeri besar di antara negeri-negeri di laut Selatan.Letak Kerajaan Sriwijaya sendiri ternyata disebut Moens, tidak sepenuhnya berada di Palembang atau Sumatera Selatan.
Pada mulanya pusat kerajaan itu terletak di pantai timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatra Tengah dekat Muara Takus. Sangat menarik perhatian, bagaimana Moens menggunakan berita- berita geografi untuk menegakkan teorinya.
Dari sejarah Sung, tercatat bahwa empat hari perjalanan dari Cho-p'o orang sampai di laut; jika berlayar ke arah barat laut sesudah lima belas hari, orang sampai di P'o-ni, dan lima belas hari lagi sampai di San-fo-ts'i. Juga diberitakan bahwa San-fo-ts'i terletak di antara dan Cho-p'o.
Berdasarkan berita geografi itu, Moens mengambil kesimpulan bahwa San-fo-ts'i terletak di Semenanjung Melayu.
Sementara, berita Arab yang berasal dari Abu Zaid juga menyimpulkan letak San-fo-tsi berada di pantai timur Semenanjung. Moens menyamakan San-fo-tsi dengan Kadaram, yang membuatnya terpaksa melokalisasi Kadaram di pantai timur semenanjung.
Abu Zaid pun menyimpulkan pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Muara Takus. Hal ini didasari dua hal pertama berita I-tsing mengenai bayang-bayang diwelacakra yang tidak menjadi panjang atau pendek, pada pertengahan bulan delapan.
Pada tengah hari, orang yang berdiri di matahari tidak berbayang-bayang sama sekali. Muara Takus terletak pada garis ekuator O. 20' N. Jadi, cocok dengan berita I-ts'ing.
Kedua, anggapan Muara Takus merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya didasari berita ahli peta Tionghoa Chia Tan, yang menyatakan bahwa di sebelah utara Cih-Cih (Selat Malaka) terletak kerajaan Lo-yueh.
Dan di sebelah selatan terletak kerajaan Shih-li-fo-shih. Berita itu pun cocok dengan penempatan pusat kerajaan di Muara Takus. Namun dari sejumlah pendapat para ahli itu, Prof. Slamet Muljana sejarawan Indonesia menyimpulkan letak Kerajaan Sriwijaya berada di tepi sungai.
Tepatnya di sebelah tenggara (timur) Pelabuhan Melayu (Jambi), dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Satu-satunya tempat yang, memenuhi syarat-syarat tersebut adalah muara Sungai Musi di daerah Palembang. Tempat itu terletak pada garis 30° 104' LS.
Pada zaman I-tsing nama Palembang belum dikenal sebagai nama tempat di muara Sungai Musi. Bahkan nama Sungai Musi pun belum dikenal sebagai nama sungai, sebab baik nama sungainya maupun nama kota dan kerajaannya disebut Fo-shih atau Sriwijaya.
Sayang perkembangan secara fisik Kerajaan Sriwijaya belum banyak ditemukan. Meski demikian diakui dari catatan - catatan sejarah kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan yaitu negara bahari, namun kerajaan ini tak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara.
Diolah dari berbagai sumber, Kerajaan Sriwijaya telah benar sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di dikenal imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit yaitu prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Para ahli berpendapat dengan mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Dimana di masa abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini menyebutkan Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer menghukum Bhumi Jawa yang tak berbakti untuk Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang terdampak agresi Sriwijaya.
Probabilitas yang dimaksud dengan Bhumi Jawa yaitu Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Lokasinya yang strategis menjadikan Sriwijaya pengendali jalur perdagangan antara kawasan India dan China, yaitu dengan menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
(ams)