Kisah Istana Kerajaan Mataram di Plered Dibangun Menghadap ke Arah Sungai Opak
loading...
A
A
A
ISTANA Kerajaan Mataram dipindah ke Plered, Bantul, DIY di masa pemerintahan Sultan Amangkurat I. Para pejabat kerajaan dan masyarakat bekerja bakti menyelesaikan pembangunan istana dan kompleks wilayah ibu kota di Plered.
Sultan Amangkurat I kala itu juga memerintahkan membuat banyak sekali batu bata demi mencukupi bahan baku pembuatan istana yang berada di pinggir Sungai Opak. Hal ini belajar dari sejarah keraton lama yang dianggap kurang kokoh, karena hanya terbuat dari kayu.
Karena terlalu banyaknya kebutuhan pekerja, Sultan Amangkurat I sampai harus turun tangan langsung dan mengerahkan pejabat istana.
Tak ayal, penolakan sempat datang dari beberapa pejabat untuk bekerja langsung membantu pembangunan istana.
Tapi sanksi langsung diberikan oleh sang penguasa bila sang pejabat tidak memenuhi permintaannya. Sang pejabat tinggi itu langsung diikat dan dibaringkan di paseban, dijemur dalam panas terik matahari. Hal itu dikutip dari buku "Disintegrasi Mataram : Di bawah Mangkurat I" yang ditulis HJ De Graaf.
Dikisahkan suatu saat utusan Belanda datang ke Istana Plered yang dibagian selatan menghadap ke arah Sungai Opak. Di sana terdapat pintu gerbang selatan yang membatasinya dengan Sungai Opak.
Kemudian tampak pada peta kecil itu bahwa bentuk dalem bukanlah benar-benar persegi, tetapi seperti belah ketupat.
Sedangkan kedua lapangan dalam, yaitu Kemandungan dan Srimenganti, yang harus dilalui sebelum tiba di Prabayeksa atau Istana Raja Mataram. Lokasinya berada di dalam dikelilingi tembok.
Tapi sang utusan Belanda Jan Vos ketika berkunjung ke Kerta hanya dapat melihat Srimenganti, maka antara lapangan dalam ini dan alun-alun masih disisipkan lagi Kemandungan.
Sementara ada sebuah sketsa peta keraton itu berdasarkan sisa-sisa reruntuhan yang masih dapat terlihat pada tahun 1889.
Pada peta itu digambarkan Srimenganti sebuah bangunan yang dikelilingi tembok, yaitu Suranatan. Sedangkan di sebelah barat alun-alun digambarkannya sebuah masjid.
GP Rouffaer, seorang Belanda memberikan keterangan bahwa tembok-tembok keraton itu yang sebelum tahun 1889 diratakan dengan tanah, dahulu setinggi lima sampai enam meter dan tebalnya 1,5 meter.
Dibangun seluruhnya dari batu bata, dan disisipi di sana-sini (dengan) bata alam. Permukaan tembok di atas diberi penutup persegi tiga, seluruhnya terbuat dari batu alam putih yang diberi bentuk seperti batu bata yang lebar.
Sultan Amangkurat I konon memerintahkan untuk resmi memindahkan keraton ke Plered dengan audiensi besar. Saat itu audiensi besar itu dilakukan di hari Senin, sebagaimana sumber dari Babad B.P., sebagaimana pemindahan keraton sesuai kehendak ayahnya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Sultan Amangkurat I kala itu juga memerintahkan membuat banyak sekali batu bata demi mencukupi bahan baku pembuatan istana yang berada di pinggir Sungai Opak. Hal ini belajar dari sejarah keraton lama yang dianggap kurang kokoh, karena hanya terbuat dari kayu.
Karena terlalu banyaknya kebutuhan pekerja, Sultan Amangkurat I sampai harus turun tangan langsung dan mengerahkan pejabat istana.
Tak ayal, penolakan sempat datang dari beberapa pejabat untuk bekerja langsung membantu pembangunan istana.
Tapi sanksi langsung diberikan oleh sang penguasa bila sang pejabat tidak memenuhi permintaannya. Sang pejabat tinggi itu langsung diikat dan dibaringkan di paseban, dijemur dalam panas terik matahari. Hal itu dikutip dari buku "Disintegrasi Mataram : Di bawah Mangkurat I" yang ditulis HJ De Graaf.
Dikisahkan suatu saat utusan Belanda datang ke Istana Plered yang dibagian selatan menghadap ke arah Sungai Opak. Di sana terdapat pintu gerbang selatan yang membatasinya dengan Sungai Opak.
Baca Juga
Kemudian tampak pada peta kecil itu bahwa bentuk dalem bukanlah benar-benar persegi, tetapi seperti belah ketupat.
Sedangkan kedua lapangan dalam, yaitu Kemandungan dan Srimenganti, yang harus dilalui sebelum tiba di Prabayeksa atau Istana Raja Mataram. Lokasinya berada di dalam dikelilingi tembok.
Tapi sang utusan Belanda Jan Vos ketika berkunjung ke Kerta hanya dapat melihat Srimenganti, maka antara lapangan dalam ini dan alun-alun masih disisipkan lagi Kemandungan.
Sementara ada sebuah sketsa peta keraton itu berdasarkan sisa-sisa reruntuhan yang masih dapat terlihat pada tahun 1889.
Pada peta itu digambarkan Srimenganti sebuah bangunan yang dikelilingi tembok, yaitu Suranatan. Sedangkan di sebelah barat alun-alun digambarkannya sebuah masjid.
GP Rouffaer, seorang Belanda memberikan keterangan bahwa tembok-tembok keraton itu yang sebelum tahun 1889 diratakan dengan tanah, dahulu setinggi lima sampai enam meter dan tebalnya 1,5 meter.
Dibangun seluruhnya dari batu bata, dan disisipi di sana-sini (dengan) bata alam. Permukaan tembok di atas diberi penutup persegi tiga, seluruhnya terbuat dari batu alam putih yang diberi bentuk seperti batu bata yang lebar.
Sultan Amangkurat I konon memerintahkan untuk resmi memindahkan keraton ke Plered dengan audiensi besar. Saat itu audiensi besar itu dilakukan di hari Senin, sebagaimana sumber dari Babad B.P., sebagaimana pemindahan keraton sesuai kehendak ayahnya.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(shf)