Kisah Jaka Tingkir Naik Rakit Buaya dan Menaklukkan Banteng hingga Jadi Raja Pajang
loading...
A
A
A
SOSOK Jaka Tingkir dikenal memiliki ilmu kanugaran yang hebat dan sakti mandraguna hingga mengantarkannya menjadi penguasa Kerajaan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya.
Jaka Tingkir konon lahir di daerah Pengging dengan sang ayah bernama Kebo Kenanga alias Andayaningrat. Saat mulai dewasa, Jaka Tingkir konon pernah belajar pada Kiai Ageng Sela.
Selanjutnya berguru dengan seorang tokoh keramat Mataram, yakni Sunan Kalijaga yang menasihatinya agar bekerja pada Sultan Demak.
Jaka Tingkir pun patuh mengikuti nasehat Sunan Kalijaga.
Dalam buku "Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung" karya De Graaf disebutkan bagaimana akhirnya Jaka Tingkir muda melamar sebagai tamtama, pengawal pribadi di Kerajaan Demak.
Keberhasilannya melompati kolam masjid dengan lompatan ke belakang membuatnya diterima.
Hal ini dilakukannya tanpa sengaja, karena tiba-tiba ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya. Ilmu kanugaran dan fisiknya yang mempuni itulah yang memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat, dan ia pun dijadikan kepala pada satuan itu.
Beberapa waktu kemudian satuan ini perlu diperbesar. Karenanya, Jaka Tingkir kembali diuji, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan.
Maka Jaka Tingkir meminta, agar ia memerlukan tusuk konde saja untuk menghancurkan kepala banteng itu. Benar saja, cukup dengan sebuah tusuk konde belaka bagi Jaka Tingkir untuk menembus jantungnya.
Alangkah hebat kesaktiannya. Tetapi seketika itu juga hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang, betapapun kepergiannya itu menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya.
Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali, dan berniat untuk mati saja. Pada perjalanan pulangnya ketika keputusasaan Jaka Tingkir bertemu dua pertapa yakni Kiai Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang.
Keduanya tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya.
Ketika Jaka Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kiai Buyut dari Banyubiru, yang selanjutnya menjadi gurunya.
Kedua kiai ini memberikan kepadanya azimat, agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan Demak. Perjalanannya kembali ke Demak dilakukannya menyusuri sungai dengan rakit yang didorong 40 ekor buaya.
Setibanya kembali di Demak, Jaka Tingkir menerapkan azimat yang dipelajarinya itu. Alhasil seekor kerbau liar dibuatnya menjadi gila.
Sehingga selama tiga hari tiga malam para tamtama pun menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah.
Hanya Jaka Tingkir-lah yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu. Setelah itu la mendapatkan kembali kedudukannya di Demak.
Beberapa waktu kemudian ia kawin dengan putri kelima Raja, dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau.
Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak, dan negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sana ia membangun sebuah istana. Itulah pengalaman Jaka Tingkir sebelum Sultan Trenggana wafat pada 1546, sebagaimana dikisahkan Babad Tanah Djawi.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Jaka Tingkir konon lahir di daerah Pengging dengan sang ayah bernama Kebo Kenanga alias Andayaningrat. Saat mulai dewasa, Jaka Tingkir konon pernah belajar pada Kiai Ageng Sela.
Baca Juga
Selanjutnya berguru dengan seorang tokoh keramat Mataram, yakni Sunan Kalijaga yang menasihatinya agar bekerja pada Sultan Demak.
Jaka Tingkir pun patuh mengikuti nasehat Sunan Kalijaga.
Dalam buku "Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung" karya De Graaf disebutkan bagaimana akhirnya Jaka Tingkir muda melamar sebagai tamtama, pengawal pribadi di Kerajaan Demak.
Keberhasilannya melompati kolam masjid dengan lompatan ke belakang membuatnya diterima.
Hal ini dilakukannya tanpa sengaja, karena tiba-tiba ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya. Ilmu kanugaran dan fisiknya yang mempuni itulah yang memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat, dan ia pun dijadikan kepala pada satuan itu.
Beberapa waktu kemudian satuan ini perlu diperbesar. Karenanya, Jaka Tingkir kembali diuji, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan.
Maka Jaka Tingkir meminta, agar ia memerlukan tusuk konde saja untuk menghancurkan kepala banteng itu. Benar saja, cukup dengan sebuah tusuk konde belaka bagi Jaka Tingkir untuk menembus jantungnya.
Alangkah hebat kesaktiannya. Tetapi seketika itu juga hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang, betapapun kepergiannya itu menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya.
Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali, dan berniat untuk mati saja. Pada perjalanan pulangnya ketika keputusasaan Jaka Tingkir bertemu dua pertapa yakni Kiai Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang.
Keduanya tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya.
Ketika Jaka Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kiai Buyut dari Banyubiru, yang selanjutnya menjadi gurunya.
Kedua kiai ini memberikan kepadanya azimat, agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan Demak. Perjalanannya kembali ke Demak dilakukannya menyusuri sungai dengan rakit yang didorong 40 ekor buaya.
Setibanya kembali di Demak, Jaka Tingkir menerapkan azimat yang dipelajarinya itu. Alhasil seekor kerbau liar dibuatnya menjadi gila.
Sehingga selama tiga hari tiga malam para tamtama pun menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah.
Hanya Jaka Tingkir-lah yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu. Setelah itu la mendapatkan kembali kedudukannya di Demak.
Beberapa waktu kemudian ia kawin dengan putri kelima Raja, dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau.
Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak, dan negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sana ia membangun sebuah istana. Itulah pengalaman Jaka Tingkir sebelum Sultan Trenggana wafat pada 1546, sebagaimana dikisahkan Babad Tanah Djawi.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(shf)